Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Friday, September 21, 2007

Maria Sumarsih: Kauseka Airmataku dari Surga

Ibu Sumarsih,
surat ini tak berperangko. Ia tak bersampul kertas, melainkan air mata. Hampir 9 tahun surat ini menanti di meja menanti alamat penulisnya. Seminggu yang lalu, seorang sahabat dari Indonesia mengadakan kampanye mengenang wajah korban. Aku gemetar saat mengisahkan ziarah panjang keluarga korban dari makam ke Istana Negara. Aku dapat mendengarkan suara langkah kakimu. Engkau hadir sedemikian dekat dalam pakaian duka. Engkau menatap dan menyapaku. "Kadang saya merasa kuat, kadang merasa sangat tak berdaya. Tetapi saya tidak akan berhenti sepanjang Tuhan masih memberikan saya waktu dan usia." Air mataku jatuh saat menyebut namamu dan mengenang kata-katamu. Tatapanmu mengingatkan aku pada sebuah pertanyaan yang pernah kau lontarkan kepadaku, "Apakah engkau mau berada di sisi kami?" Semoga ibu masih berkenan mendengarkan jawaban saya. Sebuah majalah menempelkan perangko hati nurani berkenan menghantar surat ini agar sampai ke tangan Ibu.

[teman-teman blogger... saat menulis bagian ini... saya tak kuasa menitikkan air mata...]

Ibu Sumarsih,
Pada tanggal 13 November 1998, Wawan ditembak militer saat menolong sesama mahasiswa yang menjadi korban. Menurut para sahabat relawan, ia sudah bertanya kepada aparat militer yang masuk ke kampus Atma Jaya, apakah ia boleh menolong korban. Aparat militer itu mengizinkannya. Sebelum menghampiri korban, Wawan melambaikan bendera putih sebagai tanda untuk memberikan pertolongan. Namun, ketika sedang mengangkat korban, ia ditembak dengan peluru tajam. Ia ditembak di dada, mengenai jantung dan paru-paru sebelah kiri.

Ibu Sumarsih,
wafat putra terkasih, Bernardinus Realino Norma Imawan, mempertemukan kita. Perjumpaan itu terjadi di sekeliling jenazah korban. Para mahasiswa, LSM, wartawan, rekan sejawat di kantor, dan tetangga datang kepadamu untuk mengucapkan atau menitipkan salam belasungkawa. Penderitaan itu meminta kita hening. Hanya dalam keheningan kita diperkenankan mendengarkan suara penderitaan seorang ibu yang melahirkan, dan kemudian kehilangan putra yang direnggut hidupnya dalam sebuah tragedi kemanusiaan.

Ibu Sumarsih,
Engkau hadir di hadapanku sebagai ibu duka cita. Engkau memangku jenazah Wawan yang meninggal karena ditembak militer dalam tragedi Semanggi. Engkau pernah bercerita bahwa hidupmu banyak berubah setelah wafat puteramu. Engkau belum bisa tidur di kamar tidurmu. Selama berminggu-minggu Engkau susah makan. Setiap jam sebelas Engkau baru merasa dahaga. Minum setengah cangkir air hangat itu sampai beberapa minggu terasa sudah seperti kenyang. Ketika saya merasa lapar, saya justru malah nangis dan bilang, Tuhan saya lapar. Namun, saat mengambil nasi, tiba-tiba perut kenyang, leher seperti tersumbat. Sejak wafat putramu, Engkau berpuasa selama 3 hari dalam seminggu. Engkau melanjutkan tradisi masyarakat Jawa yang berpuasa pada hari Kamis, hari Jumat untuk mengenang peristiwa penembakan, dan hari Sabtu untuk pemakaman Wawan.

Ibu Sumarsih,
Membaca Kitab Suci, berdoa, berpuasa, dan berkunjung ke makam Wawan menjadi aktivitas rutinmu bersama keluarga dalam peziarahanmu di jalan penderitaan. Setiap hari Engkau mampir ke makam Wawan di Joglo dalam perjalanan ke kantor di Meruya. berkunjung ke makam Wawan karena Engkau masih bersamanya. Ia menjadi taman hati keluarga. Engkau merawat makamnya dan menaruh bunga setiap hari. Engkau juga membawa air minum kepadanya. Saat kita kehilangan harapan, kita melakukan apa pun yang dapat menghibur hati kita. Jadi saya kalau ke kantor selalu lewat.

Ibu Sumarsih,
Kehidupanmu terhempas dalam jurang yang begitu curam dengan wafat Wawan. Luluh lantak kehidupanmu. Engkau hampir tak punya kuasa untuk bangkit dan menata kembali hidupmu.
Engkau menemukan nyala harapan di makam puteramu. Engkau tak ingin kehilangan harapan karena larut dalam penderitaan. Hidup dan mati manusia berada di tangan Tuhan, bukan di kaki lars sepatu militer. Engkau menuntut kebenaran dan keadilan hukum atas penembakan puteramu. Engkau berjuang sebagai ibu yang pernah merajut hidup Wawan dalam rahimmu.

Ibu Sumarsih,
Engkau menapakai peziarahan panjang yang belum usai untuk meminta keadilan hukum atas putramu. Engkau sangat rendah hati saat bertutur mengenai perjuanganmu membela hidup para korban, "Saya ini bukan siapa-siapa. Aktivitas saya spontan dan banyak tak terencana. Saya melakukan hal yang biasa, meskipun bukan main-main." Engkau berjalan menapaki jalan kebenaran tanpa bekal uang atau kecakapan hukum. Negara ini kejam terhadap korban. Para pemimpinnya mempermainkan hidup keluarga korban dengan hukum.

Ibu Sumarsih,
sebagian masyarakat telah tercerai hidupnya dari pengalaman keluarga Korban. Mereka sampai pada suatu titik negatif bahwa kejahatan berat kamanusiaan itu sebagai peristiwa kehidupan yang tidak penting dan bahkan tak pernah terjadi. menjadi peristiwa sehari-hari yang sepele. Engkau malahan dipersalahkan sebagai ibu yang melahirkan, tetapi tidak bisa mendidik anak. Sebagian mengusulkan untuk tidak memperpanjang kasus ini karena yang menembak mati anaknya adalah orang Indonesia sendiri.

Ibu Sumarsih,
makam Wawan adalah mata air bagimu, tempat Engkau boleh membasuh air mata dukamu. Saat engkau lelah, engkau dapat beristirahat sejenak di situ. Saat engkau sendirian, ia hadir menghiburmu. Di makam Wawan, engkau menerima wasiat kehidupan. Perjuangan kemanusiaan belum usai. Perjuanganmu lahir dari cinta.


"Ketika mendapat penghargaan Yap Thiam Hien 2004 ini khan suatu pengakuan bahwa apa yang kami perjuangkan memang sudah seharusnya kita lakukan. Ketika saya sering merasa lemah, lelah, putus asa, maka dengan penghargaan Yap Thiam Hien saya merasa mendapat kekuatan untuk tetap melanjutkan perjuangan anak saya. Dan sebagai p osisi korban, saya dengan penghargaan itu menambah semangat sayauntuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan, yah upaya untuk menegakkan supremasi huum dan HAM."


"Bulan Desember adalah bulan penuh berkah agi saya. Hari perkawinan saya jatuh pada bulan Desember, 28 tahun yang lalu. Dan kali ini, di bulan Desember pula saya mendapat penghargaan dari Yayasan Yap Thiam Hien.
"Dihadapan Tuhan saya bngga terhadap apa yang telah dilakukan Wawan, saya tidak menyalahkan keputusan Wawan untuk bergabung dengan kaum yang peduli dan perhatian melihat carut marutnya negeri ini. Melalui proses perenungan yang panjang, saya sampai pada sebuah persepsi bahwa Wawan berada pada posisi yang bnear. Namun sebagai manusia, hati saya amat terluka dengan kepergiannya untuk selama-lamanya. untuk itu dan didorong kecitnaan saya pada Wawan timbul niat untuk menuntut kebenaran ketika saya masih dikaruniai waktu dan usia. BAyang-bayang sempat melintas dan bertutur bahwa say aharus berjuang menuntut kebenaran dan ekadilan bersama orang-raong sederhana, orang-orang lemah yangmenderita dan menanggung beban akibat ulah kekuasaan."

"Ketika saya menerima kabar bahwa saya akan mendapat penghargaan Yap Thiam Hien award, saya biarkan pikiran saya menelusuri masa lalu, mengingat kembalis emuakejadian yang menghantar saya untuk menapaki jalan kehiduan dari hari ke hari. Dan yang pertama terbayang di pelupuk mata, adalah wajah anak saya Wawan, yang seakan-akan menyembunykan wajah dan menahan isak tangis di kegelapan. SAya tercenung sejenak, dan kata-kata dengan terbata-bata keluar dari mulut saya: "Nak, penghargaan ini tidaklah tepat untuk ibu. Kamulah nak, yang lebih pantas menerimanya; ibu hanyalah sekedar melahirkanmu,

[saya tak kuasa menangis lagi di bagian ini]

1 comment:

Jennie S. Bev said...

Doa saya untuk semua victims and survivors 1998. God bless them and us all.