Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Thursday, January 31, 2008

Hidup Anakku Tak Dijual

Hidup Anakku Tak Dijual

Oleh Mutiara Andalas

Ajal menjemput korbannya tanpa pemberitahuan awal. Ia mengejutkan pribadi-pribadi terdekatnya. Kabar ribuan korban yang mengalami kematian dini dalam peristiwa Mei 1998 mengejutkan banyak keluarga korban. Sebagian dari mereka baru dalam hitungan jam bersua dengan anggota keluarga mereka. Dalam hitungan jam kehidupan berubah menjadi abu kematian. Pak Mamang seolah berada dalam mimpi saat kehilangan kedua anaknya, Iwan dan Mumung, dalam peristiwa Mei 1998.

13 Mei 1998. Pagi sebelum kejadian Pak Mamang, demikian panggilan akrab Muhammad Sani, masih berada di rumah. Siaran sebuah radio amatir menyadarkannya bahwa suhu politik Jakarta sedang mendidih. Sebelum meninggalkan rumah, Ia berpesan kepada anak-anak dan isterinya, “Ada kerumunan massa di berbagai lokasi. Mah, jangan kasih izin keluar anak-anak. Bahaya.“

Boleh Ambil, Jangan Bakar

Pak Mamang naik mikrolet dari Klender menuju Kebonpala. Massa yang berkumpul di sekitar stasiun Jatinegara menghalangi laju mikrolet ke arah Kampung Melayu. Pak Mamang melihat massa membakar bus PPD dan bank. Ia juga melihat bus patas menuju Bogor. Ia mendengar aparat kopassus berbicara kepada massa,

“Boleh ambil, tapi jangan dibakar.”

Saat mikrolet melintasi Jatinegara Plaza, Pak Mamang melihat kerumunan massa. Ia melihat pergerakan massa mendekati pasar regional Jatinegara. Mereka berbalik haluan karena pintu masuk mendapatkan penjagaan ketat. Mereka lalu bergerak menuju Jogja Plaza dan merangsek ke dalamnya.

Saat sampai di Kebonpala, Pak Mamang, yang saat itu menjabat ketua umum majelis taklim Al Jihad, ingat kotak majelis taklim yang dititipkannya di Jatinegara Plaza. Utusan guru mengajinya menanyakan kotak amal itu dan Pak Mamang memutuskan untuk mengambilnya. Ia menghadap Koramil, Brimob, dan mereka yang berwenang untuk menyelamatkan kotak amal. Ia melihat para polisi justru berkumpul di kantor berkumpul di kantor Polres 705 Jakarta Timur. Sementara kopassus dan kesatuan lain berjaga di depan Gereja Bethel.

Suasana di dalam plaza gelap dengan beberapa bagian masih berada dalam kobaran api. Ia mengambil kotak amal yang sudah dilahap api dan menyerahkannya kepada ustad. Massa semakin menumpuk di sekitar Plaza dan sebagian mengambili barang-barang berharga. Mereka bahkan sempat mau menyerang kantor polisi.

Abu Anakku

Pada jam satu pagi tak ada lagi kendaraan umum yang lewat. Saudaranya yang membawa sepeda motor mengajaknya pulang. Mereka harus mengambil jalan alternatif karena banyak jalan ditutup paksa. Sesampainya di rumah, ia mendapati Iwan dan Mumung belum juga pulang sejak siang hari. “Coba lihat di Jogja Plaza, Pak” bilang istrinya dengan nada cemas. Ia langsung ke sana dan berjumpa dengan banyak warga yang mencari anggota keluarganya yang hilang. Ia berjumpa dengan anak Ibu Untung, tetangganya.

Pak Mamang naik lantai kedua dan ketiga Jogja Plaza. Tangga sudah rapuh karena dimangsa api. Ia harus memakai senter untuk menerangi lantai dua. Di beberapa bagian api masih menyala. Ia tak kuasa menahan panas ruangan dan memutuskan untuk keluar. “Apa anak-anakku di situ?” Setelah udara mendingin, ia memasuki lagi plaza. Ia melihat tumpukan mayat menuju tangga eskalator. Mereka mungkin hendak menyelamatkan diri namun kehabisan nafas. Ia tak meneruskan mencari anaknya diantara tumpukan mayat itu karena ruangan gelap. Namun, ia merasa anak-anaknya telah meninggal dunia.

Pak Mamang tak bisa tidur saat pulang ke rumah. Pukul enam pagi ia kembali ke Jogja Plaza. Aparat keamanan sudah menutup area itu. Mereka mengeluarkan mayat dari plaza. Pak Mamang mendengar ada warga yang melihat Iwan dan Mumung, namun kabar itu ternyata tak benar. Ia melihat sesosok jenazah dan memiliki keyakinan kuat sebagai anak lelakinya. Kaki dan tangan jenazah terlepas dari tubuhnya. Tubuh jenazah membusung. Aparat keamanan tidak mengijinkan keluarga korban mengambil jenazah dari tempat kejadian perkara. Mereka membawa semua jenazah ke rumah sakit.

Siang hari Pak Mamang bersama saudara-saudaranya mencari jenazah Iwan dan Mumung di rumah sakit Cipto Mangunkusumo. Ia melihat kiriman sebagian jenazah dari Jakarta Barat berlubang bekas tembakan. Ia melihat jenazah dari Ciledug, Klender, dan beberapa lokasi lain. Ia mendapati jenazah ibu merengkuh anaknya dan ibu yang sedang mengandung.

Ia punya perasaan kuat sesosok jenazah sebagai anaknya. Ia meminta bantuan orang pintar untuk menemukan jenazah anaknya dan ia menyebut angka 59. Orang pintar itu memberitahu bahwa jenazah anak perempuannya tertimpa tangga eskalator di lantai tiga Jogja Plaza dan sudah menjadi abu. Ia lalu membawa pulang jenazah anak lelakinya, memandikan, mendoakan, dan menguburkannya. Pengurus makam sempat mempersulitnya karena ia tak dapat menyediakan uang lubang jenazah sebelum teman-teman dekatnya menutupnya.

Capai dengan Capaian

Tim Relawan untuk Kemanusiaan bersama dengan LSM-LSM lain mendata para korban dan mendampingi keluarga korban.

“Bantuan atau ganti rugi ekonomi tak menebus kematian mereka. Saya tak pernah mensual kehidupan anak-anak saya.”

Dalam sebuah pertemuan dengan DPR, seorang dari mereka berkata, “Saya tetap akan membela rakyat.” Pak Mamang menimpali, “Rakyat yang mana? Kami, rakyat kecil, dijadikan korban politik.”

“Saya berharap penuntasan kejahatan terhadap kemanusiaan. Saat ini saya sungguh khawatir akan penyelesaiannya.”

Kejahatan terhadap kemanusiaan ini sudah menginjak tahun kesepuluh. Keluarga korban dan pendampingnya sudah memperjuangkan kasus mereka secara hukum. Tim Gabungan Pencari Fakta dan Komnas HAM sudah memberikan rekomendasi kepada negara, namun Kejaksaan Agung menolaknya.

Pak Mamang berbicara dengan nada berat, “Islah tak mungkin tercipta tanpa keadilan.”

Ia memohon keadilan hukum bagi para para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia tak dapat menyembunyikan kekecewaannya pada lembaga hukum yang belum berpihak pada orang kecil. Ia meminta agar Komnas HAM memiliki keberanian untuk berbicara kebenaran.

“Kami menderita terus-menerus. Kami menjadi korban terus-menerus.”

Pak Mamang mengaku capai sekali dengan capaian kasus selama ini. Ia memutuskan masuk partai politik Hanura (Hati Nurani Rakyat) dengan harapan dapat berjumpa dengan pemimpin partainya. Ia ingin berkata kepadanya,

“Bapak Wiranto harus bertanggung jawab atas peristiwa Mei 1998.”

No comments: