Kita adalah ahli waris salah satu abad paling kejam dalam sejarah manusia, entah sebagai pelaku dari atau sebagai yang apatis terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan. Tragedi kemanusiaan, teror, dan harapan menjadi litani sejarah umat manusia zaman kita.Dalam tragedi Istanbul, kita kembali menyaksikan degradasi manusia dari homo homini socius menjadi homo homini lupus. Insting primitif wong ciak wong menggantikan penghargaan terhadap martabat hidup manusia. Homo sapiens secara tak manusiawi membinasakan sesamanya. Teror menunjukkan bukti mati rasa atau keterpesonaan kita terhadap dominasi totaliter.Istanbul telah menjadi lokasi baru target teror. Bom bunuh diri di sinagoga Neve Shalom dan sinagoga Beth Israel menewaskan 23 orang dan melukai 257 orang. Sebanyak 26 warga dikabarkan tewas dan 400 lainnya cedera dalam ledakan di gedung HSBC dan depan gerbang masuk Konsulat Jenderal Inggris. Dua serangan ini mencuatkan kembali isu konflik antara gerakan Islam militan di satu pihak dan Yahudi/Barat di pihak yang lain. Apalagi, Al Qaeda dan Front Penyerbu Timur Raya Islami (IBDA-C) mengklaim bertanggung jawab atas serangan di gedung HSBC dan Konsulat Jenderal Inggris.Mengapa orang-orang biasa dapat secara ekstrem menjadi alat dan pelaksana teror antihumanistik? Bagaimana dapat dijelaskan, sebuah gerakan totaliter merencanakan, mengatur, dan melaksanakan teror demi kematian prematur sesamanya?Dominasi totaliterHannah Arendt (1906–1975), seorang filsuf politik brilian yang berminat memahami produksi massa yang secara ekstrem menjadi alat dan pelaksana teror, mengatakan, petaka terbesar dalam sejarah manusia, yaitu perang dunia, perang dingin, holocaust, ternyata telah direncanakan, diatur, dan dilaksanakan secara sistematis oleh rezim totaliter. Menurut Arendt, teror merupakan esensi bentuk pemerintahan totaliter. Teror melahirkan kekerasan, menghancurkan kekuasaan, mengontrol seluruh aspek kehidupan masyarakat.Efektivitas teror bergantung pada tingkat atomisasi sosial. Teror menjadi efektif jika berhasil menyisakan boneka-boneka mengerikan berwajah manusia, yang semuanya berperilaku seperti anjing dalam eksperimen Pavlov. Mereka bereaksi amat memuaskan meski harus menghadapi mautnya sendiri dan yang tidak melakukan apa-apa kecuali bereaksi. Gerakan totaliter menuntut kesetiaan total, tak terbatas, tanpa syarat, dan tak dapat diubah. Loyalitas demikian hanya dapat diharapkan dari manusia yang terisolasi. Kehormatan mereka terletak dalam loyalitas kepada pemimpin, bahkan kalau loyalitas itu menuntut kematian mereka.Pemadaman semua kelompok solidaritas merupakan kondisi sine qua non bagi dominasi total. Dalam rezim totaliter, provokasi menjadi metode berelasi sosial. Dengan mengadu domba orang, teror total menghancurkan ruang antara mereka. Pemerintah totaliter menghancurkan salah satu prasyarat paling dasar dari semua kebebasan, yaitu kemampuan untuk bergerak yang tidak mungkin ada tanpa ruang. Hilangya ruang publik berarti hilangnya kebebasan. Rezim totaliter menyelenggarakan deportasi massal, kerja paksa besar-besaran, dan membangun kamp-kamp konsentrasi. Propaganda anti-Yahudi dan pembasmian terhadap orang-orang Yahudi merupakan bagian teror dominasi totaliter.Teror sejarahDalam tragedi Istanbul, pelaku teror hendak membangun legitimasi kekuasaannya dengan membinasakan target korbannya. Mereka tidak memedulikan tatanan hukum dan melanggar hak-hak asasi manusia paling dasar tanpa malu. Mereka mengabaikan jumlah korban asal tujuan tercapai. Dalam waktu relatif singkat, mereka mengeksekusi ratusan orang secara kejam yang sulit dipahami akal sehat.Dalam aksi bom bunuh diri, pelaksana teror bom sekaligus menjadi korban. Pelaku teror mengklaim hak atas otoritas untuk memulai dan mengakhiri kehidupan, untuk menentukan batas-batas awal dan akhir kehidupan. Rezim totaliter memproduksi orang-orang yang tidak dapat lagi membedakan antara realitas dan fantasi, yang benar dan salah.Sekali kita membiarkan teror terjadi, kematian prematur tak terelakkan. Satu-satunya jalan agar kehidupan kita berlangsung adalah dengan menghentikan teror. Problemnya, kita cenderung memalingkan diri dari kengerian tubuh korban di Dacau, Rwanda, Kamboja, Timor Timur, Indonesia, dan sebagainya. Kita baru tersadar ketika teror menimpa kita.Irak pascainvasi merupakan contoh lain bagaimana teror perang gagal menciptakan masyarakat baru tanpa kekerasan. Perang telah usai, namun perdamaian masih jauh. Pemerintahan transisi belum mampu menciptakan stabilitas nasional karena konflik sporadis terus berlanjut. Perang hanya mewariskan kehancuran dan bangsa Irak yang merasa berada kembali pada titik nol sejarahnya.Teror memang dapat membungkam masyarakat. Namun, teror sebenarnya tak pernah dapat melegitimasi kekuasaan. Dalam sejarah, tidak ada rezim totaliter yang bertahan hidup. Problemnya, harga korban manusia yang harus dibayar sebelum kebangkrutan rezim totaliter itu amat besar. Sebagaimana diingatkan Arendt, meski mengalami kekalahan, rezim totaliter mengetahui bagaimana mengempaskan pintu di belakangnya sehingga mereka tidak akan dilupakan selamanya. Mereka menghendaki akses dalam sejarah meskipun akses sejarah itu harus dibayar dengan kehancuran.Terorisme merupakan semacam filsafat untuk mengungkapkan frustrasi, kemarahan, dan kebencian. Ia merupakan semacam ekspresi politik untuk memaksakan eksistensi mereka dalam sejarah. Kematian prematur korban akibat teror merefleksikan brutalitas rezim totaliter. Menunda pemetaan teror hingga generasi-generasi mendatang berarti menyediakan tempat bersembunyi dan memberi kesempatan bagi pelaku teror untuk terus menjalankan aksi mereka. Politik teror telah menciptakan teror sejarah.Solidaritas anamnetikKomunitas-komunitas beriman diharapkan menunjukkan komitmennya untuk menolak kekerasan sebagai tindakan sakral. Agama sering dijadikan tempat kamuflase teror. Sakralisasi kekerasan, misalnya kekerasan sebagai ekspresi keadilan Ilahi, membuka jalan lapang bagi teror. Kematian prematur karena kekerasan tidak pantas terjadi, apalagi dipandang sebagai keharusan obyektif sejarah. Solidaritas anamnetik dengan korban merupakan detotaliterisasi terhadap politik teror. Dengan menamai dan mengingat korban, kita mengembalikan martabat manusia sebagai homo homini socius dan membongkar wajah teror.Tendensi totaliter, baik dalam gerakan teroris maupun fundamentalisme agama, tidak boleh memperoleh ruang hidup. Politik teror memilih korban secara sewenang-wenang dan korban-korban itu secara obyektif tidak bersalah. Mereka dipilih untuk mati prematur terlepas dari yang mereka perbuat. Dengan demikian, politik teror dapat mempergunakan setiap jengkal tanah sebagai ruang hidup dan setiap orang sebagai potensi korban. Tragedi kemanusiaan di Istanbul memberikan peringatan akan bahaya politik teror dan ajakan untuk segera bergandeng tangan mempersempit ruang hidup gerakan teror.
Kuasa Kata: Menyapa
Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.
Mutiara Andalas, S.J.
Wednesday, August 8, 2007
Politik Teror
Kita adalah ahli waris salah satu abad paling kejam dalam sejarah manusia, entah sebagai pelaku dari atau sebagai yang apatis terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan. Tragedi kemanusiaan, teror, dan harapan menjadi litani sejarah umat manusia zaman kita.Dalam tragedi Istanbul, kita kembali menyaksikan degradasi manusia dari homo homini socius menjadi homo homini lupus. Insting primitif wong ciak wong menggantikan penghargaan terhadap martabat hidup manusia. Homo sapiens secara tak manusiawi membinasakan sesamanya. Teror menunjukkan bukti mati rasa atau keterpesonaan kita terhadap dominasi totaliter.Istanbul telah menjadi lokasi baru target teror. Bom bunuh diri di sinagoga Neve Shalom dan sinagoga Beth Israel menewaskan 23 orang dan melukai 257 orang. Sebanyak 26 warga dikabarkan tewas dan 400 lainnya cedera dalam ledakan di gedung HSBC dan depan gerbang masuk Konsulat Jenderal Inggris. Dua serangan ini mencuatkan kembali isu konflik antara gerakan Islam militan di satu pihak dan Yahudi/Barat di pihak yang lain. Apalagi, Al Qaeda dan Front Penyerbu Timur Raya Islami (IBDA-C) mengklaim bertanggung jawab atas serangan di gedung HSBC dan Konsulat Jenderal Inggris.Mengapa orang-orang biasa dapat secara ekstrem menjadi alat dan pelaksana teror antihumanistik? Bagaimana dapat dijelaskan, sebuah gerakan totaliter merencanakan, mengatur, dan melaksanakan teror demi kematian prematur sesamanya?Dominasi totaliterHannah Arendt (1906–1975), seorang filsuf politik brilian yang berminat memahami produksi massa yang secara ekstrem menjadi alat dan pelaksana teror, mengatakan, petaka terbesar dalam sejarah manusia, yaitu perang dunia, perang dingin, holocaust, ternyata telah direncanakan, diatur, dan dilaksanakan secara sistematis oleh rezim totaliter. Menurut Arendt, teror merupakan esensi bentuk pemerintahan totaliter. Teror melahirkan kekerasan, menghancurkan kekuasaan, mengontrol seluruh aspek kehidupan masyarakat.Efektivitas teror bergantung pada tingkat atomisasi sosial. Teror menjadi efektif jika berhasil menyisakan boneka-boneka mengerikan berwajah manusia, yang semuanya berperilaku seperti anjing dalam eksperimen Pavlov. Mereka bereaksi amat memuaskan meski harus menghadapi mautnya sendiri dan yang tidak melakukan apa-apa kecuali bereaksi. Gerakan totaliter menuntut kesetiaan total, tak terbatas, tanpa syarat, dan tak dapat diubah. Loyalitas demikian hanya dapat diharapkan dari manusia yang terisolasi. Kehormatan mereka terletak dalam loyalitas kepada pemimpin, bahkan kalau loyalitas itu menuntut kematian mereka.Pemadaman semua kelompok solidaritas merupakan kondisi sine qua non bagi dominasi total. Dalam rezim totaliter, provokasi menjadi metode berelasi sosial. Dengan mengadu domba orang, teror total menghancurkan ruang antara mereka. Pemerintah totaliter menghancurkan salah satu prasyarat paling dasar dari semua kebebasan, yaitu kemampuan untuk bergerak yang tidak mungkin ada tanpa ruang. Hilangya ruang publik berarti hilangnya kebebasan. Rezim totaliter menyelenggarakan deportasi massal, kerja paksa besar-besaran, dan membangun kamp-kamp konsentrasi. Propaganda anti-Yahudi dan pembasmian terhadap orang-orang Yahudi merupakan bagian teror dominasi totaliter.Teror sejarahDalam tragedi Istanbul, pelaku teror hendak membangun legitimasi kekuasaannya dengan membinasakan target korbannya. Mereka tidak memedulikan tatanan hukum dan melanggar hak-hak asasi manusia paling dasar tanpa malu. Mereka mengabaikan jumlah korban asal tujuan tercapai. Dalam waktu relatif singkat, mereka mengeksekusi ratusan orang secara kejam yang sulit dipahami akal sehat.Dalam aksi bom bunuh diri, pelaksana teror bom sekaligus menjadi korban. Pelaku teror mengklaim hak atas otoritas untuk memulai dan mengakhiri kehidupan, untuk menentukan batas-batas awal dan akhir kehidupan. Rezim totaliter memproduksi orang-orang yang tidak dapat lagi membedakan antara realitas dan fantasi, yang benar dan salah.Sekali kita membiarkan teror terjadi, kematian prematur tak terelakkan. Satu-satunya jalan agar kehidupan kita berlangsung adalah dengan menghentikan teror. Problemnya, kita cenderung memalingkan diri dari kengerian tubuh korban di Dacau, Rwanda, Kamboja, Timor Timur, Indonesia, dan sebagainya. Kita baru tersadar ketika teror menimpa kita.Irak pascainvasi merupakan contoh lain bagaimana teror perang gagal menciptakan masyarakat baru tanpa kekerasan. Perang telah usai, namun perdamaian masih jauh. Pemerintahan transisi belum mampu menciptakan stabilitas nasional karena konflik sporadis terus berlanjut. Perang hanya mewariskan kehancuran dan bangsa Irak yang merasa berada kembali pada titik nol sejarahnya.Teror memang dapat membungkam masyarakat. Namun, teror sebenarnya tak pernah dapat melegitimasi kekuasaan. Dalam sejarah, tidak ada rezim totaliter yang bertahan hidup. Problemnya, harga korban manusia yang harus dibayar sebelum kebangkrutan rezim totaliter itu amat besar. Sebagaimana diingatkan Arendt, meski mengalami kekalahan, rezim totaliter mengetahui bagaimana mengempaskan pintu di belakangnya sehingga mereka tidak akan dilupakan selamanya. Mereka menghendaki akses dalam sejarah meskipun akses sejarah itu harus dibayar dengan kehancuran.Terorisme merupakan semacam filsafat untuk mengungkapkan frustrasi, kemarahan, dan kebencian. Ia merupakan semacam ekspresi politik untuk memaksakan eksistensi mereka dalam sejarah. Kematian prematur korban akibat teror merefleksikan brutalitas rezim totaliter. Menunda pemetaan teror hingga generasi-generasi mendatang berarti menyediakan tempat bersembunyi dan memberi kesempatan bagi pelaku teror untuk terus menjalankan aksi mereka. Politik teror telah menciptakan teror sejarah.Solidaritas anamnetikKomunitas-komunitas beriman diharapkan menunjukkan komitmennya untuk menolak kekerasan sebagai tindakan sakral. Agama sering dijadikan tempat kamuflase teror. Sakralisasi kekerasan, misalnya kekerasan sebagai ekspresi keadilan Ilahi, membuka jalan lapang bagi teror. Kematian prematur karena kekerasan tidak pantas terjadi, apalagi dipandang sebagai keharusan obyektif sejarah. Solidaritas anamnetik dengan korban merupakan detotaliterisasi terhadap politik teror. Dengan menamai dan mengingat korban, kita mengembalikan martabat manusia sebagai homo homini socius dan membongkar wajah teror.Tendensi totaliter, baik dalam gerakan teroris maupun fundamentalisme agama, tidak boleh memperoleh ruang hidup. Politik teror memilih korban secara sewenang-wenang dan korban-korban itu secara obyektif tidak bersalah. Mereka dipilih untuk mati prematur terlepas dari yang mereka perbuat. Dengan demikian, politik teror dapat mempergunakan setiap jengkal tanah sebagai ruang hidup dan setiap orang sebagai potensi korban. Tragedi kemanusiaan di Istanbul memberikan peringatan akan bahaya politik teror dan ajakan untuk segera bergandeng tangan mempersempit ruang hidup gerakan teror.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment