
Kamulah Saksiku
Oleh Mutiara Andalas, S.J.
Saudara-saudariku,
Aku tak kuasa menahan air mataku melihat dokumentasi tragedi Mei – Semanggi 1998. Terima kasih kalian mau membagikan ingatan kalian akan peristiwa itu kepadaku. Aku melihat wajah pelaku kekerasan yang berubah dari manusia ke monster. Aku melihat wajah yang sama dalam peristiwa Holocaust. Aku ingin mengungkapkan belasungkawa kepada korban hidup dan keluarga korban. Tanganku gemetar dalam haru saat membaca kisah kalian mendampingi perjuangan mereka meriah keadilan. Aku sepenuh hati mendukung kalian untuk mengingat tragedi kekerasan itu dari ancaman pelupaan.
Saudara-saudariku,
Perkenankan aku berbagi pengalaman keterlibatanku. Aku adalah korban hidup (survivor) dari tragedi Holocaust. Penderitaan seringkali melumpuhkan kemampuan kita mengeja abjad. Selama kurang lebih 10 tahun aku tak berkata sepatah kata pun tentang Holocaust. Sepanjang waktu itu, aku lebih banyak membaca tulisan yang hendak menyingkap tragedi kemanusiaan itu. Aku ingin memahami Holocaust abjad demi abjad. Aku sangat kagum mendengar salah satu dari kalian hendak menuliskan kesaksian korban dan pendamping korban dalam rangka 10 tahun perngatan tragedi Mei – Semanggi. Kesaksian korban hanya mungkin ditulis dengan pena harapan.
Saudara-saudariku,
Sejujurnya aku gentar untuk bicara tentang Holocaust. Aku takut salah berbicara tentangnya. Aku takut bicara terlalu banyak atau sedikit. Aku takut tulisanku menjadi sentimental atau terlalu sastrawi. Aku pernah bersua dengan korban hidup yang membaca karyaku. Mereka bertutur padaku, "Engkau mengeja abjad yang tersekat dalam lidah kami. Engkau berbicara kepada kami dengan menuliskannya.” Aku juga berjumpa dengan anak-anak dari korban hidup itu. “Aku tak dapat berbicara dengan orang tuaku mengenai Holocaust. Ayah ibu kami tak bicara. Barangkali mereka kesulitan mengungkapkan tragedi itu dalam kata. Tulisanmu menghantar kami untuk memahami kehidupan orang tua kami.”
Saudara-saudariku,
autobiografi hidupku dalan The Night adalah kesaksian sorban hidup melawan kejahatan kebisuan. Aku semula tak yakin dapat mengisahkannya. Aku juga tak terlalu yakin apakah aku berjalan ke arah yang benar. Di satu sisi aku didorong untuk menggunakan bahasa keheningan. Keheningan melindungi kesucian peristiwa itu dari pencemaran kata. Di sisi lain aku mendapatkan dorongan untuk menuliskannya. Kata merupakan pintu kepada ingatan atas Holocaust. Aku bergerak diantara keheningan yang berteriak dan teriakan yang hening. Mungkin hanya Tuhan yang dapat mengisahkannya. Saat aku menuliskannya, aku menempatkan korban sebagai pembaca dan bahkan penulisnya.
Saudara-saudariku,
Holocaust melumpuhkan hidup korban. Tragedi itu absurd di mata korban. Ia meninggalkan jejak dalam tubuh kita. Korban hidup mengalami trauma mendalam. Mereka tiba-tiba dapat berteriak seolah-olah ada tangan-tangan hitam yang menyergap mereka. Anak-anak mereka juga hidup secara tragis. Mereka sedih karena tak tahu bagaimana berindak dengan orang tua mereka trauma peristiwa itu menghantui mereka. Saat aku berdiri di depan cermin, aku hampir tak mengenali diriku. Penderitaanku bertambah karena dunia bungkam terhadap tragedi itu. Para pelaku pembantaian massal hidup seperti biasa seolah tragedi itu tak pernah ada dalam sejarah. Ingatan akan korban memanggilku untuk tampil sebagai saksi hidup mereka.
Saudara-saudariku,
Hidup korban ada diantara spasi kata-kataku. Aku berjanji setiap kata hendaknya berkobar dalam tulisanku. Tulisanku lahir dari api kemarahan. Aku mengeja kemarahan korban hidup pada sejarah, dunia, dan Allah. Kehidupan manusia dilikuidasi, namun dunia tidak peduli. Dunia berkali-kali gagal membela hidup korban dan membiarkan impunitas terhadap pelaku kekerasan. Tragedi kemanusiaan terjadi karena dunia acuh tak acuh dengan kehidupan calon korban. Sastra kemanusiaan lahir sebagai antitese ketidakpedulian.
Saudara-saudariku,
Aku berjalan di tepian kehidupan. Ketakutan sering membuntuti langkahku. Ia bersumber dari Holocaust. Ketakutan itu seperti tembok. Aku bertahun-tahun tak pernah menggunakan kata malam. Kengerian menyertai kata itu. Dunia berjalan ke depan dengan meninggalkan korban di belakang. Mereka tidak percaya dengan kisah korban. Mereka juga tak ingin mendengarkan kisah mereka. Korban hidup tidak pernah meminta belas kasihan, mereka hanya meminta telinga kita. Mereka mendatangi kita karena mereka ingin mengisahkan penderitaan mereka. Namun, kebanyakan kita sudah tak memiliki telinga.
Saudara-saudariku,
Namun, aku ditantang kata yang telah menghidap polusi itu. Aku tak boleh menutup mataku. Aku tak hanya hidup bagi diriku sendiri, tetapi juga dunia sosialku. untuk mengembalikan kata-kata yang telah mengalami polusi. Apakah dengan demikian aku harus menutupi mataku? Aku tak bisa karena aku tak hanya hidup bagi diriku sendiri, namun bagi dunia sosialku juga. Bahasa merupakan jalan untuk sampai kepada dunia sosial. Kata itu subversif karena ia berurusan dengan kehidupan dan kematian.
Dunia tak pernah berwajah sama lagi setelah Holocaust. Aku melihat diriku sebagai kuburan hidup. Aku selalu mengenakan pakaian hitam sebagai simbol hidup yang penuh duka cita.
Saudara-saudariku,
Saat aku mengatupkan mataku, aku sadar penderitaan telah menempel dalam tubuhku. Penderitaan membakar tubuhku. Ia adalah udara yang kuhirup, kata yang ada dalam otakku. Bibirku menggigil dalam amarah. Aku tak bisa tertawa karena otot-otot wajahku telah menjadi beku. Hidupku berselimutkan penderitaan. Tubuhku memberontak karena penderitaan itu seperti penyakit kanker ganas yang menggerogoti tubuhku. Masa laluku yang penuh penderitaan membentuk wajahku menjadi cekung, keriput, dan pucat pasi. Masa mudaku tinggal sekerat. Rasa sakit adalah bahasa protes tubuh. Tubuhku gemetar dalam demam. Ia merekam pergumulanku dengan penderitaan. Aku berjalan sendirian di lorong-lorong panjang antara kehidupan dan kematian. Ujung lorong itu belum nampak dan aku mulai tak bisa melihat tubuhku lagi.
Saudara-saudariku,
Aku sangsi apakah orang-orang lain mau berjalan bersamaku dalam gurun pasir kegelapan. Ia haruslah orang yang memiliki cinta karena ia adalah pelita. Cinta bagiku sama bernilainya, bahkan kadang-kadang lebih dari doa. Hatinya bertahtakan emas karena ia mau menderita bersamaku. Ia mau duduk di sisiku untuk mendengar kisah hidupku. Ia sabar menungguku karena aku menyimpan kisah hidupku dalam doa. Ia tak ingin menjadi orang asing di mataku. Orang asing hanya berbicara pada bintang-bintang di langit. Seorang sahabat menghantar tidurku dengan kecupan di keningku sehingga ketakutan tak merayapi malamku. Kecupan itu seperti alunan paduan suara yang melantunkan syair Gregorian yang menyejukkan hatiku.
Saudara-saudariku,
Sahabat selalu meluangkan waktu hidupnya untuk mendengarkan kisah hidup kita. Ia mendengarkan kisahku tanpa berusaha memotongnya di tengah jalan. Ketika aku berhenti sejenak di tengah-tengah kisahku, ia menungguku dalam keheningan sampai aku bicara kembali. Berkali-kali mendung air mata menyelimuti pandanganku. Ia menggenggam kedua tanganku sehingga aku dapat melanjutkan kata-kataku. Beberapa kalimat tertinggal begitu saja tanpa tanda baca. Kisahku berkali-kali melompat dari satu episode ke episode lain tanpa alur yang runtut. Kisahku acapkali sangat detail dengan jeritan dan mimpi buruk yang menerobos tidurku. Aku kadang-kadang bicara sangat pelan sehingga hanya aku yang dapat mendengarnya. Telinganya mengembang karena keheningan membisikkan kata-kataku yang tenggelam kepadanya.
Saudara-saudariku,
Pasanglah telingamu karena angin hendak berbisik kepadamu. Ia menghembuskan keresahan dan doa jiwa-jiwa korban. Mereka mengutarakan lebih banyak kata-kata daripada korban hidup seperti diriku. Kesaksian korban hidup itu lebih penting dari tulisan tentang mereka. Kesaksian itu penting untuk korban hidup, tetapi juga bagi dunia. Kesaksian itu kebanyakan masih tersimpan dalam kenangan mereka. Tugas utama korban hidup sepertiku adalah memberikan makna atas peristiwa itu. Kalau aku terus menulis hidup mereka, aku ingin membebaskan para korban hidup. Mereka hidup di sisi bawah sejarah.
Saudara-saudariku,
Sastra adalah antitese dari ketidakpedulian. Lawan sejarah adalah pelupaan. Adakah sebuah budaya tanpa kenangan? Kita tak dapat hidup tanpa ingatan. Tragedi Mei-Semanggi mengubah gagasan kita tentang manusia dan sejarah Indonesia. Kita berhadapan dengan kengerian tragedi. Kita jadi tahu barbaritas kejahatan yang hampir tak terbayangkan dalam benak kita. Kata-kataku subversif karena berurusan dengan kehidupan dan kematian prematur sorban. Aku mengundang kalian untuk lebih dekat lagi dengan korban hidup. Mereka belum banyak mendapatkan perhatian. Kita belum dekat dengan mereka. Mereka belum banyak mendapatkan perhatian. Ada kalanya aku mendaraskan ratapan atau air mata
Saudara-saudariku,
Aku ingin berkisah baik sebagai korban hidup yang kemudian memilih jalan kesaksian kemanusiaan para sorban melalui dunia sastra. Bagiku, sastra wajib menciptakan kesadaran etis. Ia sekurang-kurangnya menekan efek kejahatan, jira tak dapat menghapus kejahatan. Namun, jangan kamu kira aku gampang menerbitkan karya sastra kemanusiaan ini. Aku mendatangi satu penerbit ke penerbit lain dengan jalaban penolakan yang hampir sama. Mereka tak ingin menerbitkan tragedi yang mulai dilupakan orang. Aku ingin mengatakan hal ini sejak awal agar kalian tidak mengalami kekecewaan besar saat menyelesaikan tulisan kalian. Masyarakat butuh waktu yang seringkali sangat panjang untuk menghargai karya sastra kemanusiaan seperti tulisanku.
Saudara-saudariku,
Tahukah kalian siapa pembaca utama karya-karyaku? Aku sering mendapatkan tanggapan dari orang-orang muda. Aku sering sangat terharu karena mereka dapat menemukan serpihan etika dalam buku-bukuku. Mereka memuji tulisanku sebagai karya sastra yang baik karena tidak tercerabut dari akar realitas. Aku tidak menemukan antusiasme sebesar itu dikalangan yang justru dekat dengan peristiwa itu. Mereka tulus bertanya alasanku menuliskan tragedi yang sebagian besar orang tak mau melihatnya lagi. Aku menulis kisah mereka karena tidak ingin membunuh korban kedua kali dengan melupakan mereka. Kematian pertama korban Holocaust terjadi karena kejahatan pelaku. Kematian kedua dapat terjadi karena kesalahan kita yang melupakan mereka.
Saudara-saudariku,
Eichmann mungkin adalah suami dan ayah yang baik di keluarganya. Namun, ia berubah menjadi serigala haus darah bagi para korban. Kalian tentu masih ingat pernyataan menhankam Wiranto saat ditanya keterliban aktifnya dalam tragedi Mei. Ia takut kalau orang-orang mengatakannya sebagai setan kematian. Aku terharu mendengar penuturan kalian bagaimana para korban hidup tetap menjaga kemanusiaan mereka. Aku mendukung paguyuban keluarga korban yang saling memberikan penghiburan satu sama lain. Aku sangat tergerak oleh keberanian para keluarga korban dalam menuntut keadilan bagi para korban. Aku sangat prihatin mendengar negara kalian tidak melihat tragedi kemanusiaan Mei – Semanggi sebagai kejahatan Hak Asasi Manusia serius. Hal yang sama terjadi dalam peristiwa Holocaust. Para pelaku pembantaian mendehumanisasikan diri karena melihat tindakan kekerasan mereka sebagai tindakan yang tidak melanggar HAM.
Saudara-saudariku,
Jarak yang melebar dapat membuat relevansi tragedi kemanusiaan berkurang. Padahal sebagian korban masih bergumul dengan penderitaan. Ada beberapa pengalaman penderitaan yang bertahan lama karena dalamnya penderitaan. Semakin dalam penderitaan, semakin tak terbagikan pengalaman itu kepada kita. Aku bersaksi dengan hidupku untuk mereka. Aku ingin membaktikan hidupku sebagai kesaksian. Aku berharap kalian juga senantiasa berada di sisi korban. Sampaikan salam hangatku untuk paguyuban keluarga korban (SELESAI).
Berkeley, 4 Oktober 2007
No comments:
Post a Comment