Keheningan bagi sebagian dari diri kita mencekam. Kita bingung mengenai aktivitas untuk mengisi keheningan. Kita terbiasa hidup di tengah kebisingan kota, deru mobil, suara musik, atau tayangan film. Ketiadaan semuanya memunculkan kegelisahan dalam diri kita. Kita menjadi seperti ikan yang menggelepar saat dikeluarkan dari air kolam. Keheningan justru dipandang sebagai gangguan dan kebisingan dilihat sebagai normal. Kita kehilangan ketahanan dengan suara keheningan. Keheningan sejatinya penuh suara. Namun sebagian dari kita gagal mendengarnya. Kita butuh bantuan compact disc agar suara keheningan alam sampai ke telinga kita.
Kita tak sekedar kehilangan keheningan hati. Kita juga mulai kehilangan diri karena hati keheningan absen dari kehidupan kita. Di kedalaman diri kita tersimpan beragam pertanyaan dan perasaan yang membutuhkan tanggapan. Pertanyaan dan perasaan tersebut terabaikan karena kita kurang memperhatikannya. Keheningan memberikan kesadaran penuh terhadap gerakan-gerakan baik kasar maupun halus yang berlangsung dalam diri kita. Kita barangkali pernah melihat halaman rumah terbengkalai karena kita meninggalkannya dalam waktu lama. selama beKita kehilangan kenyamanan saat keluar dan masuk rumah karena kekotorannya. Kita perlu memanggil tukang kebun atau mengambil sapu atau sabit untuk merapikannya kembali.
Keheningan bagi sebagian dari kita yang lain menciptakan kedamaian. Ia memberikan janji kehidupan baru kepada kita yang berani masuk ke dalamnya. Dalam suasana bising, banyak suara anti-Tuhan yang berteriak parau kepada kita. Dalam suasana hening, Tuhan menyapa kita secara lembut. Keheningan memampukan kita untuk mengenali perubahan-perubahan drastis dalam kehidupan emosi kita. Peristiwa kecil, kata dari orang lain, kekecewaan dalam kerja dapat dengan mudah mengombang-ambingkan perasaan kita. Keheningan memberikan daya kepada kita untuk mengalami diri sebagai putera-puteri Allah terkasih di tengah gelombang kehidupan emosional.
Hening sepintas nampak sebagai aktivitas seorang pengangguran. Keheningan sejatinya menghadapkan kita dengan diri sesungguhnya. Kedukaan hidup seringkali sedemikian membelit diri kita sampai pada suatu titik dimana kita akan mengerjakan segala sesuatu untuk berpaling darinya. Radio, televisi, surat kabar, buku, film, kerja keras, dan kesibukan kehidupan sosial dapat menjadi jalan-jalan pelarian dari diri kita. Kita lari dari dunia kehidupan ke dunia hiburan (entertainment).
Kata entertainment secara harfiah berarti "menjaga (tain dari kata Latin tenere) seseorang diantara (enter)." Hiburan adalah segala sesuatu yang mengalihkan pikiran kita dari perkara-perkara sulit yang terjadi pada diri kita. Ia membuat kita terpecah, terpesona, atau terperanjat perhatiannya. Ia seringkali merupakan aktivitas positif karena mampu menyegarkan hari-hari kita yang terjerat kecemasan atau ketakutan. Namun saat kita menjalani hidup sebagai hiburan, kita kehilangan kontak dengan jiwa kita dan menjadi penonton dalam drama kehidupan.
Keheningan merupakan sebuah disiplin yang membantu kita untuk melampaui kualitas hiburan kehidupan kita. Dalam keheningan kita mempersilakan duka dan suka cita muncul dari tempat persembunyiannya dan berhadapan dengannya. Kita dapat menemukan keheningan di rumah, tempat ibadat atau ruang meditasi. Kita menjumpai diri kita dan pelan-pelan mendaku diri kita sebagai kado dari Allah dalam keheningan.
Pada awalnya keheningan menakutkan kita. Kita mulai mendengar suara-suara kegelapan, seperti iri hati dan kemarahan, terluka dan hasrat untuk balas dendam, nafsu dan kerakusan, dan rasa sakit akibat kehilangan, perlakuan sewenang-wenang, dan penolakan. Suara-suara seperti ini seringkali ribut, dan menulikan kita. Reaksi spontan kita lalu lari darinya dan kembali ke dunia hiburan. Suara-suara kegelapan itu akan berkurang kuasanya jika kita berhasil mengesampingkannya. Mereka akan kehilangan daya ancamannya jika kita lebih mendengarkan suara-suara terang yang lembut, seperti kedamaian, kebaikan, suka cita, harapan, pengampunan, dan terutama kasih.
Lingkaran Sahabat
Kita tidak cukup mendaku duka dan suka cita dalam keheningan. Kita harus mendakunya dalam lingkaran sahabat yang terpercaya. Sepanjang kita hidup dalam keterpisahan dari komunitas pribadi-pribadi yang mengasihi kita, beban kehidupan di pundak menjadi tak tertanggungkan. Ketakutan pribadi lain mengetahui diri kita yang sesungguhnya dapat menyebabkan diri kita memiliki kepribadian ganda. Kita bermain peran antara diri kita yang sesungguhnya (true inner selves) dengan diri yang kita perlihatkan kepada yang lain (public selves). Untuk mengenali diri sejati kita dan keunikan peziarahannya, kita membutuhkan orang lain. Kita hanya dapat menjalani kehidupan rohani dalam kebersamaan dengan yang lain. Kita tentu saja hanya akan berbicara mengenai diri kita yang sejati dengan mereka yang mengasihi dan percaya kepada kita. Rasa malu, apalagi bersalah merupakan tanda negatif dari lingkaran persahabatan yang keliru. Lingkaran persahabatan yang benar menciptakan ruang yang aman dan suci untuk berbagi suka dan duka cita kehidupan. Mereka menjadi teman peziarahan hidup yang meneguhkan diri kita.
Persahabatan yang sejati menghantar kita lebih dekat pada sumber kasih. Sahabat dapat menjadi tempat berbagi kehidupan kita. Allah mengirim mereka dalam kehidupan kita. Ia bersemayam dalam diri mereka yang mengasihi kita dalam komunitas. Tangan-tangan mereka mendukung kita dan menyingkapkan kasih setia Allah. Persahabatan seringkali berakhir dengan kekecewaan mendalam karena kita gagal menyadari bahwa mereka memiliki keterbatasan dalam mengasihi kita. Kita mungkin kurang menyadari bahwa kita seringkali mengajukan, bahkan menuntut beragam permintaan yang pada akhirnya mengakibatkan orang-orang terkasih kita angkat tangan. Mereka menyadari kemiskinan mereka dalam memenuhi tuntutan kebutuhan kita. Kita menuntut sesuatu yang tidak mereka miliki. Persahabatan yang dewasa mengundang kedua belah pihak untuk menarik garis pembatas kasih (set boundaries for your love).
Lingkaran dalam komunitas (inner community) diharapkan semakin melebar seiring dengan perjalanan waktu. Semakin kita dapat memperluasnya, kita akan semakin mengenali orang-orang asing di sekitar kita sebagai saudara-saudari kita. Mereka yang hidup dalam lingkaran dalam kehidupan kita juga akan mengenali saudara-saudari ini. Semakin lebar hati komunitas kita, semakin lebar pula komunitas di sekitar kita.
Sebagian persahabatan justru berujung dengan kekecewaan bahkan penderitaan karena muncul dari kebutuhan akan perhatian, peneguhan, dan dukungan emosional. Kita mengalami kepedihan saat sahabat kita gagal meluluskan harapan-harapan tersebut. Persahabatan kita kemudian jauh dari kecenderungan obsesif dan posesif. Persahabatan yang sejati bertunas dari pribadi-pribadi yang hidup dalam kasih. Persahabatan yang sejati merupakan perjumpaan dari hati ke hati. Ia awet karena kasih sejati kekal. Allah mengaruniakan persahabatan sejati, dan mengundang kita untuk sungguh mengasihi yang lain.
Persahabatan mudah sekali rusak saat salah satu pihak menuntut bukti persahabatan. Kita menunggu pihak lain untuk mengucapkan terima kasih saat kita memberikan sesuatu kepada mereka. Kita seringkali kurang sabar menanti pihak lain untuk berterima kasih atas pemberian kita. Reaksi cepat kita biasanya mengutuki diri sendiri atau orang lain. Kutukan merupakan ekspresi penolakan terhadap kebaikan dalam diri kita atau orang lain..
Henry J. M. Nouwen, Can You Drink the Cup (Notre Dame: Ave Maria, 1996), 91 - 98.
Henry J.M. Nouwen, The Inner Voice of Love : A Journey through Anguish to Freedom (New York: Double Day, 1996).
Sumber dokumentasi:
http://sivinkit.net/archives/silence_3.jpg
Dorothy Day: Sebuah Pengalaman Retret
Untuk bertahan dan menemukan inspirasi segar, Dorothy Day memperdalam kehidupan rohaninya. Ia menghadiri perayaan ekaristi, berdoa rosario, doa pribadi atau bersama pada waktu-waktu tertentu, bacaan rohani, sakramen tobat, dan bimbingan rohani. Dorothy Day membagikan kekayaan dari aktivitas-aktivitas rohani tersebut. "Saya melihat segalanya secara baru. Segalanya menjadi segar seperti saat kita sedang jatuh cinta." Ia memeluk kata-kata St. Yohanes dari Salib, "Kasih adalah takaran yang akan dipergunakan untuk menilai diri kita." Ia juga mengambil kesempatan untuk rekoleksi, bahkan retret panjang. "Kasih adalah sebuah perintah. Kasih adalah sebuah pilihan, keberpihakan. Jika kita mengasihi Allah dengan segenap hati kita, seberapa besar kita memberikan hati kita? Jika kita mengasihi dengan segenap pikiran dan jiwa dan kekuatan, seberapa besar pikiran dan jiwa dan kekuatan yang tertinggal? Kita harus menjalani kehidupan kita sekarang. Kematian tak mengubah sesuatu pun. Jika kita tidak belajar untuk mengalami Allah sekarang kita tidak akan mengalaminya di kemudian hari. Jika kita tidak belajar untuk memuji dan bersyukur kepada-Nya sekarang, kita tidak akan melakukannya kelak."
Sumber Dokumentasi:
Jim Forest, Love is the Measure: A Biography of Dorothy Day, Revised Edition (Maryknoll: Orbis Books, 2000), 80 - 84.
Keakraban dengan Diri
Kita memiliki lubang menganga dalam diri kita. Keillahian (divinity) dan kemanusiaan (humanity) tercerai dalam kehidupan kita. Lubang kehidupan itu seringkali juga digambarkan sebagai pusaran air yang menakutkan kita. Kalau kita berani terjun ke dalamnya, gejolak air pada akhirnya akan tenang. Dalam keheningan kita mendengarkan suara batin (inner voice) yang mengundang kita untuk menutup lubang sehingga keduanya bersatu kembali. Karena lubang itu sedemikian besar dan luka yang disebabkannya sedemikian menyakitkan, kita cenderung melarikan diri darinya. Rasa sakit luka itu dapat sedemikian menghisap kehidupan kita. Atau, kita tergoda untuk menyibukkan diri dengan hal-hal lain daripada menyembuhkan luka itu.
Sebagian dari kita menyadari kesulitan mengenali diri mereka yang sesungguhnya. Diri mereka sedemikian lama mengalami tekanan paksa dengan aktibat mereka hampir-hampir merasa asing dengan diri mereka yang sesungguhnya.
Keakraban dengan Allah
Dering telepon,
Dalam keheningan kita menemukan hati kita dan hati Allah. Hati Allah merupakan tempat berpijak kehidupan kita. Allah mengasihi kita dan Ia cukup bagi kehidupan kita. Ia senantiasa memegang dan menuntun kehidupan kita. Ia mengundang kita untuk memilih-Nya dan terus-menerus kembali kepada-Nya. Kita seringkali menjadi pengembara yang hilir mudik, bahkan seringkali tersesat dalam mencari Allah. Allah mengundang kita untuk menjadi peziarah yang pulang ke rumah, tempat kasih bersemayam dan tempat istirahat peziarahan kita.
Kedekatan dengan hati Allah terungkap dalam penerimaan kita sebagai putera-puteri Allah. Kita tak lagi berdiri anonim dihadapan Allah. Kita seringkali tergoda untuk memisahkan diri dari kedalaman diri kita (sacred center), tempat Allah bersemayam, dan menjadi anak hilang (prodigal son/daughter). Kita seringkali memerlukan jangka waktu panjang untuk mempertautkan diri kita kembali dengan Allah. Pertobatan seringkali berjalan liku-liku. Kita mengalami gerakan maju dan mundur untuk bersatu kembali dengan Allah. Kebebasan kita sebagai putera-puteri Allah justru tercipta ketika kita kembali kepada Allah.
Idenitas sebagai putera-puteri Allah tidak melepaskan kita dari godaan kuasa-kuasa destruktif dunia di sekitar kita. Kita tidak dapat berjalan seenaknya tanpa kewaspadaan terhadap bahaya yang barangkali sedang mengincar kehidupan kita. Kita tergabung dalam komunitas kecil di tengah dunia yang menolak Allah. Orang-orang yang berada di bawah payung kuasa kejahatan ini mencibir Allah sebagai sekedar kata kosong, doa sebagai fantasi, kesucian sebagai impian di siang bolong, dan kehidupan abadi sebagai pelarian dari kehidupan sehari-hari. Meskipun berada dalam dunia yang jauh dari aman, Allah mengundang kita untuk terus-menerus merawat identitas kita sebagai putera-puteri Allah. Ia mengundang kita untuk menyadari diri sebagai pribadi-pribadi yang senantiasa dikasihi Allah.
Kita mencari jalan untuk berjumpa dengan Tuhan. Perjumpaan itu tak sekedar terjadi dalam pikiran kita melainkan juga dalam tubuh kita. Allah berkenan menjadi manusia sehingga kita dapat merasakan perjumpaan dengan-Nya dan kasih-Nya. Kehadiran Tuhan dalam kehidupan kita seringkali terhalang oleh rasa malu dan bersalah yang bersarang dalam tubuh kita. Kita kurang, bahkan tidak kerasan dengan tubuh kita. Kita melihat tubuh kita dengan daftar panjang kekurangan. Keraguan dan ketakutan juga meliputi tubuh kita. Tuhan hadir dalam diri kita untuk melepaskan ikatan-ikatan itu dan menciptakan ruang perjumpaan kita dengan-Nya. Ia mendambakan kita untuk hidup sebagai putera-puteri Allah yang merdeka. Ia mengundang kita untuk mempersilakan Ia mengubah kehidupan kita.
Pengampunan
Kita terus-menerus berjuang untuk melihat diri kita secara benar. Kalau kita tetap buta dengan diri kita sendiri, kita cenderung merendahkan diri kita. Kita memandang pribadi-pribadi lain sebagai yang lebih baik, suci, terkasih, dan sebagainya. Kita lalu menggelayut pada pribadi-pribadi lain tanpa pernah menyadari bahwa kita memiliki hal-hal tersebut. Kita tentu saja perlu hati-hati juga dari kecenderungan menjadi narsis. Kita hendaknya berani pula memeluk kekurangan sebagai bagian dari diri kita. Hal terpenting dari pengenalan diri adalah mendaku identitas kita sebagai putera-puteri Allah.
Kita barangkali memiliki karir atau keluarga yang bagus. Namun kita mengalami saat-kesepian. Setiap kali mengalami kesepian, kita hendaknya mencari sumber perasaan itu. Kita cenderung lari darinya atau terjerat di dalamnya. Saat kita lari darinya, kesepian itu tetap tinggal. Kita hanya sebentar saja melupakannya. Depresi merupakan akibat kesepian yang mengakar dalam diri kita. Hati kita hendaknya berani mencari tempat kesepian itu. Pencarian itu merupakan aktivitas penting karena akan mengembalikan kebaikan dalam kehidupan kita. Kesepian boleh jadi merupakan undangan bagi kita untuk memalingkan diri kita sepenuhnya kepada Allah, mengenali, dan mengasihi-Nya. Kita membuka diri kita untuk mempersilakan Allah memeluk kelemahan kita.
Allah mengampuni kita tanpa syarat. Pengampunan Allah keluar dari hati yang tidak memiliki kepentingan. Allah mengundang kita untuk mengampuni sesama kita tanpa syarat. Sebagian orang memandang pengampunan sebagai aktivitas yang tidak bijaksana, tidak sehat, dan tidak praktis. Sebagian juga menuntut balasan terima kasih saat mengampuni sesamanya. Pengampunan yang sejati menuntut kita untuk mengelola hati kita yang terlanjur dilukai sesama kita.
No comments:
Post a Comment