Krisis minyak dunia beberapa waktu terakhir ini dapat dianalisis dari dua paradigma politik-ekonomi mereka yang berada di sisi atas sejarah dan sisi bawah sejarah. Paradigma pertama dipeluk oleh mereka yang menguasai politik-ekonomi minyak pada tingkat global. Mereka memiliki kuasa untuk menentukan dalam arti positif atau mempermainkan dalam arti negatif harga minyak sesuai kepentingan ekonomi-politik mereka. Kenaikan harga minyak tidak banyak berpengaruh terhadap hidup ekonomi mereka. Dalam banyak kasus, mereka justru menikmati keuntungan dari kelangkaan pasokan minyak.
Paradigma kedua berfokus pada mereka yang menjadi korban kelangkaan minyak. Mereka boleh jadi merupakan negara penghasil utama minyak, namun memiliki posisi marginal dalam tata ekonomi-politik global. Kita barangkali terhenyak melihat fakta bahwa banyak negara penghasil minyak, terutama di Asia dan Afrika, mendapat keuntungan paling minimal dari bisnis ini. Sementara itu, mereka yang nota bene tidak memiliki sumber daya alam, namun memiliki teknologi dan modal justru mengeruk keuntungan yang tiada tara.
Aung San Suu Kyi dalam bukunya The Vision of Hope (1997) pernah mengajukan gagasan yang sangat brilian mengenai relasi antara politik dan ekonomi. Menurut Suu Kyi, politik terlalu lama diceraikan dari ekonomi. Politik dibangun di atas paradigma yang sejak awal menyingkirkan rakyat. Politik menjadi sebuah aktivitas kotor dalam perspektif rakyat karena ia hanya menggelembungkan perut mereka yang bersekutu dengan rezim yang korup dan mengempiskan perut rakyat mayoritas. Marginalisasi rakyat dari sumber-sumber daya alam yang dimilikinya ini sangat kentara misalnya dalam kasus minyak dan gas bumi di Arun dan tambang emas di Irian.
Dalam percaturan global, politik-ekonomi yang memarginalkan rakyat dunia ini juga sedang berlangsung. Eksploitasi besar-besaran terhadap sumber-sumber daya alam di Dunia Ketiga tidak banyak membawa perbaikan ekonomi signifikan terhadap negara-negara itu. Negara penghasil minyak lebih banyak berperan sebagai tenaga kasar, sedangkan negara-negara yang memiliki modal besar berperan sebagai mereka yang duduk di belakang meja. Kita membaca berita dunia bahwa pusat-pusat kemiskinan dunia justru berada di lokasi-lokasi di mana sumber daya alam berlimpah-limpah. Sumber daya mereka dikeruk sehingga hanya menyisakan remah-remah untuk mereka yang ada di sekitar lokasi-lokasi sumber daya alam itu.
Menurut hemat saya, krisis minyak dunia ini hendaknya ditarik ke arah isu menciptakan tatanan ekonomi-politik yang adil di dunia kita. Dalam krisis ekonomi-politik seperti ini yang paling menderita adalah negara-negara miskin yang ironisnya menghasilkan minyak mentah, seperti Indonesia. Negara-negara yang secara ekonomis-politik dirugikan dengan krisis minyak dan sumber daya alam lainnya hendaknya segera angkat bicara untuk mengkritisi tata ekonomi-politik yang jelas-jelas melanggar prinsip keadilan sosial.
Pemerintah Indonesia hendaknya menanggapi persolan krisis minyak ini secara serius. Kita sedang mempertaruhkan hidup jutaan rakyat Indonesia yang pasti segera terkena dampak langsung dari kelangkaan persediaan minyak di pasaran dunia. Keseriusan atau ketidakseriusan pemerintah dalam menanggapi krisis minyak di pasaran dunia ini akan memotret paradigma politik yang dipeluk pemerintah periode ini. Pemerintah yang berparadigma politik rakyat akan buka hati terhadap warganya yang bergumul dengan persoalan-persoalan ekonomi konkrit. Sementara pemerintah yang berparadigma politik bisnis akan tutup mata terhadap rakyatnya yang terancam kehidupan ekonominya (SELESAI)
Paradigma kedua berfokus pada mereka yang menjadi korban kelangkaan minyak. Mereka boleh jadi merupakan negara penghasil utama minyak, namun memiliki posisi marginal dalam tata ekonomi-politik global. Kita barangkali terhenyak melihat fakta bahwa banyak negara penghasil minyak, terutama di Asia dan Afrika, mendapat keuntungan paling minimal dari bisnis ini. Sementara itu, mereka yang nota bene tidak memiliki sumber daya alam, namun memiliki teknologi dan modal justru mengeruk keuntungan yang tiada tara.
Aung San Suu Kyi dalam bukunya The Vision of Hope (1997) pernah mengajukan gagasan yang sangat brilian mengenai relasi antara politik dan ekonomi. Menurut Suu Kyi, politik terlalu lama diceraikan dari ekonomi. Politik dibangun di atas paradigma yang sejak awal menyingkirkan rakyat. Politik menjadi sebuah aktivitas kotor dalam perspektif rakyat karena ia hanya menggelembungkan perut mereka yang bersekutu dengan rezim yang korup dan mengempiskan perut rakyat mayoritas. Marginalisasi rakyat dari sumber-sumber daya alam yang dimilikinya ini sangat kentara misalnya dalam kasus minyak dan gas bumi di Arun dan tambang emas di Irian.
Dalam percaturan global, politik-ekonomi yang memarginalkan rakyat dunia ini juga sedang berlangsung. Eksploitasi besar-besaran terhadap sumber-sumber daya alam di Dunia Ketiga tidak banyak membawa perbaikan ekonomi signifikan terhadap negara-negara itu. Negara penghasil minyak lebih banyak berperan sebagai tenaga kasar, sedangkan negara-negara yang memiliki modal besar berperan sebagai mereka yang duduk di belakang meja. Kita membaca berita dunia bahwa pusat-pusat kemiskinan dunia justru berada di lokasi-lokasi di mana sumber daya alam berlimpah-limpah. Sumber daya mereka dikeruk sehingga hanya menyisakan remah-remah untuk mereka yang ada di sekitar lokasi-lokasi sumber daya alam itu.
Menurut hemat saya, krisis minyak dunia ini hendaknya ditarik ke arah isu menciptakan tatanan ekonomi-politik yang adil di dunia kita. Dalam krisis ekonomi-politik seperti ini yang paling menderita adalah negara-negara miskin yang ironisnya menghasilkan minyak mentah, seperti Indonesia. Negara-negara yang secara ekonomis-politik dirugikan dengan krisis minyak dan sumber daya alam lainnya hendaknya segera angkat bicara untuk mengkritisi tata ekonomi-politik yang jelas-jelas melanggar prinsip keadilan sosial.
Pemerintah Indonesia hendaknya menanggapi persolan krisis minyak ini secara serius. Kita sedang mempertaruhkan hidup jutaan rakyat Indonesia yang pasti segera terkena dampak langsung dari kelangkaan persediaan minyak di pasaran dunia. Keseriusan atau ketidakseriusan pemerintah dalam menanggapi krisis minyak di pasaran dunia ini akan memotret paradigma politik yang dipeluk pemerintah periode ini. Pemerintah yang berparadigma politik rakyat akan buka hati terhadap warganya yang bergumul dengan persoalan-persoalan ekonomi konkrit. Sementara pemerintah yang berparadigma politik bisnis akan tutup mata terhadap rakyatnya yang terancam kehidupan ekonominya (SELESAI)
No comments:
Post a Comment