Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Sunday, February 3, 2008

Negara Hutang Nyawa

Negara Hutang Nyawa

Pakaian krem bermotif bunga merupakan kenangan Pak Kewi akan Ade, putra mereka, yang meninggal di Jogja Plaza. Bu Sanu mengenang putranya yang membantunya menggoreng tempe di dapur beberapa jam sebelum kematiannya. Pak Kewi dan Bu Sanu merawat kehidupan dengan mengenang kematian. Pak Kewi mengenang korban dengan keterlibatannya merawat makam korban di Pondok Rangon dan dalam aktivitas paguyuban keluarga korban. Negara berhutang kehidupan kepada rakyat.

12 Mei 1998. Pak Kewi sedang menjalankan pekerjaan rutinnya di bus PPD jurusan Lebak Bulus – Rawamangun. Bus PPD gagal memasuki Grogol karena mahasiswa menutup jalan. Jarak tempuh Lebak Bulus - Rawamangun yang biasanya hanya membutuhkan setengah jam harus dilalui dari tengah hari hingga sekitar jam lima sore. Aparat keamanan mengalihkan rute bus ke Kuningan-Diponegoro-Menteng-Rawamangun. Bus berjalan merayap karena massa membakar ban di jalan di depan kampus Atmajaya. Banyak pengguna kendaraan umum terlantar karena hanya kendaraan umum dari arah Lebak Bulus melewati kawasan itu. Pak Kewi melewati hari melelahkan dengan langsung pulang ke rumah.

13 Mei 1998. Pak Kewi beranjak dari rumah menuju tempat penampungan bus PPD seperti biasa. Hari itu tak satu pun kendaraan melaju menuju tempat kerjanya. Pak Kewi memutuskan kembali ke rumah. Kira-kira pukul 11 ia melihat sekelompok orang dewasa berpenampilan cepak dan mengenakan pakaian sekolah melempari batu. Mereka mengumpulkan dan menggerakkan massa untuk menyerbu Jogja Plaza dan toko-toko di sekitarnya.

Pak Kewi mengumpulkan dan menasehati anak-anaknya untuk tinggal di rumah. Ade, salah satu anaknya, menemani ibunya menggoreng tempe. Temannya datang membawa jeruk dan Ade mengupasnya dan membaginya dengan ayahnya. Pak Kewi mengambil istirahat siang dan khawatir saat bangun karena Ade keluar rumah. saat bangun karena Ade keluar rumah. Ia lalu tidur dan terkejut karena Ade tidak ada di rumah. Ade berangkat ke Jogja Plaza bersama ketiga temannya untuk membeli perlengkapan elektronik. Teman-temannya mendahului pulang karena Ade masih ingin ingin mencari sesuatu di sana.

“Ade sudah pulang, Bu?” tanya mereka.

“Belum,” jawab Bu Sanu.

Pak Kewi melihat asap membubung dari arah Jogja Plaza. Ia bergegas mencari Ade ke Jogja Plaza, namun gagal menemukannya.

“Ade sudah pulang, Bu?” tanya Pak Kewi kepada isterinya.

Istrinya menggelengkan kepala.

“Kena anakku,” kata Pak Kewi dalam hati.

Pikiran mengenai kemungkinan terburuk yang menimpa Ade membuat Pak Kewi tergeletak tak sadarkan diri. Pak Kewi mencari Ade sejak malam hingga pagi hari namun gagal menemukannya.

Esok harinya, 14 Mei 1998, Pak Kewi bersama adiknya kembali mencari Ade. Saat sampai di Jogja Plaza, mereka melihat mayat korban berjajar dari anak-anak, laki-laki dewasa, dan perempuan. Pak Kewi memeriksa korban satu demi satu. Kira-kira pukul setengah sepuluh pagi, ia menerima kabar jenazah Ade berada di lantai dua. Ade meninggal dengan kaki menekuk seperti bayi baru saja lahir. Pak Kewi membungkus jenazah anaknya dengan plastik hitam.

“Saat mencari jenazahnya, saya dapat tabah. Namun saya tak sadarkan diri entah berapa kali saat jenazahnya sampai di rumah. Istri saya tabah saat jenazah Ade berada di rumah, namun ia mengalami tekanan jiwa selama kurang lebih dua tahun setelah pemakaman anaknya.”

Pak Kewi dan Bu Sanu memakamkan jenazah Ade di tanah wakaf dekat rumah. Mereka menyimpan pakaian krem bermotif bunga sebagai kenangan akan Ade.

Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) mempertemukan keluarga Pak Kewi dengan keluarga korban lainnya. Paguyuban keluarga korban mendirikan koperasi, menyelenggarakan pengajian, mementaskan drama kehidupan mereka, dan memberikan pelayanan medis kepada anggota yang membutuhkannya.

Keluarga Kewi – Sanu menghela nafas panjang ketika berbicara tentang perpecahan internal dalam paguyuban keluarga korban.

“Aktivitas saya di paguyuban seringkali tersembunyi dari penglihatan publik. Saya bersama-sama keluarga korban lain merawat kuburan korban di Pondok Rangon. Benih perpecahan terjadi saat keluarga korban tertentu mengklaim posisi lebih tinggi dan peran lebih penting karena publik dapat melihat aktivitas mereka.”

Keluarga Kewi – Sanu tak dapat menahan kegeramannya melihat seorang pendamping melacurkan dirinya dengan bersekutu dengan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dalam hajatan pemilu yang lalu.

Penglihatan masyarakat belum tercelikkan terhadap fakta kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa Mei 1998.

“Kalian tak usah memperpanjang perkaranya,” demikian nasehat beberapa tetangganya.

“Ini akibatnya anak yang tidak menuruti orang tunya,” kata seorang pegawai pemerintah DKI.

Pak Kewi menarik nafas panjang saat berbicara mengenai perjuangannya bersama paguyuban keluarga korban meraih keadilan hukum.

“Saya sebenarnya sudah lelah, namun harus tetap memperjuangkan kasusnya. Pemerintah memandang peristiwa Mei 1998 sebagai kasus sepele. Ketakutan mengalahkan keadilan hukum. Kejaksaan Agung, memiliki sebilah pedang, namun takut mengeluarkan dari sarungnya untuk menghadapi musuhnya.”

Pak Kewi sore itu meninggalkan rumahnya menuju Terminal Kampung Melayu. Ia mengambil bus PPD yang melewati Istana Negara.

“ Saya tak akan menyerah. Aksi Kamisan, berdiri diam di depan istana negara, memperingatkan penguasa negara supaya jangan takabur. Hutang negara terhadap kemanusiaan korban tak boleh dilupakan. Negara sampai saat ini tak punya muka, atau bermuda tembok.”

No comments: