Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Monday, September 17, 2007

Surat kepada Kekasih: Cerpen dari Anastasia F. Lioe



“Di setiap senja lindap
sunyi dan sepi menyelinap
ditatapnya bias rona lembayung
dalam pana pesona yang tiada tuntas
ditapakinya bebatuan dan didakinya bukit terjal
ketempat rindu pernah tertanam
dan sejuta mawar merah terhampar
dirembang petang itu
rentang pelangi memudar
:adakah putik-putik bersemai ?
setelah rintik hujan yang menetes
di sepanjang siang”



Dear kekasihku,

Saat ini ku rindukan kehadiranmu, kepedihan menelusup di kalbu, kutuliskan surat ini sebagai penawar deritaku. Lewat tulisanku ini, ku coba pula mengurai kenangan indah yang pernah kulalui bersamamu.

“Kasih merah jambu bertebaran di dinding,
menghiasi kelopak-kelopak mawar merah,
membias rona asmara di temaram cahaya lilin,
bergema bersama alunan sonata cinta…
setulus hati kusemat kasih putihku di hatimu
pada hari bernuansa warna merah jambu ini…”

Kalimat bernada merayu di atas pernah kukirim lewat SMS ke ponselmu... ya, betul --- aku waktu itu ingin mengingatkan kamu bahwa hari itu adalah Valentine’s Day.

Sebetulnya akupun paham bila kau sering bernada minor dengan hal ini, kau bilang-- ungkapan kasih sayang itu bisa dilakukan setiap saat, disepanjang masa tidak perlu ada hari khusus segala, kau memang benar, tetapi akupun punya alasan mengapa Valentine’s Day kumaknai secara khusus. Aku menghayati arti kehidupan dan falsafah yang diyakini oleh Saint Valentine serta sejarah dibalik peringatan hari kematiannya— tanpa aku pedulikan mengapa itu bisa berubah judul menjadi hari kasih sayang, bila hal itu kemudian menjadi tradisi bagi setiap pasangan yang menganggap diri mereka sedang kasmaran. Itu kan hak mereka.

Hanya sesederhana itu alasanku, tanpa pernah berpikir neko-neko, apalagi menjadikan hal itu target konsumtif--- acara candle-light dinner yang sering marak dilakukan di restoran-restoran di hotel-hotel berbintang lima. Tidak juga hadiah sebuah buket dua lusin mawar merah yang kau kirim melalui florists shop ternama. Jujur saja bila ternyata kau pasti sependapat denganku ? kalau kedua hal tersebut terlalu disayangkan apabila sampai terlewatkan. Terutama bagi setiap pasangan muda seperti kita. Akupun memahami bahwa dalam urusan bercinta, ber-romantis ria bisa saja dilakukan dengan cara yang lebih sederhana.

Ketika pagi dihari tanggal empat belas Februari, aku menemukan setangkai mawar merah di atas meja kerjaku disertai sepucuk kartu mungil warna pink bertuliskan: “I smelt the fragrant of a garden’s rose, and my soul swung into eden…”. Akupun sangat mengerti, bila saat itu kau tidak sedang latah ikut-ikutan merayakan hari valentine, kau hanya punya banyak cara untuk membuat aku menyadari akan cintamu padaku.

Meski sikap kemesraan seperti itu selalu kita jaga bersama --- adakalanya keributan menghiasi hari-hari bahagia kita.

Tentu masih kau ingat, dua hari setelah pertengkaran kita yang pertama, aku pernah menuliskan kata-kata berikut melalui pesan email.

“Saat senja bergulir, petang menjelang,
Kugapai sepotong cinta yang terukir diatas butir-butir pasir….
Deru angin menggiring ombak menyapu pantai,
pasir-pasir berserakan,
Derai air mata mengurai serpihan cinta yang bercerai-berai…
gelombang pasang menerjang….
Angin menabur lara… cintamupun berlalu…
Mestikah ku tuai badai nestapa…?
Adakah angin yang bertiup bersama rindu…?
Adakah ombak yang bergelora laksana gejolak asmara nan membara…?
Angin dan ombak membawa anganku,
Kasih-mesramu kini tiada…..
Langkahku terseret, jiwaku tenggelam kedalam samudra,
berbaur deru angin dan gelora ombak…!”

Pasca ribut hebat yang kita lakukan pada hari itu, wajarkan bila aku merasa teramat sedih dengan kemarahan kamu ? kau mengancam akan berhenti mencintaiku, cobalah bayangkan ? bagaimana aku tidak menjadi sewot dan dongkol pula ? kau telah semena-mena menuduhku berkhianat ! kali ini logikamu pasti lagi error, bagaimana mungkin aku berkhianat kepadamu ?.

Tak kupungkiri memang aku suka menghabiskan waktu break tengah hari dengan si Joni, terlalu sering malah ! tetapi kau tahu, bukan ? kalau si Joni itu art director di departemen tempatku bekerja. Pergi dengannya bukan berarti penghianatan, tetapi apabila ternyata buntut dari serangkaian pertemuanku dengannya, membuat kau jadi cemburu berat, bukan salahku... Padahal kau sadar pertemuan dengan Joni masih bagian dari urusan kerja--- bagaimana aku jadi nggak marah-marah menghadapi sikapmu yang kekanak-kanakan ?! meski merasa pedih dan kesal, akupun tak peduli dengan ancamanmu untuk pergi meninggalkan aku. Bagiku itu cuma gertak sambalmu saja.

Meski efek dari pertikaian tersebut, sempat pula kita saling marah-marahan, akibatnya kau mogok apel.

Namun pada akhir minggu ke lima sejak kita tak saling bertegur sapa, ternyata pertahananku bobol juga-- absent bertemu kamu, ternyata menjadi sebuah siksaan bagi batinku.

Kau pasti tertawa geli bila ingat hal ini ? malam itu aku kirim pesan pendek ini ke ponselmu.
“Entah telah berapa ribu malam
ku habiskan tanpa engkau dalam dekapan,
kepada bulan kutitipkan rindu,
lewat angin lalu kubisikan cinta,
masih tersisakah malam ?
agar ku dapat merajut sepotong kasih buatmu…”

Keesokan harinya, setelah aku mengirim --- yang katamu-- SMS gombal. Kejutan yang sebetulnya sudah kuduga akhirnya terjadi juga--- kau datang menjemputku di kantor seusainya jam kerja, padahal sebelumnya hal itu telah menjadi tugas rutinmu.

Diam-diam aku sangat kagum dengan sikapmu pada hari itu, yang sama sekali tidak menunjukan tanda-tanda bahwa kau pernah memendam amarah. Kelebihan yang layak dihargai --- kau selalu berkepala dingin serta well-handling emosimu — aku jadi malu dengan kebiasaanku yang agak mengurangii sifat feminineku--- hobi ngumbar emosi.

Kau tahu ? bagaimana reaksi si Joni waktu dia melihat reuni kita ? mimik lucu plus senyum nakalnya, mengartikan kelegaan, tadinya dia sudah hampir frustasi menghadapi sikapku yang sering uring-uringan di kantor gara-gara marahmu itu.

Malam itu, seperti juga malam-malam penuh kenangan yang kita ukir bersama--- kau mengajakku menyusuri jalanan lenggang dimana pohon-pohon kemuning berjajar memagari sepanjang trotoar dan aku selalu suka menghirup aroma bunga-bunga putih mungil yang sedang bermekaran, sampai kita berhenti di sudut jalan dan mampir di warung tempat kita biasa nongkrong selepas jam kerja, tanpa ketinggalan semangkuk soto ayam yang kita santap dengan tandas.

“Kau balur bilur rindu pada rentang pelangi
di pagi hari setelah hujan semalam,
hangat pancaran cintamu menyusup di kalbu,
sehangat sinar mentari yang menyeruak disela tirai kabut,
gugur bunga tanjung berhamburan diatas rerumputan basah,
nuansa wangi membuaiku
dalam gairah asmara yang tak kunjung padam…”

Keesokan harinya, kau masih belum lupa, bukan ? dengan rangakain kata-kata diatas, masih jelas kuingat... kau sempat mengomel panjang lebar karena terbangunkan dari lelap tidurmu oleh bunyi tit..dit..dit..tit..dit di ponselmu.
Menanggapi omelanmu itu, hanya kata-kata dibawah ini yang bisa kukirimkan ke email-box mu, dengan harapan kekesalanmu akan sirna.

“Kala mentari menyapa fajar,
halimunpun tersipu: bersembunyi dibalik rumpun bambu,
kuterjaga dan sejenak kutinggalkan mimipi-mimpi indah bersamamu…
burung-burung bernyanyi riang:
dendangkan nada-nada cinta,
titik-titik embun mebasahi kelopak-kelopak mawar,
wangi menebar disemilir angin
cahaya lazuardi melingkupi alam,
bias rona kencana pesona asmara…
saat itu pula kusadari bahwa kaulah mentari jiwaku….”

Aku memang sedang di mabuk oleh cinta, cinta yang tak henti kau tuang kedalam relung jiwaku, mengalir di setiap nadi disekujur aliran darahku dan meracuni benakku.

“Kuingat kerling mesra matamu yang menghujam kalbu…
Bayang-bayang wajahmu melintas di angan….
Kuhirup aroma tubuhmu lewat desir angin…
Getar cintamu meluluh lantakan gairah asmara
nan membara di dalam jiwaku…”

Adakalanya kerinduan menyergap jiwaku disaat kau jauh dari sisiku. Segala resah yang menumpuk di hatiku kutuliskan dalam lusinan surat-surat kepadamu. Di suatu hari pernah pula kumengirim surat buatmu dengan tulisan ini.
“Malam kelam berselimut sunyi,
ku dengar alunan lagu syahdu,
anganku berkelana menapaki jejak bayang-bayangmu,
kukunyah sendu, kutelan rindu,
kuurai kasih yang terjalin cintamu,
ku terlena oleh gairah asmara yang tak pernah sirna,
kuterlelap dalam buai mimpi indah bersamamu...”

Kalau aku nggak salah ingat, saat itu kau ada di Papua menyelesaikan bagian dari tugas penelitianmu, kau memang sering berpergian, tugas-tugas penelitianmu menuntut hal tersebut, tetapi kali ini kepergianmu yang selama berbulan-bulan-- tak jarang aku menangis kesal dalam penantian akan datangnya kabar darimu. Tidak terlampau salah, bukan ? kalau akhirnya aku berprasangka kau telah terpikat oleh seorang gadis hitam manis berambut keriting, mendengar itu kau hanya tertawa terpingkal-pingkal, kau bilang aku nggak perlu merajuk seperti itu--- katamu gadis idamanmu adalah yang berkulit kuning langsat dan berambut lurus panjang. Wow, selangit rasanya-- aku yakin syarat tersebut sudah aku kantongi. Aku jadi amat mensyukuri karunia yang diberikan Tuhan atas rambut panjangku.

Ah, masih pula segar dalam ingatanku untuk meredam perasaanku yang lumayan amburadul, kau lalu mengirim kartu pos balasan dari Wamena dengan tulisan ini.
“Telaga bening,
teratai ungu,
curahan kasihmu,
cinta sejati nan abadi….”

Sepulangmu dari Irian Jaya, adalah hari yang begitu bersejarah. Kau bilang sudah saatnya meyeretku ke depan altar. Masih jelas ku ingat, dengan sontak keluarga kita kompak koor bersama, heboh juga waktu itu -- tetek-bengek ritual yang bertajuk ‘acara lamaran’ pun digelar. Akupun mafhum, bagi ibumu kau adalah putra tunggalnya.

Seusai hiruk-pikuk upacara yang bikin aku merasa ribet --- ya, bagiku melamar cukup dengan tatapan matamu saja--- aku tidak pernah merasa sebahagia seperti saat itu, perasaan tersebut kuungkap disecarik kertas yang lalu kuselipkan di saku bajumu.

“Harum kuntum-kuntum bunga tanjung menebar nuansa cinta,
aroma asmara menyusup dikalbu,
ditengah badai kuberlari,
dibawah sinar mentari kususuri liku,
kutepis sendu, kutanggalkan duka, kugapai asa,
kuraih jemari tanganmu,
kurengkuh bahumu dengan kehangatan yang tak pernah beku,
didalam keabadian jiwa ini bersatu...”

Disepanjang sisa hidupku ini, tak akan pernah kulupa kejadian di suatu siang. Tidak seperti biasanya, kala itu kau dilanda kepanikan yang berlebihan. Tak pelak, telpon darimu pun menambah kekacauan suasana di kantorku, pada kala itu aku sedang kalang-kabut mengejar target merampungkan desain-desain yang diuber-uber Joni. Kau mengabariku bahwa burung-burung dara kesayanganmu pada mati mendadak--- kau teramat sedih dengan kejadian ini, sebelumnya aku tidak pernah melihat kau sebegitu terpukul.

Sepuluh hari kemudian, giliran aku yang panik dan nyaris depresi--- karena mendapat kabar dari ibumu bahwa terpaksa kau harus dilarikan ke ruang unit gawat darurat.

Selama beberapa hari sering aku hanya dapat berdiri terpaku diluar jendela kamar perawatan pasien dengan airmata berurai-urai, hatiku pun teriris-iris menyaksikan betapa kau yang biasanya sangat tangguh, menjadi terlalu lemah dan semakin lemah--- belum lagi segala peralatan penunjang pernafasan yang menempel ditubuhmu sungguh tampak begitu mengerikan…

Akupun tahu kau sudah berjuang sekuat tenaga untuk melawan segala kelemahan itu---- kau adalah lelaki yang pantang menyerah.

Hatiku patah, perih tak terhingga, membayangkan semua impian masa depan tiba-tiba berantakan-- sebuah rumah mungil dipinggiran kota, kebun bunga yang tertata manis--- kau bilang aku telaten merawat kebun-- serta celoteh anak-anak kita, biar ada yang menyaingi kebawelanku dalihmu.

Di bukit mawar telah tertanam sejuta harap
kelak akan tumbuh benih yang tertebar
pada musim semi mendatang
kala sejumput rindu terselip
di setiap kelopak bunga mawar
lebur dalam wangi dan lembab titik hujan
:dilalui waktu dalam penantian yang tak pernah usai
walau bayang-bayang menjadi sirna

Akhirnya kau pergi meninggalkan aku dengan segala kepedihan dan kenangan indah bersamamu--- kata sebagian orang, kepergianmu itu bukan dikarenakan kau lebih sayang dengan burung-burung daramu--- lalu kau pergi menyusul mereka, tetapi menurutku justru karena burung-burung itulah penyebab kepergianmu.

“Kugantung segumpal sendu diantara awan-awan kelam,
rintik hujan mebasahi gerai rambutku,
terseok ku melangkah ‘tuk meraih segenggam asa,
ditengah badai kubisikan rindu,
diantara gemuruh guntur kusisipkan gairah asmaraku…
Kekasihku, bersama gugur bunga melur kutebar cintaku kepadamu…”

Sayangku,

Kiranya aku mesti menyudahi tulisan ini, saat ini aku sedang bingung berpikir, apakah aku mempunyai kesempatan untuk dapat menyerahkan surat ini kepadamu ? terlintas di benak ku--- mungkin malaikat Jibril, bisa menolongku.

Aku mencintaimu selalu,

Dari kekasihmu,

“Seribu kunang-kunang bertaburan dilangit kelam,
menghiasi belantara duka,
masih adakah tersisa butir-butir cinta yang pernah tertanamkan di kalbu ?
putik asmara telah menjadi lumat kutelan bersama kerinduanku kepadamu,
wahai kekasihku, kau selalu dihatiku…”
*****
Jakarta, 31 Maret 2006.

No comments: