Sumber dokumentasi: www.kontras.org
JSKK Jaringan Solidaritas Korban dan Keluarga Korban
Jl. Binong no. 1A, Menteng, Jakarta Pusat 12870, Telp. (021) 3913473
Jakarta, 20 September 2007.
Kepada Yth.
Bapak Susilo Bambang Yudhoyono
Presiden Republik Indonesia
Di Jakarta.
Dengan hormat,
Bersamaan dengan Aksi Diam yang ke-35, sebentuk aksi yang selalu kami (para korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia - HAM) lakukan di depan Istana Presiden, setiap Kamis sore pukul 16.00-17.00 tepat, perkenankanlah kami mengingatkan Bapak Presiden bahwa sewindu yang lalu, tepatnya pada 24 September 1999, pernah terjadi penembakan secara brutal oleh aparat bersenjata dengan peluru tajam terhadap mahasiswa dan warga masyarakat yang menimbulkan sejumlah korban tewas, yang kemudian dikenal dengan sebutan Tragedi Semanggi II. Sejumlah korban tewas tersebut adalah: Yan Yun Hap (Mahasiswa UI, ditembak ketika aksi unjuk rasa telah usai), Zainal Abidin, Teja Sukmana, M. Nuh Ichsan, Salim, Jumadi, Fadly, Deny Julian, Yusuf Rizal, Saidatul Fitria, dan Meyer Ardiansah.
Penembakan itu terjadi ketika mahasiswa dan masyarakat melakukan unjuk rasa menolak diberlakukannya UU PKB (Undang-Undang tentang Penanggulangan Keadaan Bahaya), sebuah UU yang disusun oleh Pemerintah (di bawah Presiden B.J. Habibie) dan DPR RI (yang keanggotaannya didominasi oleh orang-orang pro status-quo Orde Baru). UU tersebut ditolak oleh masyarakat karena memberi peluang kepada aparat bersenjata, yang cenderung dijadikan alat penguasa, untuk melakukan tindakan represif terhadap kegiatan-kegiatan masyarakat yang menghendaki terwujudnya demokrasi dan terbebaskannya kehidupan masyarakat dari genggaman penguasa otoriter.
Terhadap Tragedi Semanggi II ini, keluarga korban menuntut penyelesaian melalui Pengadilan HAM ad hoc. Namun, untuk menuju ke penyelesaian tersebut selalu ada upaya-upaya menghadangnya baik melalui tataran hukum maupun secara politis. Ambil contoh, ketika kami menuntut agar kasus Trisakti dan Semanggi I-II (TSS) dibawa ke Pengadilan HAM ad hoc dan mendapat dukungan yang cukup signifikan, maka digelarlah persidangan kasus Trisakti di Peradilan Militer untuk sekedar memperlihatkan bahwa kasus tersebut telah/sedang tertangani. Ketika kasus Semanggi II diangkat kembali dengan tuntutan agar diselesaikan melalui Pengadilan HAM ad hoc, maka digelarlah persidangan kasus Semanggi II dan diberitakan oleh media massa bahwa yang menjadi terdakwa adalah seorang anggota TNI, Praka Tuaputy dari Kostrad, selaku pelaku penembakan. Namun bagaimana kelanjutan persidangan tersebut dan apa hasilnya, walahu’alam. Beritanya sirna seiring dengan surutnya tuntutan publik.
Kasus Semanggi II, juga Kasus Trisakti dan Semanggi I, kini masih menggantung karena Kejaksaan Agung menolak menindaklanjuti hasil penelitian Komnas HAM yang menyatakan bahwa dalam kasus TSS terjadi pelanggaran HAM berat. Penolakan itu disertai alasan karena belum dibentuk Pengadilan HAM ad hoc melalui Keppres berdasarkan usulan DPR. Sementara itu, DPR tidak mau mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc kepada Presiden karena telah ada Rekomendasi DPR 9 Juli 2001 berupa laporan akhir Pansus DPR yang menyatakan bahwa peristiwa TSS bukan pelanggaran HAM berat. Pada 30 Juni 2005 Komisi III DPR merekomendasikan agar kasus TSS dibuka kembali, namun lagi-lagi kandas setelah Bamus (Badan Musyawarah) DPR tidak mau mengagendakannya dalam Rapat Pimpinan DPR. Rekomendasi Komisi III DPR tersebut hanya mendapat dukungan 3 fraksi di DPR yaitu Fraksi-PDIP, Fraksi PKB, dan Fraksi PAN.
Sampai sekarang, kasus TSS menjadi bola panas yang menggeliat di antara beberapa instansi yang mestinya berkompeten yaitu: Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan DPR. Karena saling lempar, maka kasus TSS kini tetap menggantung, pada hal kasus tersebut sangat mendesak untuk segera diselesaikan demi memberi rasa keadilan bagi keluarga korban. Oleh karenanya, sudah seharusnya Bapak Presiden tidak turut andil dalam menggantung kasus tersebut, melainkan justru mendorong ke arah penyelesaian segera. Dan bila perlu, secepatnya menerbitkan Keppres tentang pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus termaksud. Siapa lagi dan kapan lagi kalau bukan Bapak Presiden, meskipun masa jabatan untuk periode ini tinggal beberapa bulan lagi. Sudah lama kami penuh harap, semoga Bapak Presiden mempunyai kepedulian terhadap penyelesaian kasus TSS ini.
Demikian, dan atas perhatian Bapak Presiden kami ucapkan banyak terima kasih.
Hormat kami,
a.n. JSKK,
Suciwati
Sumarsih
Bedjo Untung
No comments:
Post a Comment