Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Saturday, January 5, 2008

Sutiyoso Kandidat Presiden Independen 2009

Malam ini saya dengan beberapa sahabat berkesempatan tatap muka dengan mantan gubernur DKI Jakarta, Bapak Sutiyoso di Wisma Indonesia, San Francisco. Acara ngobrol ini sebenarnya lumayan kejutan karena beliau sedang dalam acara liburan dalam keluarga. Maklumlah selama menjadi Gubernur, ia mengaku menempatkan pekerjaan sebagai yang harus didahulukan.
Ia dengan antusias mensharingkan perjalanan karirnya selama dua periode sebagai gubernur DKI. Ia menamai periode pertama sebagai periode survival, sedangkan periode kedua mengungkapkan 'kepiawaiannya' dalam mengelola transportasi, banjir, sampah, orang miskin, kekayaan alam, hingga perampingan administrasi pemerintahan.
Antusiasme peserta ngobrol bareng semakin terasa ketika beliau menyatakan bahwa ia mengajukan diri sebagai calon presiden independen. "Saya ingin mengabdi bangsa, bukan cari kekuasaan. Indonesia butuh pribadi yang punya pengalaman mengelola masyarakat. Karir politik saya memenuhi kualifikasi itu," demikian kata beliau.
Saya sendiri ingin tahu lebih banyak mengenai tanggapan beliau terhadap peristiwa kemanusiaan besar yang terjadi dalam periodenya, terutama kerusuhan Mei - Semanggi 1998. Ia melihat aparat keamanan telah berbuat yang benar dengan tidak membiarkan kerusuhan mengalami perluasan. Ia menyayangkan sikap pemerintah yang lunak terhadap para warga yang melakukan tindak penjarahan terhadap milik pribadi atau aset publik.
Ia mensinyalir reformasi telah melahirkan generasi 'anti-establishment' yang membabi buta menolak kebijakan pemerintah. Dalam perkara inilah saya melihat keberatan sangat serius terhadap kepemimpinan beliau selama ini. Budaya militer (a militarized culture) melihat oposisi politik sebagai yang inheren negatif. Dalam tuturannya ia beberapa kali pergumulannya sebagai gubernur yang dituduh aktivis hak asasi manusia sebagai pemimpin yang mengambil keputusan politik tidak populis. Ia tidak perlu mempertentangkan kebijakan pemerintah dan kepentingan rakyat karena kebijakan pemerintah yang benar selalu mengabdi kepentingan rakyat.
Ia juga belum memiliki perspektif korban dan sangat kental dengan pendekatan 'militer' terhadap kasus kemanusiaan Mei - Semanggi 1998. Ia termasuk banyak pemimpin politik yang menyebut korban dalam tragedi kemanusiaan Mei 1998 sebagai "perusuh" dan "penjarah. " Jika ia ingin diperhitungkan sebagai kandidat presiden 2009, ia harus membuka diri bahkan memiliki perspektif korban. Dibutuhkan presiden masa depan yang peduli dengan persoalan korban. Ia masih punya waktu untuk memperbaiki citranya dihadapan rakyat, terutama publik Jakarta.

No comments: