Kata Pengantar 1
Oleh Jennie S. Bev
(Jennie S. Bev, yang terlahir sebagai Jennie Siat, adalah penulis, kolumnis dan pengajar kelahiran Indonesia yang bermukim di California Utara. Ia dikenal sebagai akademisi independen multidisipliner yang berpendidikan hukum (Universitas Indonesia), ilmu pendidikan (California State University Hayward-East Bay), dan bisnis (Northcentral University))
Keindahan buku ini terletak di premis yang sangat humanis: penulis memaparkan duka cita Allah dalam air mata perempuan Asia dan mengajak kita semua untuk menjadi semakin peka akan fenomena ini. Setidak-tidaknya, penulis membuka tabir bilur-bilur jender yang dipandang “lemah” dan “kelas dua” ini dengan penuh rasa empati, lemah lembut, dan solidaritas. Penulis hendak menekankan pandangannya bahwa segala macam bentuk praktek patriarki secara sadar maupun tidak, serta legitimasi institusi agama seringkali dipandang sebagai momok bagi kaum perempuan, namun ternyata tidak sesederhana dan terbatas oleh dua hal tersebut. Kita semua baik perempuan maupun laki-laki dengan maupun tanpa disadari telah menjadi subyek dan obyek paradigma ini. We all are doers.
Penulis sebagai seorang laki-laki pro-feminis adalah suatu fakta yang sangat menarik dan unik. Secara historis, hanya segelintir laki-laki pro-feminis yang dikenal di dunia akademik Eurosentrik dan bahkan lebih jarang lagi terdengar di Asia apalagi di Indonesia. Penulis mengakui bahwa ia cukup terinspirasi oleh para seniornya yang bernada feminis positif, yaitu Choan Seng-Song, Felix Wilfred, Michael Amaladoss, dan Tissa Balasuriya. Dengan diterbitkannya buku ini, penulis menjadi kolega setara tokoh-tokoh tersebut yang telah membangkitkan sedemikian banyak wacana dalam perdebatan-perdebatan akademik. Penulis telah mampu membawa bendera merah-putih Indonesia dalam arena perdebatan teologi pro-feminis dengan gayanya yang elegan dan berani.
....
Istilah “rahim” dipilih penulis karena ini menunjukkan kesucian keperawanan hati dan bukan semata-mata keperawanan fisik yang biasanya digambarkan dengan “vagina.” Saya sangat tersentuh dengan kepiawaian penulis dalam menguntaikan kosakata yang tidak mengandung bias patriarki, namun sebaliknya membangun awareness akan solidaritas yang bisa dengan mudah dimulai dengan penggunaan bahasa yang menetralkan aura pelecehan rahim perempuan. Dari perspektif material, karya ini menawarkan hermeneutics baru pengkategorian, pendefinisian, dan pengargumentasian perempuan, keperempuanan, homoseksual, transgender, dan fenomena-fenomena di dalam masyarakat lainnya yang sangat erat dengan mereka.
....
Di Indonesia, tripel minoritas (berdasarkan etnisitas, afiliasi agama, dan jender) seringkali dijadikan tumbal politik dan sejarah mengingkarinya dengan semburan ludah kejijikan. Ini bisa ditemui dengan gagalnya sistem hukum dalam mengangkat crime against humanity Tragedi Mei 1998, di mana 92 perempuan beretnis Tionghoa digagahi dan dipermalukan secara seksual. Saya adalah salah satu dari mereka karena saya telah digagahi dan dipermalukan secara spiritual dan politis. Dan saya tidak akan tinggal diam sampai arwah saudari-saudari saya dapat beristirahat dengan tenang di sisi Allah...
Kata Pengantar 2
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
( Mantan koordinator Jaringan Islam Liberal dan mahasiswa doktoral di departmen Near Eastern Languages and Civilization, Universitas Harvard)
Sejarah agama bukan semata-mata sejarah protes dari pinggiran. Sejarah agama juga berkelindan dengan penindasan itu sendiri. Bergerak dari pinggiran, mencapai dan menguasai “pusat”, agama kerapkali berbalik menjadi penindas, seolah mengkhianati dakwahnya sendiri, melupakan pesan apostolik pertama yang ia kumandangkan. Agama yang semula merupakan corong bagi mereka yang lemah, mendadak menjadi “alat pukul” bagi mereka yang kuat. Ini terjadi pada Yahudi, Kristen dan Islam, juga agama-agama yang lain. Penganut ketiga agama itu –dan juga agama-agama lain—tak usah malu melihat sosok sejarah mereka yang tak seluruhnya mengkilat...
Teologi dan politik sudah menyatu sejak awal dalam sejarah setiap agama. Di sinilah sebetulnya penindasan dalam agama itu dimulai. Sebab, dalam setiap sistem selalu ada kecenderungan ke arah pembentukan suatu susunan atau hirarki. Jika tidak membentuk sebuah susunan atau hirarki, jelas itu bukanlah sistem tetapi serakan-yang-tak-berbentuk
Akan tetapi selama susunan atau sistem masih bisa dikontrol oleh anggota yang ada di dalamnya, dan selama komitmen atas keadilan masih cukup kuat di sana, maka sistem itu akan dianggap fair dan adil. Tetapi kemungkinan sistem untuk tergelincir menjadi sistem yang menindas sangat besar sekali. Sistem yang didasarkan pada klaim ilahiah justru paling besar kemungkinannya untuk tergelincir menjadi mesin kekerasan yang bengis sekali. Sekali lagi, sejarah agama-agama besar dunia menyediakan contoh yang berlimpah-limpah untuk hal ini...
Tanggapan atas Buku
Saya teringat para perempuan yang berjuang di akar rumput di Indonesia, yang tidak pernah diakui, tetapi perjuangan mereka luar biasa. Hampir di semua wilayah Indonesia, saya menemukan mereka, dari berjuang untuk lingkungan hidup melawan PT.Newmont di Minahasa, membela kemanusiaan dan membangun perdamaian di Poso dan Ambon, dan melawan kekerasan militer yang luar biasa di Papua, Aceh dan Sumatera Utara.
Sudah waktunya kita untuk membangun konsep-konsep baru feminisme dari perjuangan para perempuan di Indonesia, dan suara-suara para perempuan korban, yang telah mampu mentransformasikan dirinya dari korban
menjadi inspirator dan pejuang. Terimakasih kepada Mutiara Andalas, yang telah memulai dan memberikan inspirasi.
Ita F.Nadia, pekerja kemanusiaan
Membaca tulisan Romo, yang mencoba mengangkat sejarah perjuangan kaum perempuan, teologi pelangi dan pemikir pro-feminis ke dalam arus utama teologi dan refleksi iman nan manusiawi, saya jadi teringat puisi dariRicoeur dalam History, Memory, and Forgetting (2004)
Under history, memory and forgetting.
under memory and forgetting, life.
but writing life is another story.
Incompletion.
Ricoeur menggarisbawahi pentingnya "memori" dan "lupa (pelupaan?)sebagai bagian dari historiografi kehidupan, seni bertutur tentangkehidupan dalam keseluruhannya, betapapun tidak lengkap, betapapun masihterbuka untuk direvisi dan diteruskan oleh para penutur kehidupan berikutnya.
Hendar Putranto, Alumnus STF Driyarkara dan Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara
Frasa Fides Quarens Intellectum, Fides Quarens Liberationem dengan mudah bisa ditemukan di blog Mutiara Andalas, S.J. (theologianatcalvary.blogs
Kemampuan akademisi penulis yang tinggi telah menempatkan karya ini di posisi yang penting di antara buku-buku keilmuan sejenisnya, walaupun demikian bukan berarti buku ini sulit dimengerti dan membosankan. Buku ini mudah dimengerti karena struktur dan penulisannya di setiap bab mulai dengan memaparkan pengalaman ringan sehari-hari penulis dan kemudian direfleksikan dengan topik bahasan. Buku ini penuh dengan nuansa puitis-romantis.
Beni Bevly, OverseasThinkTankForIndone
No comments:
Post a Comment