
Alat Bantu Dengar
Malam ini saya mampir ke restoran Hawaii dalam perjalanan pulang ke rumah. Setengah kursi restoran terisi.
“Barbecue daging sapi.”
Mendapat nomor pesanan makanan, saya mengambil tempat duduk dekat televisi. Seorang laki-laki makan dengan raut muka muram. Ia cuma mengaduk nasi di mangkuk tanpa pernah menyantapnya.
Saat mengambil air putih, kasir yang merangkap pelayan kewalahan menerjemahkan bahasa tangan calon pembeli.
“Ia lemah dengar,” ujar saya kepada kasir.
“Ibu pesan menu apa?” tanya kasir.
Tangan ibu menunjuk pilihan menu di dinding disertai senyum.
“Alat bantu pendengarannya tertinggal di rumah. Engkau harus bicara keras kepadanya.”
Bentakan keras datang dari pengunjung restoran di depan saya.
“Engkau membunuh nafsu makan saya.”
“Saya?,” kata pelayan sambil menunjuk kedua telunjuk ke dadanya.
“Engkau terlambat membawa bumbu tambahan makanan. Engkau bicara keras pada pengunjung tuna rungu dan lupa pengunjung restoran lain.”
Permintaan maaf pelayan dibalas dengan omelan memekakkan telinga.
“Ia barangkali lebih perlu alat bantu pendengaran,” ujar saya dalam hati.
No comments:
Post a Comment