Tanda Seru
Saya masih terpekur di kantor sekolah. Bulpen di tangan mengetuk-ngetuk kening. Sebelah tangan yang lain memegang kertas yang menyimpan kisah.
Saya mencari sebuah penjelasan. Tik tak tik tak tik tak. Jarum jam seperti tupai tambun yang kesusahan melompat dari satu tangkai detik satu ke tangkai detik yang lain. Saya memijit-mijit kening untuk mempercepat aliran pikiran. Kipas angin tua di kantor mengibas-ibas seakan ingin membantu saya memecahkan persoalan.
Mata saya kembali pada angka di kertas. Entah berapa coretan tumpang tindih di tempat yang sama. Kertas bagian atas hampir penuh dengan koreksi nilai. Di sudut kanan atas kertas tertera sebuah nama. Natalia.
“Gaji pas-pasan tak memberiku waktu lebih untuk memikirkan murid-murid di luar jam kelas. Lebih baik engkau menabung waktumu untuk memikirkan tambahan penghasilan,” kata teman guru yang berbagi ruang kantor dengan saya.
Mata saya bergerak turun ke tanda baca yang mengakhiri karangan. Tiga tanda seru gemuk berhimpitan mengakhiri semua kalimatnya.
Saya teringat hari pertama mengajar di kelasnya.
‘Tanda seru adalah permintaan perhatian pada pembaca.’ Saya membaca pesan diantara tanda baca.
“Aku menutup semua celah di kamar !!! Pertengkaran papa dan mama masih terdengar sangat keras di telingaku!!!”
No comments:
Post a Comment