Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Wednesday, August 8, 2007

Humanisasi Perempuan, Transformasi Sejarah

Humanisasi Perempuan, Transformasi Sejarah

"Aku bukanlah pemilik kehidupanku sendiri. Hidupku kupersembahkan bagi perjuangan rakyatku. Para tentara dapat membunuhku setiap saat. Namun, saat itu haruslah ketika aku sedang bertugas. Di sanalah darahku akan tertumpah secara tidak sia-sia melainkan menjadi kesaksian bagi rakyatku."
Me Llamo Rigoberta Menchz, y asmme nacmo la conciencia (1992) adalah kesaksian Rigoberta Menchu sebagai pejuang perempuan dan kemanusiaan yang muncul dari tengah-tengah realitas korban. Pilihan hidupnya membela petani Indian Maya di Guatemala menegaskan, tidak ada tempat di mana perempuan absen dalam perlawanan membela hidup dan kemanusiaan. Ia tidak tinggal diam di hadapan penindasan dan ketidakadilan pemerintah militer terhadap petani miskin. Ia memahami revolusi dalam makna riilnya, yaitu transformasi sejarah kemanusiaan. Sejarah yang diubah dengan cara kekerasan akan menghilangkan kemanusiaan kita
Ironisnya, sebagaimana diungkapkan Enrique Dussel, mereka diabsenkan dari sejarah. Ketika mereka diburu dan dibunuh, tak seorang pun memperhatikan. Oleh karena itu, pembebasan perspektif perempuan penting ditekankan karena perempuan seringkali diabaikan, bahkan ketika keberpihakan orang miskin itu fundamental. Pembebasan perspektif perempuan muncul sebagai kritik atas kegagalan melihat perempuan sebagai kelompok kolektif yang mengalami berbagai bentuk ketidaksetaraan dalam masyarakat dan teologi.
Dehumanisasi perempuan
Perempuan mencari nama yang akan membantu mereka memahami penindasan dan mengidentifikasi perjuangan mereka tanpa memisahkan diri dari komunitas. Ada Maria Isasi-Diaz dalam Mujerista Theology: A Theology for the Twenty-First Century (1996) menyatakan, kemampuan menamai diri merupakan salah satu tindakan manusia paling kuat. Nama tidak sekadar kata yang mengidentifikasikan seseorang, tetapi nama memberi bingkai konseptual, titik referensi berpikir, memahami, dan berelasi dengan manusia, ide, dan gerakan. Kita mengidap kekurangan fundamental, yaitu absennya refleksi pengalaman historis dan spiritual perempuan dan usaha perempuan mentransformasikan struktur yang menghancurkan hidup dan integritas kemanusiaan. Kaum miskin, komunitas korban, dan perempuan adalah elemen bahasa yang banyak dilupakan intelektual dan teolog. Memasukkan perempuan ke dalam (re)produksi pengetahuan adalah perspektif perempuan menafsirkan sejarah dan iman mereka.
Bagaimanakah wajah perempuan di Asia? Mereka mengalami penindasan sebagai warga negara berkembang dalam sistem ekonomi dunia yang tidak adil, sebagai pekerja dan sebagai perempuan. Perempuan diperlakukan inferior dalam masyarakat. Hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan membangun kemanusiaan mereka secara penuh ditolak. Status rendah perempuan berasal dari hubungan mereka dengan anggota laki-laki keluarga mereka.
Sebagaimana kasus kekerasan di banyak negara, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia sebagian besar disembunyikan. Kevin O Browne dalam Landscape of Desire and Violence: Storied Selves and Mental Affliction in Central Java, Indonesia (1999) membahas isu tentang penyakit mental. Dengan mengutamakan narasi para pasien, dia berusaha menyingkap cara yang rapuh di mana tubuh menjadikan dirinya didengar dalam bahasa. Browme berusaha menemukan berbagai kebisuan, tekstur, dan praktik sehari-hari yang berfungsi mentransformasi hierarki sosial menjadi puitika personal, yakni kisah terapeutik. Puitika, seperti politik, mengajukan komentar terhadap perjuangan diri dan komunitas dalam kehidupan sosial. Kekerasan emosional, fisik, dan seksual terhadap anak-anak dan perempuan di Indonesia memunculkan masalah kesehatan mental, masalah medis, dan masalah sosial. Ketidakberdayaan relatif dan kurangnya suara yang mendukung perempuan sering membuat perempuan dalam keterbatasan pilihan atau bahkan dalam kebisuan sama sekali.
Penemuan sebab penindasan orang miskin secara umum dan penindasan perempuan secara khusus, mengubah pemahaman perempuan mengenai dirinya. Hidup perempuan tidak dipahami secara fatalistik bahwa nasib tidak dapat diubah. Mereka juga bukan obyek sejarah. Kesadaran ini mendorong perempuan mengubah pemahaman mereka atas realitas dan memperkenalkan makna baru dan berbeda untuk (arah) kemanusiaan. Pemahaman akan realitas itu dimulai dengan kesadaran diri perempuan dan realitas diri mereka sebagai perempuan.
Gerakan perempuan semakin menyadari perlunya memperluas horizon perjuangan. Selama ini, perjuangan dalam sektor populer cenderung dikebawahkan mereka yang memprioritaskan perubahan langsung dalam struktur sosio-ekonomi-politik. Perjuangan hidup perempuan yang sehari-hari itu hanya dipandang sedikit atau bahkan tidak memiliki efek pada perubahan sosio-ekonomi-politik. Faktanya, kehidupan sehari-hari justru berada pada pusat sejarah. Kehidupan harian dapat memproduksi dan mereproduksi relasi yang menindas dan tidak setara. Atau kehidupan harian dapat menjadi sumber relasi yang membebaskan dan egaliter. Problem pembagian kerja secara seksual, pemisahan antara ruang publik dan privat, dan penciptaan sistem seks-jender yang menegaskan superioritas laki-laki, semuanya terkait dengan kehidupan sehari-hari.
Para ibu Plaza de Mayo di Argentina yang memprotes hilangnya anak-anak mereka, bertindak pertama-tama dan terutama sebagai ibu, bukan aktivis politik. Bahkan ketika bertindak tanpa kesadaran politik, mereka berperan dalam mentransformasikan masyarakat. Praksis mereka menjadi gerakan lain dari para perempuan yang, tanpa berusaha mengubah ideologi patriarkal atau meninggalkan feminitas, mentransformasikan kesadaran perempuan yang tradisional dan peran politiknya. Praksis mereka merupakan redefinisi praktis atas dualisme ruang privat dan ruang publik. Kita melihat ini juga pada para ibu yang menyumbangkan logistik dan medis menjelang dan pascareformasi 1998. Horizon perjuangan perempuan tidak dapat diisolasi pada ruang publik semata. Relasi interpersonal dalam ruang domestik dan privat merupakan lokasi perjuangan pembebasan.
Transformasi sejarah
Salah satu pemahaman paling penting dan sulit dalam transformasi sejarah perspektif perempuan adalah distingsi antara kesetaraan dan pembebasan. Kesetaraan terkait dengan partisipasi perempuan dalam struktur yang ada. Pembebasan terkait dengan perubahan radikal struktur masyarakat yang menindas. Struktur masyarakat sekarang, semuanya terkait dan dikontrol atau sekurang-kurangnya dipengaruhi patriarki. Kesetaraan tidak mungkin terjadi jika struktur masyarakat yang menindas perempuan tidak disentuh sama sekali.
Dalam kerangka pembebasan, transformasi sejarah perspektif perempuan bergerak dari antropologi berpusat pada laki-laki ke yang berpusat pada manusia; dari yang dualistik ke kesatuan; dari yang idealis ke realis, serta dari yang satu dimensi ke yang multi-dimensi. Antropologi yang berpusat pada manusia menangkap revelasi Tuhan dalam dan melalui seluruh umat manusia. Pandangan ini merelativisasi pola budaya yang berpusat pada laki-laki. Sejarah Tuhan dibangun dengan peluh, darah, air mata generasi manusia yang satu sesudah yang lain. Kebenaran mengenai manusia tidak kita temukan dalam dunia di luar sejarah. Sekali realitas manusia itu ditolak atau disembunyikan, realitas itu hampir tidak akan ditransformasikan. Antropologi realis terkait dengan kehidupan, dan hidup secara mendasar terpaut pada Tuhan. Pandangan manusia multidimensi tidak memandang manusia pertama-tama sebagai sebuah definisi. Manusia dipahami sebagai sejarah dalam ruang dan waktu. Menurut visi ini, realitas manusia, yaitu laki-laki dan perempuan, komplementer.
Perspektif perempuan mengenai manusia membuka mata sejarah bahwa perempuan sebagai korban penindasan semakin menjadi elemen realitas. Perempuan miskin adalah orang miskin yang paling miskin. Mereka adalah subyek sekaligus obyek keberpihakan kita pada mereka yang miskin. Para korban tentu bukan satu-satunya realitas dunia kita. Kecuali kita memberi tempat sentral kepada korban, kita akan gagal menangkap elemen fundamental realitas sejarah kita.
Mengutip Isasi-Diaz, satu-satunya jalan mentransformasikan pembebasan perempuan adalah menghidupi realitas yang dicita-citakan. Cita-cita itu pembebasan, bukan partisipasi dalam situasi dan masyarakat yang menindas perempuan. Masa depan akan merekah hanya jika kita mengizinkan masa depan itu berakar dalam dan di antara perempuan. Inilah proyek sejarah kita. Perempuan harus terus-menerus menanamkan benih kemanusiaan baru dalam kebun sejarah meskipun berkali-kali benih kemanusiaan yang tumbuh itu dicabuti. Meskipun perjuangan seringkali menyakitkan, kita percaya pembebasan perempuan adalah perjuangan terbaik dan itu menjadi alasan perjuangan menjadi hidup kita.

No comments: