Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Wednesday, May 14, 2008

Tabir Tragedi Mei 1998 oleh B Herry Priyono, S.J.

Tabir Tragedi Mei 1998
KOMPAS Kamis, 15 Mei 2008 | 00:20 WIB

Oleh B Herry Priyono

Mengenang 10 tahun tragedi Mei 1998? Pada titik mana kita mengheningkan cipta? Hidup para mahasiswa yang gugur? Ribuan kematian yang terpanggang api dan amuk penjarahan? Rezim Soeharto yang runtuh? Awal reformasi yang mengawali ilusi hari ini?

Entah yang mana, brutalitas kekerasan Mei 1998 masih utuh tak tersentuh dan teka-tekinya terkunci bahkan bagi para pemberani. Seperti setiap teka-teki tentang tragedi besar, dalam diam khalayak tetap menyimpan pertanyaan.

Maka, sementara kita mengenang dan mengheningkan cipta, mungkin ada gunanya mengingat lagi teka-teki brutalitas peristiwa yang masih utuh tak tersentuh. Ia tidak akan terkuak sebelum tiga pertanyaan besar ini terjawab. Pertama, mungkinkah gelombang kekerasan Mei 1998 itu terjadi secara spontan? Kedua, apa artinya pola sistematik yang terjadi dalam kekerasan serentak? Ketiga, apakah masuk akal badan intelijen tidak tahu sebelumnya kekerasan massal yang bersifat serentak dan sistematik itu?

Keserentakan kekerasan

Sangatlah ganjil ledakan kekerasan dalam skala kolosal seperti Mei 1998 terjadi pada waktu yang bersamaan. Kekerasan berskala kolosal yang terjadi pada waktu bersamaan di seluruh Jakarta pun sudah amat sangat ganjil. Apalagi kekerasan tersebut meledak pada waktu bersamaan dalam skala seluas Jabotabek dan kota-kota lain. Istilah ”pada waktu bersamaan” merupakan kunci.

Istilah itu menunjuk terjadinya kekerasan dalam skala kolosal secara serentak. Dan, terjadinya kekerasan secara serentak dalam skala kolosal itu memberi kesan kekerasan kolosal meledak secara spontan serta acak (random). Ia spontan dan acak dalam arti tidak digerakkan melalui pengorganisasian apa pun.

Mereka yang telah menelan mentah-mentah klaim spontanitas kekerasan dalam tragedi Mei 1998 itu sebaiknya segera memuntahkan kembali. Sebabnya sederhana. Dapatkah kita mendamaikan kontradiksi antara ”spontanitas kekerasan” dan ”skala kolosal kekerasan”? Apa yang spontan hampir mustahil terjadi dalam skala kolosal, dan apa yang terjadi dalam skala kolosal hampir tidak mungkin muncul secara spontan.

Dalam dunia perilaku manusia, suatu gejala yang sama sekali baru, bersifat acak, dan berskala kolosal hanya mungkin muncul atau terjadi karena dua hal. Pertama, karena kebiasaan sosial yang sudah terbentuk lama dan panjang dalam proses sejarah hingga menjadi kebiasaan kolektif. Kedua, karena hasil rekayasa yang sangat sistematis.

Tentang penyebab pertama, apabila ciri-ciri kekerasan yang berskala kolosal dalam tragedi Mei 1998 itu disebabkan oleh kebiasaan sosial kita yang sudah menyejarah, satu-satunya kemungkinan adalah kita memang bangsa brutal atau bahkan biadab. Namun, jika kita bukan bangsa biadab, kekerasan yang berskala kolosal itu tentu dipicu oleh sebab lain yang bukan berakar pada kebrutalan yang telah menyejarah. Justru karena itu, pintu terbuka sangat lebar untuk memahami kekerasan berskala kolosal dalam tragedi Mei 1998 itu bukan sebagai gejala spontan, melainkan sebagai hasil rekayasa yang amat sistematis dan terorganisasi. Pertanyaan siapa yang mengorganisasi adalah teka-teki besar lain.

Sistematisasi amuk

Dari pola bagaimana kekerasan kolosal Mei 1998 dimulai, amatlah tidak masuk akal menerima keganasan itu sebagai hasil dari spontanitas massal. Dari begitu banyak saksi di lokasi kejadian, kita bisa belajar bahwa orang-orang yang memulai tindakan kekerasan bukanlah orang-orang dari lingkungan setempat ataupun orang- orang yang dikenal warga setempat. Mereka adalah ”orang-orang asing dari antah-berantah”.

Itulah para pelaku yang rupanya memulai vandalisme dan kekerasan. Ketika gelombang kekerasan telah mulai berjalan kencang, orang-orang dari antah-berantah ini kemudian mengajak kerumunan massa penonton bergabung dalam deretan penjarahan dan kekerasan. Pada momen inilah segera terlihat kesan bahwa seluruh gelombang kekerasan Mei 1998 itu seolah- olah dimulai para penduduk setempat secara spontan.

Ketika laju kekerasan sudah terlihat seolah-olah sebagai gelombang amuk spontan, orang-orang dari antah-berantah yang menjadi pelatuk kekerasan itu lalu menyingkir, dan kemudian lenyap dalam bayang-bayang dan lipatan kekerasan kolosal. Mungkin orang-orang asing dari antah-berantah itu masih mendengar bunyi api yang membakar kota, atau jeritan anak-anak yang terperangkap dalam detik-detik kematian, atau mungkin mereka berpindah untuk segera menyalakan api dan kekerasan di sasaran berikutnya. Yang pasti, ”mesin-mesin kekerasan” itu kemudian lolos dari lensa sejarah. Mereka menyelinap dan lenyap dalam bayang-bayang pertarungan besar kekuasaan yang akhirnya membawa kejatuhan Soeharto.

Selanjutnya, kepada kita disajikan kisah tentang segala bentuk kekerasan dalam tragedi Mei 1998 sebagai teka-teki yang terkunci. Ada satu lagi pertanyaan mahabesar yang perlu diajukan, dan jawabannya akan menunjukkan apakah tragedi Mei 1998 itu misteri atau bukan.

Misteri intelijen

Pertanyaan terakhir ini sentral dan sedemikian mendasar. Bukankah begitu aneh dan tidak masuk akal ledakan kekerasan dalam skala kolosal sebesar Mei 1998 itu sama sekali tak dikenali oleh radar badan intelijen militer? Kita tidak sedang berbicara mengenai lembaga intelijen suatu negara yang baru lahir, tetapi badan intelijen yang sudah punya pengalaman luar biasa selama 32 tahun kediktatoran.

Hanya orang biasa seperti saya yang tidak sanggup mendeteksi serta mengantisipasi mesin-mesin kekerasan yang akan berderap di jalan-jalan Jabotabek dan kota-kota lain. Simaklah keanehan besar berikut ini. Kalau gerakan amat rahasia beberapa orang aktivis pun dengan mudah dideteksi dan dibongkar oleh badan intelijen (dan ini sudah menjadi kebiasaan bertahun-tahun), bagaimana mesti dijelaskan gelombang kekerasan berskala kolosal dalam tragedi Mei 1998 sama sekali lolos dari radar badan intelijen yang sama?

Tanpa jawaban atas keganjilan mahabesar itu, kita tidak perlu percaya penjelasan apa pun tentang tragedi Mei 1998. Sekali lagi, keganjilan kinerja badan intelijen itu sedemikian besar sehingga klaim atas ciri spontan kekerasan yang berskala kolosal itu tidak mungkin dapat diterima. Para saksi yang dapat menguak keganjilan mahabesar ini sekarang tentu masih segar bugar. Cuma, sedikit kemungkinan mereka akan berani tampil untuk menjawab tiga pertanyaan besar di atas. Apa pun juga, tiga pertanyaan besar itu bisa menjadi pandu yang menuntun kita dalam menanggapi simpang siur tentang tragedi Mei 1998.

Mengapa mesti berjerih payah dengan tiga pertanyaan besar yang membuat batin kita digigit kembali oleh kepedihan pembunuhan, pembakaran, penjarahan, dan kekerasan lainnya? Sejak hari-hari gelap pada bulan Mei 1998 itu, berita tentang negeri ini setiap hari berisi headlines baru. Setiap headline tentu terasa mendesak, tetapi sesungguhnya juga menjadi tabir yang menutupi tragedi itu sampai menjadi tabu. Lalu, apa yang kita tulis di buku sejarah hanyalah tabir kegelapan. Itu membuat anak-anak kita tidak belajar apa pun selain ketakutan.

B Herry Priyono Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta

No comments: