“Baju saya yang bukan hitam sudah habis karena sejak 10 tahun lalu kalau membeli baju selalu saya pilih warna hitam. Lama-lama baju yang lain tergusur,” kata ibu itu pada suatu sore. Rambut di kepalanya sudah banyak yang memutih. Usianya tidak muda, 58 tahun. Perawakannya kecil. Pula posturnya jauh dari tinggi. Tapi, hatinya keras. Selama 10 tahun ia selalu mengenakan baju berwarna hitam.
”Ini bukan sekadar lambang dukacita, ini lambang keteguhan hati,” katanya menerangkan tentang warna bajunya.
Sore itu, Maria Katarina Sumarsih –demikian nama ibu itu- datang ke kantor redaksi kompas.com. Ia mengabarkan bahwa tanggal 13 November ini akan ada perayaan 10 Tahun Tragedi Semanggi. Selain ke kompas.com ia juga berkeliling ke sejumlah media bersama sejumlah aktivis 98.
”Kami tidak ingin pemerintah melupakan peristiwa ini. Ada pelanggaran kemanusiaan dalam peristiwa itu dan orang-orang yang disangka terlibat masih berkeliaran bebas. Keadilan harus ditegakkan,” tuturnya. Suaranya pelan, tapi jelas. Runtut dan tegas.
Sumarsih adalah ibu dari almarhum Bernardus Realino Norma Irmawan atau Wawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta. Pada 13 November 1998, Wawan meninggal tertembak peluru tentara di depan Kampus Atma Jaya, Jakarta. Saat itu Wawan hendak menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus.
Tim Relawan untuk kemanusiaan mencatat, 17 orang meninggal dalam peristiwa 13 November, terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4 orang anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat.
Sementara 456 orang mengalami luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras, tajam atau tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, terkena peluru nyasar di kepala.
Peristiwa 10 tahun lalu itu mengubah hidup Sumarsih secara drastis. Dari seorang pegawai negeri sipil yang tidak pernah besentuhan dengan dunia politik menjadi seorang aktivis yang setiap saat turun ke jalan beseru-seru tentang keadilan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia. Rasa sakit di dadanya kehilangan putra tercinta bertransformasi menjadi api perjuangan.
Bersama Tim Relawan untuk Kemanusiaan ia mendata kondisi korban pelanggaran HAM di Jakarta. Ia aktif menghadiri diskusi, menjadi pembicara. Ia menjadi orator unjuk rasa. Ia berkeliling melakukan audiensi dengan institusi tentara, Komisi Nasional HAM, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hingga Presiden. Sumarsih juga menjadi pendamping bagi keluarga korban, menyemangati mereka untuk tetap kuat memperjuangkan keeadilan yang menjadi hak mereka. Ia pernah melempar telur busuk ke tengah Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat karena lembaga itu mengeluarkan rekomendasi yang menyatakan peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat.
Atas segala sepak terjangnya, ia pernah mendapat penghargaan Yap Thiam Hien tahun 2004. Ini adalah penghargaan kepada mereka yang dianggap berjasa memperjuangkan hak asasi manusia di Indonesia. Semangat dan keberaniannya menjadi ikon perjuangan kasus Tragedi Trisakti-Semanggi I dan II.
Hari ini, 13 November, genap 10 tahun berlalu, tidak ada sinyal menggembirakan dari institusi negara untuk menuntaskan kasus ini. Bersama sejumlah kasus pelanggaran HAM lainnya, berkas kasus Trisaksi-Semanggi I dan II terus saja bolak-balik ke Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Pasal multitafsir tentang pengadilan HAM ad Hoc pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM adalah sumber kebuntuan.
”Saya sadar ini adalah perjuangan panjang. Butuh stamina. Saya juga kadang-kadang capek. Marah. Tapi, selalu ada saja peristiwa yang menguatkan. Api perjuangan ini tidak bisa dipadamkan. Saya senang karena selalu muncul generasi-generasi baru yang peduli atas kasus ini. Buktinya, kami bisa menggelar perayaan 10 tahun Tragedi Semanggi. Yang membantu banyak dari generasi-generasi muda,” terang Sumarsih.
Api perjuangan itu memang belum padam. Kalau Anda melintas di Jalan Medan Merdeka Utara pada setiap Kamis pukul 16.00 WIB, Anda akan melihat sekelompok orang berdiri di seberang Istana Negara sambil membentangkan spanduk. Mereka tidak berorasi, tidak pula melakukan aksi teatrikal layaknya peserta unjuk rasa meski mereka sedang berunjuk rasa. Mereka hanya berdiri dan diam, tanpa suara. Biasanya setelah satu jam mereka membubarkan diri dan kembali lagi hari Kamis pekan berikutnya. Sudah hampir dua tahun (sejak 18 Januari 2007) mereka menyambangi istana.
Aksi Kamisan itu –demikian mereka menyebutnya- adalah cara para korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) mengingatkan pemerintah untuk menuntaskan sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terjadi di negeri ini. Diantara kelompok orang itu, anda akan mudah mengenali Sumarsih dengan baju hitam dan rambutnya yang memutih. Dalam diam Sumarsih berseru-seru tentang keadilan, seruan perempuan tua di padang gurun.
Heru Margianto
Sent from my BlackBerry © Wireless device from XL GPRS/EDGE/3G Network
No comments:
Post a Comment