Menebus Dosa Pendidikan
Pendidikan itu suci. Ia memiliki kuasa sakramental dalam rahimnya. Ia mampu menyentuh sisi terdalam kehidupan manusia dan mentransformasikannya. Dosa utama dari institusi pendidikan adalah mengaborsi kesucian dari rahim pendidikan. Sekularisasi dan fragmentasi hidup posmodern sepintas nampak menyudutkan posisi institusi agama dalam dunia pendidikan. Konteks baru pendidikan ini sejatinya mendorong dialog baru antara religiositas dan pendidikan. Teologi pendidikan lahir untuk menebus dosa pendidikan. Peter C. Hodgson, seorang teolog pendidikan, melihat sosok Allah sebagai Pendidik utama dalam transformasi hidup sejarah manusia dan menawarkan jalan pendidikan Allah di era posmodern. Ia menjungkirbalikkan berhala-berhala pendidikan yang deformatif terhadap kehidupan manusia.
203: Catatan Air Mata Murid
Kelas 203. Ia masih lengang meskipun bel tanda masuk telah berdering. Meja para murid penuh coretan. Beberapa halaman buku pelajaran hilang bekas sobekan. Papan tulis penuh dengan kotoran debu. Penutup jendela kelas rusak. Kelas 203 lebih mirip sebuah bui daripada ruang pendidikan. Mayoritas guru melihat kelas itu sebagai ruang gelap tanpa harapan. Rapor akademik kelas itu merah. Kata pendidikan absen dari ruang itu, yang ada cuma pendisiplinan. Satu per satu murid memasuki kelas karena digiring petugas piket sekolah. Mereka harus dipaksa belajar karena mereka tidak memiliki hasrat sedikit pun akan pendidikan. Para guru mengibarkan bendera putih. Para murid akan menghilang satu per satu dari ruang kelas untuk selamanya.
Kelas 203 kontras dengan kelas di seberangnya. Para guru sudah hadir di kelas sebelum jam tatap muka mulai. Ia sudah menuliskan materi pelajaran di papan tulis. Hanya guru dengan predikat teladan mendapatkan izin mengajar di kelas itu. Meja para murid tertata rapi dan bersih dari coretan. Tahun ajaran baru ditandai dengan buku pelajaran baru. Para murid bergegas memasuki kelas begitu bel masuk berbunyi. Ruang kelas itu hanya terbuka bagi para murid dengan rapor akademik istimewa. Mayoritas murid berkulit putih dengan perkecualian segelintir murid dari ras lain. Mereka tak pernah menginjakkan kaki mereka di kelas seberang mereka karena terbentang sekat pemisah diantara keduanya.
Para murid kelas 203 melihat Erin Gruwell, guru baru mereka, dengan tatapan kebencian pada hari-hari pertama tahun ajaran. Mereka memandangnya sebagai sipir bui yang berdiri di depan kelas untuk mendisiplinkan para narapidana sekolah. Ia menjadi bagian dari struktur sekolah yang melihat para murid sebagai barang antik. Ia dianggap sama saja dengan para guru sebelumnya yang selalu mengeluarkan kartu merah untuk mendisiplinkan perilaku mereka. Ia terlibat dalam institusi pendidikan yang terperosok dalam dosa. Profesi guru telah lama hilang dari ruang kelas itu. Gruwell mencita-citakan sebuah rumah pendidikan bagi para muridnya. Rumah pendidikan dibangun di atas fondasi guru, murid, administrasi, dan dunia sekitarnya.
Gruwell tidak mulai dengan pelajaran tata bahasa, melainkan tata bangsa Amerika. Sekat pembatas antar manusia itu tercipta antar ruang kelas dan bahkan di dalam satu ruang kelas. Para muridnya berasal dari latar belakang imigran, manusia perahu, korban penggusuran, pengedar obat terlarang, pernikahan dini, dan mereka yang terpinggirkan dari komunitasnya. Kelas didesain berdasar sekat-sekat pembatas. Menyeberang sekat menimbulkan ancaman kehidupan bagi penghuni sekat lain. Gruwell mencabut jerat-jerat penyekat itu dari ruang kelas. Ia mendesain ulang kelas itu menjadi jaring-jaring perjumpaan. Ia buka mata terhadap konteks hidup para muridnya. Ia mendambakan kelas itu berubah dari penjara menjadi rumah. Jika Holocaust adalah nama sebuah sekat masa lalu dalam sejarah dunia, rasialisme adalah sekat modern dalam masyarakat Amerika. Pendidikan tak akan berlangsung selama rasialisme menjadi salah satu pilarnya.
Gruwell mengalami reorientasi atas profesinya sebagai pendidik saat ia menbaca fragmen kehidupan para muridnya. Fragmen hidup dalam buku harian itu bergenang air mata. Ketulusan Gruwell dalam mendampingi mereka mengembalikan identitasnya sebagai guru. Drama pendidikan mencapai klimaks ketika Gruwell dan para murid membongkar model pendidikan lama yang deformatif dan mendesain model pendidikan baru yang transformatif. Para guru lain dan dewan sekolah mencecar Gruwell dengan tanggapan pedas. “Kelas 203 adalah kasus khusus yang sulit diterapkan di tingkat pendidikan yang setara. Metode pendidikanmu sangat tidak praktis. “Saya ingin menyalakan lilin di ruang gelap pendidikan. Saya berani mengambil resiko menerapkan metode pendidikan yang didakwa tidak praktis ini karena hidup para murid berharga di mata saya sebagai seorang guru,” demikian Gruwell menuliskan dalam buku hariannya.
Kesucian Pendidikan
Film The Freedom Writers berangkat dari catatan air mata para murid terhadap peristiwa pendidikan. Paul C. Hodgson, seorang teolog pendidikan Amerika Serikat, dalam God’s Wisdom: Toward a Theology of Education (1999) melihat peristiwa pendidikan dari perspektif seorang pendidik di era postmodern. Hodgson melakukan survei atas para nabi pendidikan baik dari bidang filsafat, psikologi pendidikan, dan teologi sejak era klasik hingga era postmodern yang menawarkan gagasan pendidikan. Ia hendak mengembalikan kesucian pendidikan dengan melucuti dosa-dosanya. Ia menghidupkan kembali dialog serius antara teologi dan pendidikan yang sejatinya berlangsung sepanjang zaman. Ia menceburkan diri di tengah kepekatan problem pendidikan dari perspektif seorang teolog pendidikan.
Keterlibatan teolog dalam dialog pendidikan mengalami masa surut ketika masing-masing disiplin ilmu menarik garis batas dari disiplin ilmu lainnya (ghettoisation). Teori-teori pendidikan mengalami sekularisasi dan sebagian besar tersekat dalam bidang ilmu pendidikan, psikologi, dan filsafat. Hodgson mengamati bahwa teologi menderita cacat ganda dalam relasi dengan pendidikan. Teologi kristiani bungkam terhadap pendidikan. Pendidikan juga menghilang dalam studi teologi lanjut. Para nabi pendidikan posmodernisme menghembuskan angin perubahan baru dalam dunia pendidikan dengan mengangkat kembali tema religiositas pendidikan. Mereka mengedepankan pembentukan karakter, ritme pendidikan, pengetahuan konstruktif dan interaktif, pendidikan sebagai praktek kebebasan, pengajaran berkesinambungan (connected teaching) dan pembelajaran kooperatif. Mereka juga menyadarkan kita akan konteks baru dunia pendidikan. Institusi agama semakin surut terlibat dalam pendidikan dan peran itu semakin diambil alih oleh lembaga pemerintah atau swasta (secular corporations). Disiplin ilmu pendidikan terentang dari kosmologi (cosmology) ke kosmetikologi (cosmetology).
Setelah menelusuri sejarah kata pendidikan dan diskursus para nabi pendidikan, Hodgson meyakini bahwa teologi sejak awal kelahirannya senantiasa bergumul dengan tema pendidikan. Teologi pendidikan bukan sebuah tema dadakan yang diada-adakan oleh para teolog. Ia dengan rendah hati sadar bahwa ia merupakan pendatang baru dalam diskursus teologi pendidikan. Ia mengajukan beberapa pertanyaan fundamental dalam diskursus teologi pendidikan. Bagaimana ziarah pendidikan itu berlangsung? Apa pengaruh peristiwa pendidikan terhadap pribadi-pribadi murid? Mengapa pendidikan itu suci? (Hodgson, GS: 1 - 3)
Jalan Pendidikan Allah
Teologi pendidikan menempatkan Allah sebagai Pendidik utama. Allah merupakan objek/subjek tak langsung dari peristiwa pendidikan. Manusia sebagai peziarah pendidikan, belajar mengenal kebenaran Allah yang mentransformasikan hidup manusia dan sejarah. Teologi pendidikan yang memeluk kebenaran Allah bersikap kritis terhadap segala klaim kebenaran manusia. Manusia memiliki keterbatasan untuk sampai pada kebenaran Allah karena kedosaannya. Allah menempati tempat utama dalam pendidikan manusia. Manusia berperan sebagai partner Allah dalam mendidik sesamanya.
Pendidikan itu terkait dengan kehidupan. Gagasan ini sudah berusia lanjut dan kemungkinan besar lahir saat aktivitas pendidikan berhubungan erat dengan ibadat. Belajar bukan melulu aktivitas informatif, melainkan jalan hidup transformatif. Allah tidak membatasi diri pada kasta elit agama (privileged priesthood), melainkan terbuka pada semua pribadi. Metode pendidikan Allah adalah dialog, bukan monolog. Ia menolak cara-cara otoriter dalam pendidikan. Sebagaimana pernah dimazmurkan Sokrates, pengetahuan merupakan kunci kepada keutamaan. Institusi pendidikan mendapat tempat istimewa dalam peristiwa pendidikan karena ia bertanggung jawab melawan nabi-nabi palsu pendidikan yang mengklaim memiliki kebenaran Allah. Mereka tidak menggantikan peran Allah, melainkan bekerja melalui Allah. Mereka mengundang para murid untuk beralih dari hidup yang berpusat pada diri sendiri menuju hidup yang berorientasi kepada Allah. Peristiwa pendidikan ini berlangsung seperti drama seri dengan banyak adegan kejutan di dalamnya (ibid, 33 – 41).
Allah merupakan figur aktif dalam seluruh proses pemekaran hidup manusia. Teologi pendidikan kristiani mengambil orientasi pendidikan Allah pada figur paradigmatik Yesus dari Nazaret. Yesus menampilkan kebenaran Allah dalam oposisi terhadap dogma lama dunia, seperti hirarkisme patriarkal, otoritarianisme politik, dan elitisme religius. Ajaran rahmat, kasih, dan kebebasan merupakan perlawanan aktif terhadap dogma dominasi, kekerasan, dan hukuman. Yesus berdialog aktif dengan para pendengarnya menggunakan bahasa sehari-hari mereka sekaligus bersama paradoksnya. Ia mengundang mereka untuk kritis terhadap dogma-dogma kehidupan yang selama ini mengatur hidup manusia. Ia mengundang para pendengarnya untuk sampai pada roh ajaran yang memiliki implikasi transformatif.
Pendidikan merupakan peziarahan manusia sepanjang hidup. Ia menghantar mereka yang belajar untuk berpaling dari berhala-berhala manusia dan berpaling kepada Allah. Reorientasi hidup kepada Allah itu membutuhkan ketekunan. Kita mudah tergoda untuk cepat berpuas diri atau letih dalam pergumulan dengan dogma-dogma kehidupan yang memenjarakan hidup kita. Pendidikan, dalam arti ini, merupakan olah devosi. Pendidikan itu lebih luas daripada sekolah. Tekanan pendidikan sebagai transformasi kehidupan manusia tidak mengesampingkan pembelajaran konstruktif (ordered learning). Sebagaimana diungkapkan David Kelsey, model pembelajaran Athena yang menekankan transformasi kehidupan hendaknya bersanding setara dengan model pembelajaran Berlin yang menekankan disiplin akademik.
Pendidikan itu ritmik. Ia tidak terjadi sekali jadi, melainkan berlangsung sepanjang hidup. Ia memiliki ritme berpikir kritis, berimaginasi tinggi, dan berpraksis liberatif. Ketiga elemen dasar ini terkait satu dengan yang lainnya secara siklis. Pengetahuan itu konstruktif dan interaktif. Pendidikan mendekonstruksi struktur-struktur lama yang opresif dan mengkonstruksi struktur-struktur baru yang liberatif. struktur-struktur lama yang opresif dan mengkonstruksi struktur-struktur baru yang liberatif Ia merupakan suatu aktivitas sosial yang berlangsung dalam suatu komunitas diskursus (a community of discourse). Pembelajaran berjalan pincang jika komunitas diskursus absen dalam institusi pendidikan. Komunitas diskursus terbentuk ketika para murid menyadari peran guru sebagai pendamping dalam peziarahan pendidikan dan para guru menyadari para murid sebagai subyek aktif. Komunitas diskurus mengandaikan interaksi sehat antara guru dan murid di ruang pendidikan. (ibid, 63 – 70. 97).
Pendidikan menyingkapkan kebenaran Allah dan menyelamatkan umat manusia dari kesesatan (the darkness of error) dan berhala (idolatry). Akal budi di satu sisi adalah tanda kemuliaan Allah, tetapi sekaligus potensial menjadi sumber penderitaan manusia yang tak terperikan. Kita perlu menebus budi, namun tidak menggusurnya. Kita perlu memerangi kejahatan yang disebabkan akal budi. Pendidikan bertujuan memberikan tanggapan terhadap panggilan akan kebenaran (ibid, 103 – 107). Sikap acuh tak acuh terhadap kebenaran, menurut Farley, merupakan virus AIDS virtual dari pendidikan.
Air Mata Suci Pendidikan
Air mata murid dan guru menggenangi dunia pendidikan Indonesia. Kecurangan ujian nasional, kekerasan antarsiswa, dan pelecehan terhadap etika profesi guru menjadi potret-potret buram pendidikan yang membuat kita tak kuasa menitikkan air mata duka. Kita mendengarkan tangisan murid di awal tahun ajaran baru. Komunitas guru berbondong-bondong menuju istana negara membawa air mata pendidikan di tangan mereka. Air mata itu mencatat dosa-dosa pendidikan di negeri ini. Air mata itu juga menyimpan harapan mereka akan kesucian pendidikan. Mereka datang untuk menebus dosa-dosa pendidikan. Mereka ingin meletakkan kembali kesucian di rahim pendidikan. Air mata mereka, sebagaimana pendidikan, adalah suci. Semoga kita yang terlibat dalam dunia pendidikan tak lagi tutup penglihatan terhadap terhadap air mata mereka (SELESAI).
Pendidikan itu suci. Ia memiliki kuasa sakramental dalam rahimnya. Ia mampu menyentuh sisi terdalam kehidupan manusia dan mentransformasikannya. Dosa utama dari institusi pendidikan adalah mengaborsi kesucian dari rahim pendidikan. Sekularisasi dan fragmentasi hidup posmodern sepintas nampak menyudutkan posisi institusi agama dalam dunia pendidikan. Konteks baru pendidikan ini sejatinya mendorong dialog baru antara religiositas dan pendidikan. Teologi pendidikan lahir untuk menebus dosa pendidikan. Peter C. Hodgson, seorang teolog pendidikan, melihat sosok Allah sebagai Pendidik utama dalam transformasi hidup sejarah manusia dan menawarkan jalan pendidikan Allah di era posmodern. Ia menjungkirbalikkan berhala-berhala pendidikan yang deformatif terhadap kehidupan manusia.
203: Catatan Air Mata Murid
Kelas 203. Ia masih lengang meskipun bel tanda masuk telah berdering. Meja para murid penuh coretan. Beberapa halaman buku pelajaran hilang bekas sobekan. Papan tulis penuh dengan kotoran debu. Penutup jendela kelas rusak. Kelas 203 lebih mirip sebuah bui daripada ruang pendidikan. Mayoritas guru melihat kelas itu sebagai ruang gelap tanpa harapan. Rapor akademik kelas itu merah. Kata pendidikan absen dari ruang itu, yang ada cuma pendisiplinan. Satu per satu murid memasuki kelas karena digiring petugas piket sekolah. Mereka harus dipaksa belajar karena mereka tidak memiliki hasrat sedikit pun akan pendidikan. Para guru mengibarkan bendera putih. Para murid akan menghilang satu per satu dari ruang kelas untuk selamanya.
Kelas 203 kontras dengan kelas di seberangnya. Para guru sudah hadir di kelas sebelum jam tatap muka mulai. Ia sudah menuliskan materi pelajaran di papan tulis. Hanya guru dengan predikat teladan mendapatkan izin mengajar di kelas itu. Meja para murid tertata rapi dan bersih dari coretan. Tahun ajaran baru ditandai dengan buku pelajaran baru. Para murid bergegas memasuki kelas begitu bel masuk berbunyi. Ruang kelas itu hanya terbuka bagi para murid dengan rapor akademik istimewa. Mayoritas murid berkulit putih dengan perkecualian segelintir murid dari ras lain. Mereka tak pernah menginjakkan kaki mereka di kelas seberang mereka karena terbentang sekat pemisah diantara keduanya.
Para murid kelas 203 melihat Erin Gruwell, guru baru mereka, dengan tatapan kebencian pada hari-hari pertama tahun ajaran. Mereka memandangnya sebagai sipir bui yang berdiri di depan kelas untuk mendisiplinkan para narapidana sekolah. Ia menjadi bagian dari struktur sekolah yang melihat para murid sebagai barang antik. Ia dianggap sama saja dengan para guru sebelumnya yang selalu mengeluarkan kartu merah untuk mendisiplinkan perilaku mereka. Ia terlibat dalam institusi pendidikan yang terperosok dalam dosa. Profesi guru telah lama hilang dari ruang kelas itu. Gruwell mencita-citakan sebuah rumah pendidikan bagi para muridnya. Rumah pendidikan dibangun di atas fondasi guru, murid, administrasi, dan dunia sekitarnya.
Gruwell tidak mulai dengan pelajaran tata bahasa, melainkan tata bangsa Amerika. Sekat pembatas antar manusia itu tercipta antar ruang kelas dan bahkan di dalam satu ruang kelas. Para muridnya berasal dari latar belakang imigran, manusia perahu, korban penggusuran, pengedar obat terlarang, pernikahan dini, dan mereka yang terpinggirkan dari komunitasnya. Kelas didesain berdasar sekat-sekat pembatas. Menyeberang sekat menimbulkan ancaman kehidupan bagi penghuni sekat lain. Gruwell mencabut jerat-jerat penyekat itu dari ruang kelas. Ia mendesain ulang kelas itu menjadi jaring-jaring perjumpaan. Ia buka mata terhadap konteks hidup para muridnya. Ia mendambakan kelas itu berubah dari penjara menjadi rumah. Jika Holocaust adalah nama sebuah sekat masa lalu dalam sejarah dunia, rasialisme adalah sekat modern dalam masyarakat Amerika. Pendidikan tak akan berlangsung selama rasialisme menjadi salah satu pilarnya.
Gruwell mengalami reorientasi atas profesinya sebagai pendidik saat ia menbaca fragmen kehidupan para muridnya. Fragmen hidup dalam buku harian itu bergenang air mata. Ketulusan Gruwell dalam mendampingi mereka mengembalikan identitasnya sebagai guru. Drama pendidikan mencapai klimaks ketika Gruwell dan para murid membongkar model pendidikan lama yang deformatif dan mendesain model pendidikan baru yang transformatif. Para guru lain dan dewan sekolah mencecar Gruwell dengan tanggapan pedas. “Kelas 203 adalah kasus khusus yang sulit diterapkan di tingkat pendidikan yang setara. Metode pendidikanmu sangat tidak praktis. “Saya ingin menyalakan lilin di ruang gelap pendidikan. Saya berani mengambil resiko menerapkan metode pendidikan yang didakwa tidak praktis ini karena hidup para murid berharga di mata saya sebagai seorang guru,” demikian Gruwell menuliskan dalam buku hariannya.
Kesucian Pendidikan
Film The Freedom Writers berangkat dari catatan air mata para murid terhadap peristiwa pendidikan. Paul C. Hodgson, seorang teolog pendidikan Amerika Serikat, dalam God’s Wisdom: Toward a Theology of Education (1999) melihat peristiwa pendidikan dari perspektif seorang pendidik di era postmodern. Hodgson melakukan survei atas para nabi pendidikan baik dari bidang filsafat, psikologi pendidikan, dan teologi sejak era klasik hingga era postmodern yang menawarkan gagasan pendidikan. Ia hendak mengembalikan kesucian pendidikan dengan melucuti dosa-dosanya. Ia menghidupkan kembali dialog serius antara teologi dan pendidikan yang sejatinya berlangsung sepanjang zaman. Ia menceburkan diri di tengah kepekatan problem pendidikan dari perspektif seorang teolog pendidikan.
Keterlibatan teolog dalam dialog pendidikan mengalami masa surut ketika masing-masing disiplin ilmu menarik garis batas dari disiplin ilmu lainnya (ghettoisation). Teori-teori pendidikan mengalami sekularisasi dan sebagian besar tersekat dalam bidang ilmu pendidikan, psikologi, dan filsafat. Hodgson mengamati bahwa teologi menderita cacat ganda dalam relasi dengan pendidikan. Teologi kristiani bungkam terhadap pendidikan. Pendidikan juga menghilang dalam studi teologi lanjut. Para nabi pendidikan posmodernisme menghembuskan angin perubahan baru dalam dunia pendidikan dengan mengangkat kembali tema religiositas pendidikan. Mereka mengedepankan pembentukan karakter, ritme pendidikan, pengetahuan konstruktif dan interaktif, pendidikan sebagai praktek kebebasan, pengajaran berkesinambungan (connected teaching) dan pembelajaran kooperatif. Mereka juga menyadarkan kita akan konteks baru dunia pendidikan. Institusi agama semakin surut terlibat dalam pendidikan dan peran itu semakin diambil alih oleh lembaga pemerintah atau swasta (secular corporations). Disiplin ilmu pendidikan terentang dari kosmologi (cosmology) ke kosmetikologi (cosmetology).
Setelah menelusuri sejarah kata pendidikan dan diskursus para nabi pendidikan, Hodgson meyakini bahwa teologi sejak awal kelahirannya senantiasa bergumul dengan tema pendidikan. Teologi pendidikan bukan sebuah tema dadakan yang diada-adakan oleh para teolog. Ia dengan rendah hati sadar bahwa ia merupakan pendatang baru dalam diskursus teologi pendidikan. Ia mengajukan beberapa pertanyaan fundamental dalam diskursus teologi pendidikan. Bagaimana ziarah pendidikan itu berlangsung? Apa pengaruh peristiwa pendidikan terhadap pribadi-pribadi murid? Mengapa pendidikan itu suci? (Hodgson, GS: 1 - 3)
Jalan Pendidikan Allah
Teologi pendidikan menempatkan Allah sebagai Pendidik utama. Allah merupakan objek/subjek tak langsung dari peristiwa pendidikan. Manusia sebagai peziarah pendidikan, belajar mengenal kebenaran Allah yang mentransformasikan hidup manusia dan sejarah. Teologi pendidikan yang memeluk kebenaran Allah bersikap kritis terhadap segala klaim kebenaran manusia. Manusia memiliki keterbatasan untuk sampai pada kebenaran Allah karena kedosaannya. Allah menempati tempat utama dalam pendidikan manusia. Manusia berperan sebagai partner Allah dalam mendidik sesamanya.
Pendidikan itu terkait dengan kehidupan. Gagasan ini sudah berusia lanjut dan kemungkinan besar lahir saat aktivitas pendidikan berhubungan erat dengan ibadat. Belajar bukan melulu aktivitas informatif, melainkan jalan hidup transformatif. Allah tidak membatasi diri pada kasta elit agama (privileged priesthood), melainkan terbuka pada semua pribadi. Metode pendidikan Allah adalah dialog, bukan monolog. Ia menolak cara-cara otoriter dalam pendidikan. Sebagaimana pernah dimazmurkan Sokrates, pengetahuan merupakan kunci kepada keutamaan. Institusi pendidikan mendapat tempat istimewa dalam peristiwa pendidikan karena ia bertanggung jawab melawan nabi-nabi palsu pendidikan yang mengklaim memiliki kebenaran Allah. Mereka tidak menggantikan peran Allah, melainkan bekerja melalui Allah. Mereka mengundang para murid untuk beralih dari hidup yang berpusat pada diri sendiri menuju hidup yang berorientasi kepada Allah. Peristiwa pendidikan ini berlangsung seperti drama seri dengan banyak adegan kejutan di dalamnya (ibid, 33 – 41).
Allah merupakan figur aktif dalam seluruh proses pemekaran hidup manusia. Teologi pendidikan kristiani mengambil orientasi pendidikan Allah pada figur paradigmatik Yesus dari Nazaret. Yesus menampilkan kebenaran Allah dalam oposisi terhadap dogma lama dunia, seperti hirarkisme patriarkal, otoritarianisme politik, dan elitisme religius. Ajaran rahmat, kasih, dan kebebasan merupakan perlawanan aktif terhadap dogma dominasi, kekerasan, dan hukuman. Yesus berdialog aktif dengan para pendengarnya menggunakan bahasa sehari-hari mereka sekaligus bersama paradoksnya. Ia mengundang mereka untuk kritis terhadap dogma-dogma kehidupan yang selama ini mengatur hidup manusia. Ia mengundang para pendengarnya untuk sampai pada roh ajaran yang memiliki implikasi transformatif.
Pendidikan merupakan peziarahan manusia sepanjang hidup. Ia menghantar mereka yang belajar untuk berpaling dari berhala-berhala manusia dan berpaling kepada Allah. Reorientasi hidup kepada Allah itu membutuhkan ketekunan. Kita mudah tergoda untuk cepat berpuas diri atau letih dalam pergumulan dengan dogma-dogma kehidupan yang memenjarakan hidup kita. Pendidikan, dalam arti ini, merupakan olah devosi. Pendidikan itu lebih luas daripada sekolah. Tekanan pendidikan sebagai transformasi kehidupan manusia tidak mengesampingkan pembelajaran konstruktif (ordered learning). Sebagaimana diungkapkan David Kelsey, model pembelajaran Athena yang menekankan transformasi kehidupan hendaknya bersanding setara dengan model pembelajaran Berlin yang menekankan disiplin akademik.
Pendidikan itu ritmik. Ia tidak terjadi sekali jadi, melainkan berlangsung sepanjang hidup. Ia memiliki ritme berpikir kritis, berimaginasi tinggi, dan berpraksis liberatif. Ketiga elemen dasar ini terkait satu dengan yang lainnya secara siklis. Pengetahuan itu konstruktif dan interaktif. Pendidikan mendekonstruksi struktur-struktur lama yang opresif dan mengkonstruksi struktur-struktur baru yang liberatif. struktur-struktur lama yang opresif dan mengkonstruksi struktur-struktur baru yang liberatif Ia merupakan suatu aktivitas sosial yang berlangsung dalam suatu komunitas diskursus (a community of discourse). Pembelajaran berjalan pincang jika komunitas diskursus absen dalam institusi pendidikan. Komunitas diskursus terbentuk ketika para murid menyadari peran guru sebagai pendamping dalam peziarahan pendidikan dan para guru menyadari para murid sebagai subyek aktif. Komunitas diskurus mengandaikan interaksi sehat antara guru dan murid di ruang pendidikan. (ibid, 63 – 70. 97).
Pendidikan menyingkapkan kebenaran Allah dan menyelamatkan umat manusia dari kesesatan (the darkness of error) dan berhala (idolatry). Akal budi di satu sisi adalah tanda kemuliaan Allah, tetapi sekaligus potensial menjadi sumber penderitaan manusia yang tak terperikan. Kita perlu menebus budi, namun tidak menggusurnya. Kita perlu memerangi kejahatan yang disebabkan akal budi. Pendidikan bertujuan memberikan tanggapan terhadap panggilan akan kebenaran (ibid, 103 – 107). Sikap acuh tak acuh terhadap kebenaran, menurut Farley, merupakan virus AIDS virtual dari pendidikan.
Air Mata Suci Pendidikan
Air mata murid dan guru menggenangi dunia pendidikan Indonesia. Kecurangan ujian nasional, kekerasan antarsiswa, dan pelecehan terhadap etika profesi guru menjadi potret-potret buram pendidikan yang membuat kita tak kuasa menitikkan air mata duka. Kita mendengarkan tangisan murid di awal tahun ajaran baru. Komunitas guru berbondong-bondong menuju istana negara membawa air mata pendidikan di tangan mereka. Air mata itu mencatat dosa-dosa pendidikan di negeri ini. Air mata itu juga menyimpan harapan mereka akan kesucian pendidikan. Mereka datang untuk menebus dosa-dosa pendidikan. Mereka ingin meletakkan kembali kesucian di rahim pendidikan. Air mata mereka, sebagaimana pendidikan, adalah suci. Semoga kita yang terlibat dalam dunia pendidikan tak lagi tutup penglihatan terhadap terhadap air mata mereka (SELESAI).
No comments:
Post a Comment