Suatu sore saya berkunjung ke sebuah keluarga muda. Suaminya menjemput saya dari stasiun kereta api terdekat. Ketika kami sampai di depan pintu rumah, saya mendengar teriakan seorang perempuan dewasa dan suara lirih tangisan anak kecil.
"Beginilah, Romo, keluarga muda dengan anak kecil. Kami sering kehilangan kesabaran kepada anak," katanya sambil garuk-garuk belakang kepalanya.
Teriakan dan tangisan lirih berubah menjadi senyap ketika kami menekan bel rumah.
"Silakan masuk, Romo," kata istri muda yang nampak masih kesulitan menata kembali wajahnya yang barusan marah.
Seorang anak kecil kira-kira berusaha tiga tahun nampak juga berusaha menghapus air matanya. Sebuah air mata tertinggal di pipinya.
"Romo dengar lho mama marahin Catherine," kata suaminya.
"Gimana saya ndak marah, Romo," ujar istrinya membela diri.Teriakan dan tangisan lirih berubah menjadi senyap ketika kami menekan bel rumah.
"Silakan masuk, Romo," kata istri muda yang nampak masih kesulitan menata kembali wajahnya yang barusan marah.
Seorang anak kecil kira-kira berusaha tiga tahun nampak juga berusaha menghapus air matanya. Sebuah air mata tertinggal di pipinya.
"Romo dengar lho mama marahin Catherine," kata suaminya.
"Piano ini hadiah terindah pernikahan kami. Catherine dengan cerobohnya menggoreskan kuku-kuku jarinya pada permukaan piano," tuturnya dengan nada lebih tinggi.
Setelah makan malam Catherine berjingkat-jingkat mendekati saya dan kemudian duduk di pangkuan saya. Sambil membusai rambutnya, saya bertanya
"Apa yang terjadi tadi sore, Catherine?"
"Catherine ingin menulis sesuatu, tapi mama menjewer telinga Catherine."
"Catherine mau menulis apa?"
"I Luv You Mom."
Dunia orang dewasa melihat piano, dunia anak kecil seperti Catherine melihat papan tulis.
Sources:
http://www.depauw.edu/photos/PhotoDB_Repository/2005/4/steinway%20d%20piano%202.jpg
No comments:
Post a Comment