Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Sunday, May 4, 2008

Selagi Diberi Waktu oleh Gede Prama


Setiap mengakhiri sebuah tahun, semua orang dihadang oleh sebuah kenyataan betapa cepatnya sang waktu berputar dan berlalu. Dan secara tiba-tiba, baru sadar ketika ada sahabat atau kerabat yang dipanggil kematian.

Di situ kita baru merenung, kita masih diberi sisa waktu.
Mungkin Anda punya kenangan tersendiri dengan tahun 2001, demikian juga saya.

Ada sejumlah catatan dan jejak waktu yang tertulis dalam sejarah saya di
tahun 2001.

Ada kejadian diangkat menjadi presiden direktur sebuah perusahaan swasta dengan dua ribuan karyawan di awal tahun, dan di akhir tahun diangkat lagi oleh sang kehidupan untuk menjadi presiden direktur sebuah perusahaan dengan empat puluh ribuan karyawan.

Ada juga catatan-catatan yang menyedihkan
seperti pernah diteror orang, didatangi karyawan yang marah sambil mengancam manajernya dibunuh di depan saya.

Dan masih ada lagi catatan lain yang terlalu
panjang untuk diceritakan.

Boleh saja ada orang yang berdecak kagum, atau menyimpan kebencian setelah melihat catatan ini.

Namun, bagi saya pribadi ada yang jauh lebih membanggakan dari diangkatnya saya oleh sang kehidupan dua kali di tahu 2001 di posisi tertinggi.

Setelah mencoba beberapa kali di tahun-tahun
sebelumnya, baru di tahun 2001 saya berhasil menemani sahabat-sahabat muslim berpuasa sebulan penuh.
Inilah prestasi yang paling saya banggakan di tahun 2001.

Mirip dengan kejadian sebelumnya, di mana sejumlah sahabat mengira saya seorang kristiani ketika banyak menulis soal cinta dan kasih sayang, ada juga yang mengira saya seorang buddis ketika mereka tahu kalau saya seorang vegetarian, demikian juga dengan kegiatan berpuasa sebulan tadi.

Bawahan di kantor yang
biasa melayani saya membelikan makan siang, ada yang berbisik kalau saya sudah menjadi seorang muslim.

Tentu saja semuanya hanya saya jawab dengan senyuman.
Dan ada yang lebih penting dari sekadar memasukkan kegiatan-kegiatan membanggakan ini ke dalam kotak dan judul tertentu.

Yakni, bagaimana sang waktu diisi.
Kadang ada anggota keluarga – terutama isteri – yang kasihan melihat saya menempuh jalan-jalan kehidupan seperti ini

Dulu, ketika berada pada kehidupan
yang amat di bawah dan amat jarang bisa membeli daging, bermimpi bisa makan daging setiap hari.

Sekarang, ketika membeli daging bukan lagi menjadi sebuah
kegiatan yang teramat sulit untuk dilakukan, tiba-tiba saya memutuskan hubungan dengan kegiatan makan daging.

Dulu, ketika makan adalah sebuah kemewahan
dan hiburan yang amat menyenangkan. Sekarang ketika membeli makanan adalah sebuah perkara kecil, malah berpuasa dalam waktu sebulan.

Demikianlah kira-kira
isteri saya kadang mengeluh di rumah.

Dan semua keluhan ini hanya saya jawab dengan senyuman sederhana plus kalimat sederhana : mumpung masih diberi waktu.

Serupa dengan lagu indah Ebiet G. Ade yang berjudul ‘Masih ada waktu’, hidup memang sebuah perjalanan abadi.

Hanya karena kehendakNya, kita masih bisa
melihat matahari. Ebiet memberikan kita sebuah alternatif yang layak untuk direnungkan : bersujud.

Satu spirit dengan saran bersujud ala Ebiet, Kahlil Gibran dalam
The Prophet pernah menulis :
‘your daily life is your temple and your religion’.

Kehidupan sehari-hari Anda adalah tempat sembahyang sekaligus ‘agama’ Anda.

Sulit membayangkan, bagaimana seseorang yang menyebut dirinya beragama tetapi setiap hari pekerjaannya hanya menyakiti hati orang lain.

Susah dimengerti, kalau ada orang yang datang ke tempat ibadah demikian rajinnya, atau menyumbangkan dana besar untuk pembuatan tempat ibadah, tetapi hampir setiap hari mencuri uang orang lain.

Dalam bingkai-bingkai Ebiet dan Gibran, mungkin lebih menyentuh hati orang-orang biasa yang tidak pernah menyumbang, tidak pernah menyebutkan agamanya,tetapi mengisi waktu-waktunya dengan cinta dan kasih sayang.

Atau orang-orang yang namanya tidak pernah menghiasi media, tidak dikenal siapapun, namun mengisi hari-harinya dengan senyuman buat kehidupan.

Atau orang yang tidak pernah menduduki satu kursi jabatanpun, tidak menyandang gelar apapun, namun menunjukkan keteladanan- keteladanan kehidupan yang mengagumkan.

Terinspirasi dari pemikiran-pemikiran orang seperti Ebiet dan Gibran inilah, saya merelakan diri hidup dalam jalur-jalur yang oleh kebanyakan orang disebut menyengsarakan.

Tidak untuk gagah-gagahan, tidak juga karena haus akan pujian, akan tetapi melalui solidaritas, disiplin diri, kesederhanaan saya sedang
mengukir sang hidup dengan catatan-catatan waktu.

Dan ketika suatu waktu putera puteri saya, atau orang lain membuka serta membacanya, mereka akan tahu,
pernah ada seorang ayah atau seorang penulis yang hidup dengan tingkat solidaritas dan disiplin diri tenrtentu.

Kemudian, membuahkan kehidupan yang hanya mengenal bersujud di depan Tuhan.

Sebagai orang yang bergaul ke mana-mana, kerap saya diberikan banyak kartu nama oleh banyak orang, lengkap dengan jabatan mentereng di bawah nama yang
bersangkutan.

Ini membuat saya berimajinasi, kalau suatu saat saya bisa memiliki sebuah kartu nama, di mana di bawah nama saya ada jabatan yang bisa mewakili kesukaan saya untuk bersujud di depan Tuhan.

Mimpi ini muncul di kepala karena teringat oleh salah satu tulisan Gibran dalam
The Prophet : "beauty is life when life unveils her holy face" (kecantikan adalah kehidupan yang wajah sucinya terungkap).

Dan saya berterimakasih bisa mengetahuinya ketika Tuhan masih
memberi cukup waktu......

Sumber dokumentasi:
http://img209.imageshack.us/img209/1896/gdeprama1tegakgs8.jpg

No comments: