
Waktu minggu-minggu pertama kuliah dulu, saya pernah berjumpa dengan seorang mahasiswi yang dalam ukuran saya sangat menarik.
Usut punya usut ternyata saya bukan satu-satunya mahasiswa yang terpesona dengan kecantikan mahasiswi itu. Ternyata sudah ada antrean panjang dan saya termasuk urutan lumayan belakang. Kadang-kadang mau ketawa kalau ingat waktu itu. Kenalan kok pake antre segala.
Waktu acara kenalan mulai, saya heran sekali. Satu per satu mahasiswa yang semuala antusiasi itu tiba-tiba mengundurkan diri.
"Mengapa nggak jadi ngedeketin dia?"
"Ada sesuatu yang kurang dalam diri dia?"
"O iya? Apa itu?"
"Ia tak bisa melafalkan huruf "R."
"Cuman gara-gara itu kalian pada mundur?"
"Jangan bilang "cuman. "
Mereka berkata serempak.
"Saya hanya pengen berteman dengan pribadi yang sempurna."
"Ia pribadi yang sangat mempesona."
"Tetapi ia punya cacat."
"Meski hanya tak bisa melafalkan 'R'?"
"Ya."
Kisah itu tiba-tiba mampir di benak saya.
Pagi ini saat naik kereta api dan saya berjumpa dengan penumpang di samping saya. Wajahnya mengingatkan saya pada sahabat "tanpa huruf R" itu. Ketika saya berkenalan dan saling bersalaman, saya sejenak terhenyak.
"Kelima jari tangannya tidak ada."
Ia pernah kecelakaan dan kehilangan kelima jari tangannya.
Seandainya sahabat tanpa huruf 'R' tak pernah singgah dalam hidup saya, barangkali saya akan punya sikap senada dengan teman-teman sekuliah dulu: menjauhinya pelan-pelan.
Persahabatan sejati tak pernah memperhitungkan "cacat" diri teman kita.
Sumber dokumentasi:
n2vonline.com/diendan/
No comments:
Post a Comment