
KAMI sudah hancur, kehabisan tenaga akibat tahun-tahun kematian. Sejak Perang Teluk, 600.000 anak mati kekurangan gizi dan obat-obatan. Kami hidup dengan kematian karena sanksi ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa atas tekanan Amerika Serikat.SEKITAR 4.500 anak di bawah lima tahun setiap bulan mati kelaparan, kekurangan gizi dan kekurangan obat-obatan di Irak. Kami tidak lagi bertanya apakah akan mati karena serangan bom udara atau sebab-sebab lain pada hari-hari mendatang. Pertanyaan kami sekarang: Apakah terdapat kehidupan setelah kematian? Apakah Tuhan mendengarkan kami? Embargo tampaknya telah menutup segala sesuatu, termasuk Tuhan."Penuturan perempuan Irak itu kembali bergema di tengah invasi pasukan koalisi di teritori Irak. Narasinya mewakili jeritan para perempuan lain yang masih berada di zona konflik, yang mengungsi ke daerah-daerah dan negara-negara yang relatif aman, dan yang menjadi korban kekerasan perang. Di daerah konflik atau kamp penampungan, mereka ikut memanggul kemanusiaan kita yang luka parah di pundak mereka.Peralatan perang modern memang dapat mencegah jatuhnya banyak korban, namun tidak dapat mencegah agar tidak jatuh korban. Kapasitas senjata perang dalam mencari target korban mereka dapat menyembunyikan brutalitas perang. Bagaimana perempuan memberikan kontribusi bagi terciptanya peradaban antikekerasan dalam dunia kita?Pelucutan tubuh sosialWilliam T Cavanaugh dalam Torture and Eucharist: Theology, Politics, and the Body of Christ (2000) menyatakan, kekerasan terhadap tubuh dimaksudkan untuk menyerang tubuh sosial. Drama kekerasan dengan strategi penyiksaan selama rezim Pinochet di Cile digunakan untuk mengurai dan menyerakkan semua tubuh sosial yang berdiri antara individu dan negara.Tubuh korban merupakan tempat ritual di mana kekuasaan negara dimanifestasikan dalam bentuk paling mengagumkan. Penyiksaan meruntuhkan dunia para korban pada batas-batas tubuhnya. Relasi-relasi pada masa lalu dan harapan-harapan pada masa depan korban disingkirkan karena korban memfokuskan diri pada ketakutan dan luka mereka.Dalam The Body in Pain: The Making and Unmaking of the World (1985), Elaine Scarry menyatakan, kesakitan korban tidak hanya menahan mereka untuk berbicara melainkan juga menghancurkan bahasa yang mereka gunakan sebelumnya. Tubuh korban (yang dibiarkan hidup) dipinjam untuk menyebarkan aura ketakutan di antara orang-orang lain karena mereka telah ditandai oleh dan dapat diklaim sebagai milik mereka yang menyiksanya.Penghilangan paksa dan penyiksaan seperti permainan bayang-bayang di balik layar di mana kekuasaan dilucuti. Pada satu sisi rezim yang berkuasa berusaha menyembunyikan keterlibatannya dalam tindakan penyiksaan, dan pada saat yang sama menyatakan kehadirannya melalui tindakan penyiksaan.Dalam invasi pasukan koalisi atas Irak, tubuh lawan yang menyerahkan diri, disandera, dilukai, dan bahkan berhasil dibunuh, dipinjam pihak-pihak yang berkonflik untuk dipentaskan di atas panggung publik. Ketidakberdayaan para korban perang dipublikasikan pihak lawan untuk menunjukkan kuasa mereka atas tubuh korban. Masing-masing pihak menyebarkan aura ketakutan melalui penguasaan tubuh lawan.Populasi sipil tidak hanya berada dalam zona-zona pertempuran bersenjata. Bahkan, mereka menjadi target serangan karena dianggap berafiliasi dengan militer Irak. Militer Irak pun tak segan membangun pertahanan terakhir mereka dengan perisai hidup populasi sipil.Dapatkah perdamaian sosial diraih dengan kekerasan sistematik? Mungkinkah kita berhasil membatasi perang dengan kapasitas destruktif alat-alat perang modern? Lisa Cowe Cahill mengajukan problem etik di hadapan humanitarian intervention sebagaimana diilustrasikan dalam Perang Teluk.Menurut dia, pertanyaan tentang intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention) adalah tahap paling akhir bagi pertaruhan karier teori perang adil. Intervensi militer yang dilanjutkan dengan sanksi ekonomi itu menghancurkan infrastruktur sosial sehingga diperlukan waktu lama untuk rehabilitasi.Penggunaan alat-alat perang yang memiliki kapabilitas mencari sasaran musuh dalam invasi pasukan koalisi ke Irak tidak sedikit pun mengurangi ontologi kekerasan yang melatarbelakanginya. Ontologi kekerasan mendiktekan logika oposisi dan resolusi konflik dengan tindakan destruktif terhadap lawan mereka.Alat-alat perang canggih merupakan metafor keterpesonaan kita pada kekerasan sebagai solusi final atas konflik. Ironisnya, tidak ada ruang aman bagi kita, bahkan tempat paling terisolir mana pun ketika suatu masyarakat meniscayakan kekerasan.Peradaban antikekerasanPerempuan menjadi obyek kekerasan perang sekaligus subjek yang melawan kekerasan perang. Mereka menunjukkan pola konsisten dalam menolak perang. Perang per definisi merupakan kejahatan dan kekalahan atas kemanusiaan kita.Birgit Brock-Utne dalam Educating for Peace (1985) mengidentifikasi tiga karakteristik partisipasi perempuan dalam memajukan peradaban antikekerasan. Pertama, partisipasi perempuan terkait dengan keprihatinan dan perhatian terhadap kehidupan manusia, terutama anak dan perempuan. Mereka mengorganisasi diri karena kasus-kasus khusus seperti penghilangan paksa, kerusakan ekologis, perkosaan massal, invasi militer, dan sebagainya.Kedua, mereka menggunakan strategi tanpa kekerasan. Para ibu Plaza de Mayo memilih menggunakan simbol dan foto untuk memprotes anak-anak mereka yang dihilangkan daripada berkonfrontasi langsung memprotes kediktatoran pemerintahan. Gerakan Green Belt di Kenya memilih menanam pohon sebagai protes atas kerusakan ekologi.Terhadap represi militer, mereka menyematkan bunga perdamaian. Para perempuan di berbagai lapisan dunia memprotes rencana dan tindakan invasi militer dengan mendramatisasikan secara kreatif ancaman terhadap perdamaian global.Ketiga, aktivitas mereka transpolitik, bahkan transnasional dan terarah untuk merengkuh para perempuan di tempat lain. Untuk memperjuangkan keadilan dan perdamaian, mereka membentuk jejaring yang terbentuk dari berbagi kisah.Intervensi kemanusiaan di pihak pasukan koalisi maupun pertahanan nasional di pihak Irak sama-sama mengidap ontologi kekerasan. Di mana perempuan mengorganisasi diri dalam atau berpartisipasi dalam solidaritas antikekerasan, kekerasan didegradasikan.Kontribusi perempuan dalam peradaban antikekerasan terletak dalam pembelaan mereka terhadap keberlangsungan kehidupan dan perjuangan mereka mencintai tubuh sosial manusia meskipun telah dihancurkan. Mereka menyentuh, membalut, dan mengobati luka tubuh sosial manusia, bahkan memanggulnya agar tidak dijarah kejahatan perang. Visi kemanusiaan masa depan bukan peradaban kekerasan, melainkan peradaban antikekerasan. Visi kemanusiaan masa depan tidak ditandai kekerasan perang, melainkan perdamaian global.Skenario masa depan kemanusiaan tidak didasarkan pada logika oposisi yang meniscayakan konflik dengan lawan mereka, melainkan logika perdamaian yang mengundang pihak-pihak yang berkonflik untuk berdialog dan bekerja sama.
No comments:
Post a Comment