Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Thursday, March 5, 2009

Peziarah Kasih



Informasi Buku

  1. Deepak Chopra, Jesus: A Story of Enlightenment (New York: HarperCollins, 2008)
  2. Didik Cahyono, S.J. Ed., Biarlah Berbeda dan Saling Mencinta, Kata Pengantar Dr. Baskara Tulus Wardaya, S.J. (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma Press, 2008)

Peziarah kasih

Oleh Mutiara Andalas, S.J.

Sekelompok orang yang menaruh kebencian terhadap komunitas Yahudi mengirim utusan kepada Rabi Shammai untuk mencobainya.

“Rabi ajari aku seluruh isi Torah. Aku akan berdiri dengan satu kaki saat mendengarkan pengajaranmu.”

“Enyahlah dari sini! Engkau melecehkan Torah!“ ujar Rabi geram sambil mengacungkan kayu pemukul.

Tamunya mengambil langkah seribu, lalu membelokkan arah kakinya ke rumah rabi lain.

“Apa yang dapat saya bantu, Saudara?” sapa Rabi Hillel ramah.

Tamunya mengulang permintaannya.

“Jangan menebar kebencian kepada saudara-saudarimu jika engkau menghendaki mereka juga bertindak demikian.”

“Engkau dan aku bersaudara? Kita hendaknya baik satu dengan yang lain?”

“Demikian ajaran utama Torah. Lain-lainnya catatan kaki.”

“Rabi, kapan engkau memiliki waktu luang untuk mendidikku dalam Torah?”

Ziarah Iman

Ketakjuban akan kekayaan ajaran klasik agama lain dan terutama pribadi-pribadi yang menghidupinya di era kontemporer mempertemukan kedua buku. Deepak Chopra menghantar pembaca Jesus: A Story of Enlightenment untuk mengenali peziarahan batin Yesus yang mengalami pencerahan hidup. Mahasiswa-mahasiswi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta mengisahkan perjumpaan mereka dengan komunitas beriman lain di pondok pesantren, vihara dan karya-karya kemanusiaan. Biarlah Berbeda dan Saling Mencinta membagikan ketakjuban, debaran hati, kegagapan, ketakutan, bahkan prasangka saat mahasiswa-mahasiswi bersua dengan komunitas beriman lain untuk pertama kalinya.

Mahasiswa-mahasiswi kristiani yang berkunjung di pondok pesantren Edi Mancoro berangsur-angsur menanggalkan citra negatif yang melekat dalam pikiran mengenai Islam. Mereka semula membayangkan pesantren sebagai pondok angker, bahkan sarang teroris. Santri laki-laki memelihara jenggot dan mengenakan celana yang ujungnya di atas mata kaki, sementara santri perempuannya mengenakan cadar. Mereka mengira penghuni pesantren tertutup pada pemeluk agama lain, terutama agama Kristen dan Katolik. David Tracy dalam Plurality and Ambiguity (1987) menuturkan kebersandaraan kita sebagai subyek aktif dialog kepada subyek lain. Toleransi represif merupakan bahaya yang mungkin muncul dari romantisme dialog antarumat beragama yang tutup mata terhadap pluralitas dan perbedaan.

Peserta live in antariman sampai pada kesadaran komunitas berimannya berjalan bersama komunitas beriman lain menuju Allah. Kesediaan menyapa peziarah dari komunitas beriman lain menjadi awal perjalanan bersama. Mereka lalu berbagi kekayaan relijius yang serupa sekaligus berbeda. Peserta live in menerima kado berharga, yaitu mengalami kehadiran Allah dalam komunitas beriman lain. Perjumpaan dengan komunitas beriman lain, menyitir Paul F. Knitter, menghantar baik tamu maupun tuan rumah pada kejujuran yang lebih besar dan spiritualitas yang lebih mendalam.

Berjumpa di Tanah Penderitaan

Peserta live in juga berjumpa dengan pemeluk agama yang menderita tuna grahita, kehilangan kasih orang tua dan yang berlilit kemiskinan sebagai petani. Mereka berjumpa dengan sebuah dunia yang perlu perambahan agar mencintainya. Perjumpaan dengan keberagaman agama dan kemiskinan tersarikan dalam pernyataan Bhante Bodhi. “Saya Bante saat di Vihara, pemasak di dapur, nelayan saat di laut, petani saat mencangkul sawah, tukang batu saat berjumpa palu dan batu.”

Sebagaimana Buddha, Musa, dan Mohammad, dan guru kemanusiaan-spiritual lainnya, Yesus menggali panggilan hidup yang ditanamkan Allah dalam dirinya. Ia menggumuli pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang diabaikan orang-orang pada zamannya,”Siapakah aku? Siapa tujuan hidupku?” Yesus mengembalikan etika dalam rahim spiritualitas. Deepak Chopra berpaling kepada spiritualitas sekular karena berjumpa dengan egoisme institusi agama. Kekerasan, perpecahan, perseteruan, skandal, korupsi, persekongkolan, dan kemunafikan merupakan pembangkangan terhadap diri dan Allah sejati.

Ziarah Iman Liberatif

Kedua buku menawarkan jalan-jalan baru berziarah kepada Allah di tengah krisis kemanusiaan. Peserta live in mengisahkan secara sederhana pernyataan Raimundo Pannikkar untuk beriman pada zaman ini dengan berdialog antarumat beriman. Mereka menangggapi ajakan Paul F. Knitter untuk menjadi pribadi beriman yang bertanggung jawab secara global dengan penderitaan sesama. Mereka melibatkan diri dalam penciptaan perdamaian dunia yang diawali perdamaian antarumat beragama sebagaimana didaraskan Hans Küng. Kita peziarah iman yang menghadap hadirat Allah dengan memanggul salib penderitaan sesama.

No comments: