Utopia-Profetisme Iman dan Perdamaian
Selama sejarah para korban tidak disingkap, luka-luka masa lalu akan terus terbuka dan tidak akan sembuh. Militer bertanggung jawab atas 90 persen pembantaian, penghilangan paksa, dan pelanggaran HAM lainnya di Guatemala.
Dua hari setelah publikasi Guatemala: Never Again yang mengutuk kekerasan negara itu, Mgr Juan Gerardi ditemukan meninggal dengan kepala remuk dan wajah hancur. Melalui estetika teror ini, para pembunuh ingin menunjukkan kekuatan destruktif dari kekerasan. Mereka sekaligus menebarkan ideologi bahwa masyarakat tanpa kekerasan dan perdamaian itu hanya mitos.
Kekerasan kembali merobek rajutan deklarasi perdamaian Malino. Casus belli amuk massa di Kantor Gubernur Maluku diduga kuat adalah ledakan bom yang menewaskan empat orang, melukai 55 orang, serta menghancurkan pertokoan dan restoran. Disinyalir kekerasan ini dan kekerasan lain yang kemudian mengikutinya adalah buah pertikaian antarkelompok garis radikal Islam dan Kristiani. Pihak-pihak tertentu di Ambon ingin konflik tetap berlangsung. Bagaimana spiritualitas perdamaian hendak diwartakan di tengah etos kekerasan yang menjangkiti masyarakat kita?
Rakyat tersalib
Pertanyaannya bukan bagaimana kita dapat menemukan kedamaian batin di tengah-tengah etos kekerasan dalam masyarakat kita, tetapi bagaimana menciptakan jalan ke arah perdamaian dan meninggalkan keterpesonaan kita pada etos kekerasan. Menurut Raimon Pannikar, kini tidak ada satu tradisi kemanusiaan atau keagamaan yang self-sufficient dan mampu menyelamatkan kemanusiaan dari aneka kesulitan yang dialami masyarakat. Tradisi kemanusiaan dan keagamaan mana pun perlu bahu-membahu menyelamatkan kemanusiaan kita yang tersalib.
Jon Sobrino dalam The Principles of Mercy: Taking the Crucified People from the Cross (1994) menyatakan, rakyat tersalib adalah terminologi yang tepat dan perlu untuk menunjuk pada realitas historis-teologis yang merengkuh tubuh kolektif korban. Sebab, salib berarti kematian, dan kematian begitu mudah merenggut hidup rakyat Amerika Latin khususnya dan Dunia Ketiga umumnya. Mereka meninggal secara pelan-pelan karena ketidakadilan struktur. Kematian terjadi secara tiba-tiba dan kejam karena penindasan dan perang. Mereka direnggut hak-haknya bahkan kebudayaannya, sehingga identitas mereka melemah dan tidak dapat membela diri. Negara seringkali dialami sebagai a country organized for death.
Utopia-Profetisme iman
Dalam tradisi iman kristiani, Kerajaan Allah merupakan utopia Yesus. Kerajaan Allah dan implikasinya menjadi motif dan fokus ajaran dan tindakan profetik-Nya. Perjuangan demi Kerajaan Allah selalu mengandaikan perjuangan membela yang tertindas. Yesus masuk dalam konfrontasi hidup mati dengan mereka yang bertanggung jawab atas penindasan itu. Dalam wafat-Nya di salib, Ia mengalahkan kematian.
Penyaliban Yesus masih berlanjut dalam diri rakyat tersalib. Umat beriman kristiani tidak hanya dikarakterisasikan oleh kehendak untuk memanggul penderitaan karena ketidakadilan historis, tetapi juga berkonfrontasi dengan kejahatan yang menyebabkan penderitaan itu. Sejarah kristianisme adalah sejarah umat yang beriman kepada Yesus dan sedia menghadapi tantangan kematian-Nya demi utopia Kerajaan Allah. Dalam hidup beriman, ada bahaya kita jatuh pada perangkap kembar spiritualisme dan hierarkisme yang reduksionistik.
Reduksionisme spiritualistik maupun hierarkis menegasi materialitas dan historisitas hidup beriman. Dalam reduksionisme spiritualistik, utopia iman dilepaskan dari praksis pembebasan historis. Padahal, institusi agama justru dipanggil menjalankan kritik profetiknya demi konstruksi masyarakat yang lebih membela martabat manusia. Proyek-proyek independen, seperti REMHI (Recovery of Historical Memory) di Guatemala, merupakan kritik atas kegagalan lembaga-lembaga pemerintah membongkar kekerasan negara dan ungkapan solidaritas dengan para korban. Dalam reduksionisme hierarkis, keberimanan direduksi dalam label formal agama. Padahal, praksis imanlah yang pertama dan terutama menunjukkan kredibilitas keberimanan. Jika rakyat tersalib merepresentasikan tubuh Yesus Kristus dalam sejarah, iman kristiani harus berpaling pada korban. Dengan berpaling pada rakyat yang tersalib, institusi agama akan menemukan kembali utopia profetiknya.
Ketika men-sharing-kan drama kemanusiaan di Guatemala, Juan Gerardi mengundang masyarakat untuk melihat akar ketidakadilan dan absennya nilai-nilai martabat manusia. Wajah Allah memanggil kita menjadi pendamai dalam masyarakat, dan menempatkan korban dan pelaku kejahatan atas kemanusiaan dalam kerangka keadilan. Semua berhak mengetahui kebenaran agar halaman-halaman sejarah homo homini lupus tidak terulang. Membuka diri terhadap kebenaran sejarah merupakan conditio sine qua non untuk proses humanisasi. Kebenaran merupakan kata utama yang memungkinkan kita memutus lingkaran kematian dan kekerasan.
Mitos kekerasan
Jon Sobrino mengajak kita melihat realitas "berhala" (idols) yang dianggap orang sebagai bagian masa lampau sejarah atau hanya diakui eksistensinya dalam ruang privat agama. Berhala-berhala seperti absolutisme kekuasaan, ideologi ketertiban masyarakat, SARA, dan kekerasan ada dalam realitas historis dan mengonstruksikan masyarakat. Kekerasan membutuhkan kultus dan ortodoksi untuk hidup. Kekerasan dan kejahatan membangun ilusi dapat memainkan peran final dalam menciptakan perdamaian dan bahkan keselamatan. Kekerasan dan kejahatan hanya melahirkan dehumanisasi. Kultus kekerasan selalu membutuhkan korban untuk kelangsungan hidupnya. Mereka menebarkan mantra: si vis pacem para bellum.
Negosiasi perdamaian sering sulit diwujudkan karena pihak-pihak yang (dibuat) bertikai berpikir bahwa kemenangan akan mengakhiri konflik. Faktanya, mereka selalu mengklaim kemenangan ada di pihaknya. Konflik-konflik yang berlangsung lama makin mengarah pada absurditas. Negosiasi perdamaian dihalangi karena akan membongkar sumber konflik dan kejahatan mereka yang menciptakan konflik itu. Ketika perdamaian Malino dideklarasikan, terkuaklah kebenaran bahwa sumber konflik itu bukan etno-religius dan pihak-pihak yang berkonflik hanyalah korban permainan politik.
Tak jarang institusi agama memberikan justifikasi kekerasan dengan basis moral, bahkan supra-moral. Kekerasan ditempatkan dalam bingkai religius, yaitu pemulihan kembali harmoni dari kekacauan. Dengan mengangkat konflik ke tingkat kosmik, mereka melewati larangan moral terhadap kekerasan, bahkan mendapatkan pahala. Sasaran-sasaran politik mereka identifikasikan sebagai musuh agama.
Islam di Indonesia berusaha tidak hanya melawan politisasi, tetapi juga melawan subordinasi cita-cita Islam yang tinggi ke dalam cara-cara rezim yang rendah. Problem ketidakadilan sering disembunyikan di balik sentimen etno-religius atau konflik Barat dan Islam. Kita ditantang untuk mewujudkan utopia iman dalam dialektika dengan realitas kekerasan dan kejahatan. Utopia Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus berlawanan secara diametrik dengan kekerasan dan kejahatan. Utopia-profetisme iman membawa pesan perdamaian.
Selama sejarah para korban tidak disingkap, luka-luka masa lalu akan terus terbuka dan tidak akan sembuh. Militer bertanggung jawab atas 90 persen pembantaian, penghilangan paksa, dan pelanggaran HAM lainnya di Guatemala.
Dua hari setelah publikasi Guatemala: Never Again yang mengutuk kekerasan negara itu, Mgr Juan Gerardi ditemukan meninggal dengan kepala remuk dan wajah hancur. Melalui estetika teror ini, para pembunuh ingin menunjukkan kekuatan destruktif dari kekerasan. Mereka sekaligus menebarkan ideologi bahwa masyarakat tanpa kekerasan dan perdamaian itu hanya mitos.
Kekerasan kembali merobek rajutan deklarasi perdamaian Malino. Casus belli amuk massa di Kantor Gubernur Maluku diduga kuat adalah ledakan bom yang menewaskan empat orang, melukai 55 orang, serta menghancurkan pertokoan dan restoran. Disinyalir kekerasan ini dan kekerasan lain yang kemudian mengikutinya adalah buah pertikaian antarkelompok garis radikal Islam dan Kristiani. Pihak-pihak tertentu di Ambon ingin konflik tetap berlangsung. Bagaimana spiritualitas perdamaian hendak diwartakan di tengah etos kekerasan yang menjangkiti masyarakat kita?
Rakyat tersalib
Pertanyaannya bukan bagaimana kita dapat menemukan kedamaian batin di tengah-tengah etos kekerasan dalam masyarakat kita, tetapi bagaimana menciptakan jalan ke arah perdamaian dan meninggalkan keterpesonaan kita pada etos kekerasan. Menurut Raimon Pannikar, kini tidak ada satu tradisi kemanusiaan atau keagamaan yang self-sufficient dan mampu menyelamatkan kemanusiaan dari aneka kesulitan yang dialami masyarakat. Tradisi kemanusiaan dan keagamaan mana pun perlu bahu-membahu menyelamatkan kemanusiaan kita yang tersalib.
Jon Sobrino dalam The Principles of Mercy: Taking the Crucified People from the Cross (1994) menyatakan, rakyat tersalib adalah terminologi yang tepat dan perlu untuk menunjuk pada realitas historis-teologis yang merengkuh tubuh kolektif korban. Sebab, salib berarti kematian, dan kematian begitu mudah merenggut hidup rakyat Amerika Latin khususnya dan Dunia Ketiga umumnya. Mereka meninggal secara pelan-pelan karena ketidakadilan struktur. Kematian terjadi secara tiba-tiba dan kejam karena penindasan dan perang. Mereka direnggut hak-haknya bahkan kebudayaannya, sehingga identitas mereka melemah dan tidak dapat membela diri. Negara seringkali dialami sebagai a country organized for death.
Utopia-Profetisme iman
Dalam tradisi iman kristiani, Kerajaan Allah merupakan utopia Yesus. Kerajaan Allah dan implikasinya menjadi motif dan fokus ajaran dan tindakan profetik-Nya. Perjuangan demi Kerajaan Allah selalu mengandaikan perjuangan membela yang tertindas. Yesus masuk dalam konfrontasi hidup mati dengan mereka yang bertanggung jawab atas penindasan itu. Dalam wafat-Nya di salib, Ia mengalahkan kematian.
Penyaliban Yesus masih berlanjut dalam diri rakyat tersalib. Umat beriman kristiani tidak hanya dikarakterisasikan oleh kehendak untuk memanggul penderitaan karena ketidakadilan historis, tetapi juga berkonfrontasi dengan kejahatan yang menyebabkan penderitaan itu. Sejarah kristianisme adalah sejarah umat yang beriman kepada Yesus dan sedia menghadapi tantangan kematian-Nya demi utopia Kerajaan Allah. Dalam hidup beriman, ada bahaya kita jatuh pada perangkap kembar spiritualisme dan hierarkisme yang reduksionistik.
Reduksionisme spiritualistik maupun hierarkis menegasi materialitas dan historisitas hidup beriman. Dalam reduksionisme spiritualistik, utopia iman dilepaskan dari praksis pembebasan historis. Padahal, institusi agama justru dipanggil menjalankan kritik profetiknya demi konstruksi masyarakat yang lebih membela martabat manusia. Proyek-proyek independen, seperti REMHI (Recovery of Historical Memory) di Guatemala, merupakan kritik atas kegagalan lembaga-lembaga pemerintah membongkar kekerasan negara dan ungkapan solidaritas dengan para korban. Dalam reduksionisme hierarkis, keberimanan direduksi dalam label formal agama. Padahal, praksis imanlah yang pertama dan terutama menunjukkan kredibilitas keberimanan. Jika rakyat tersalib merepresentasikan tubuh Yesus Kristus dalam sejarah, iman kristiani harus berpaling pada korban. Dengan berpaling pada rakyat yang tersalib, institusi agama akan menemukan kembali utopia profetiknya.
Ketika men-sharing-kan drama kemanusiaan di Guatemala, Juan Gerardi mengundang masyarakat untuk melihat akar ketidakadilan dan absennya nilai-nilai martabat manusia. Wajah Allah memanggil kita menjadi pendamai dalam masyarakat, dan menempatkan korban dan pelaku kejahatan atas kemanusiaan dalam kerangka keadilan. Semua berhak mengetahui kebenaran agar halaman-halaman sejarah homo homini lupus tidak terulang. Membuka diri terhadap kebenaran sejarah merupakan conditio sine qua non untuk proses humanisasi. Kebenaran merupakan kata utama yang memungkinkan kita memutus lingkaran kematian dan kekerasan.
Mitos kekerasan
Jon Sobrino mengajak kita melihat realitas "berhala" (idols) yang dianggap orang sebagai bagian masa lampau sejarah atau hanya diakui eksistensinya dalam ruang privat agama. Berhala-berhala seperti absolutisme kekuasaan, ideologi ketertiban masyarakat, SARA, dan kekerasan ada dalam realitas historis dan mengonstruksikan masyarakat. Kekerasan membutuhkan kultus dan ortodoksi untuk hidup. Kekerasan dan kejahatan membangun ilusi dapat memainkan peran final dalam menciptakan perdamaian dan bahkan keselamatan. Kekerasan dan kejahatan hanya melahirkan dehumanisasi. Kultus kekerasan selalu membutuhkan korban untuk kelangsungan hidupnya. Mereka menebarkan mantra: si vis pacem para bellum.
Negosiasi perdamaian sering sulit diwujudkan karena pihak-pihak yang (dibuat) bertikai berpikir bahwa kemenangan akan mengakhiri konflik. Faktanya, mereka selalu mengklaim kemenangan ada di pihaknya. Konflik-konflik yang berlangsung lama makin mengarah pada absurditas. Negosiasi perdamaian dihalangi karena akan membongkar sumber konflik dan kejahatan mereka yang menciptakan konflik itu. Ketika perdamaian Malino dideklarasikan, terkuaklah kebenaran bahwa sumber konflik itu bukan etno-religius dan pihak-pihak yang berkonflik hanyalah korban permainan politik.
Tak jarang institusi agama memberikan justifikasi kekerasan dengan basis moral, bahkan supra-moral. Kekerasan ditempatkan dalam bingkai religius, yaitu pemulihan kembali harmoni dari kekacauan. Dengan mengangkat konflik ke tingkat kosmik, mereka melewati larangan moral terhadap kekerasan, bahkan mendapatkan pahala. Sasaran-sasaran politik mereka identifikasikan sebagai musuh agama.
Islam di Indonesia berusaha tidak hanya melawan politisasi, tetapi juga melawan subordinasi cita-cita Islam yang tinggi ke dalam cara-cara rezim yang rendah. Problem ketidakadilan sering disembunyikan di balik sentimen etno-religius atau konflik Barat dan Islam. Kita ditantang untuk mewujudkan utopia iman dalam dialektika dengan realitas kekerasan dan kejahatan. Utopia Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus berlawanan secara diametrik dengan kekerasan dan kejahatan. Utopia-profetisme iman membawa pesan perdamaian.
No comments:
Post a Comment