Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Sunday, September 23, 2007

Kauseka Air Mataku dari Surga (lanjutan)

Ibu Sumarsih,
Engkau perempuan bersahaja dari desa Rogomulyo. Engkau juga memiliki cita-cita yang bersahaja. Engkau berikrar kepada Tuhan untuk menjadi istri yang setia lepada suazi dalam segala suka dan duka sepanjang hidup. Engkau juga berjanji untuk melahirkan dan membesarkan anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepadamu. Bernardinus Realino Norma Imawan mengandung harapan kelak ia menjadi pribadi yang mengetahui norma yang berkeadilan tanpa mengabaikan irama masyarakat yang dinamis.
Ibu Sumarsih,
seorang ibu sejati mengenal diri anak-anaknya tanpa cacat. Saat menjenguk jenazah putaramu di Rumah Sakit Jakarta, engkau melihat dia berada di keranda terbuka, tangan dilipat, kain putih mengikat dua jempol kaki kanan dan kiri, berkaos putih dan bercelana pendek. Kaosnya berlubang seperti disundut rokok, di sekelilingnya agak cokelat kemerahan. Serpihan tubuh korban menyingkap identitas wajah pelaku kekeraan.
Ibu Sumarsih,
Engkau selalu memelihara harapan sekecil apa pun. Engkau sering merasa lemah, lelah, putus asa. Engkau mendaraskan mazmur kepada Allah, “Sekiranya aku diberi sayap seperti burung merpati, aku akan terbang dan mencari tempat yang tenang, bahkan aku akan lari jauh-jauh dan bermalam di padang gurun. Aku akan segera mencari tempat perlindungan, terhadap angin ribut dan badai” (Mazmur 44, 7 – 9). Ibu, Allah membalas mazmur itu, "Datanglah kepada-Ku Engkau, Sumarsih, yang letik lesu dan berbeban berat. Aku akan memberikan kelegaan kepadamu." Ia juga mengaruniakan engkau waktu dan usia agar sepanjang hidup Engkau dapat menjadi suara kebenaran.
Ibu Sumarsih,
Engkau menapaki jalan yang seolah tak pernah sampai dari makam Wawan ke Istana Negara. Wawan di pelupuk penglihatanmu seakan-akan menyembunyikan wajah dan menahan isak tangis di kegelapan. Namur, Wawan juga hadir sebagai anak yang menyeka air matamu, Ibu.
Ziarah dari makam Wawan ke Istana Negara adalah ziarah air mata. Jalan itu seolah tak pernah sampai. Tempat tujuan itu seakan makin menjauh ketika engkau berjalan mendekatinya. Almarhum Munir pernah bertutur, "ziarah keadilan itu berjalan mengejar awan." Ibu, ziarah air mata merenggut, sekaligus menyegarkan usia kita. Hidup serasa penuh dengan uban. Tetapi uban itu berkilau dengan kebenaran. Wawan di pelupuk penglihatanmu seakan-akan menyembunyikan wajah dan menahan isak tangis di kegelapan. Wawan, putramu, juga menyeka air matamu dari surga, Ibu.
Peziarahan itu seringkali bertemu dengan lorong gelap dan jalan simpang. Engkau tak tahu kemana harus melangkah. Engkau kembali kepada doa. Engkau mengawali bangun tidur dengan membaca Kitab Suci dan berdoa, sekitar jam 07.30 Engkau berdoa di makam Wawan, jam 12.00 engkau berdoa rosario, jam 17.00 berdoa mendaraskan litany Nama Yesus Yang Tersuci, Hati Yesus Mahakudus, dan Maria. Engaku beroda menjelang tidur dan kadang-kadang dapat bernyanyi jam 24.00. Setiap bangun Engkau juga berdoa sesuai keinginan hati. Engkau rindu Tuhan membimbing hatimu kemana hatimu harus melangkah.
Ibu Sumarsih,
penderitaan sering membekukan waktu. Engkau pernah mengalami hidupmu tak beranjak dari ruang tamu tempat Wawan diistirahatkan. Engkau duduk di pojok ruang tamu dekat jendela, bedo, sambil menunggu perkembangan berita kasus itu di Koran. Berminggu-minggu saya tidak merasa lapar. Pertama kali bisa merasakan lapar, saya bilang kepada Tuhan sambil menangis, “Tuhan Yesus, aku lapar.” Penderitaan juga membuat kita seperti berjalan di ruang hampa. Saat pertama kali masuk kembali kerja, engkau merasa badanmu melayang, sempoyongan, dan air matamu terus bercucuran. Engkau bersandar lama di dinding sambil menangis hingga seorang kawan memapahmu di ruang kerja.

No comments: