Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Wednesday, August 8, 2007

Salib Solidaritas

Salib Solidaritas

Salib adalah simbol penderitaan, bahkan kematian prematur dan tak adil. Yesus mentransformasikan salib sebagai simbol penderitaan menjadi simbol solidaritas dengan masyarakat korban.

Kisah Yesus memanggul salib sampai wafat di Golgotha (via dolorosa) adalah kisah Allah yang solider dengan masyarakat korban yang memanggul salib-salib sejarah. Solidaritas Yesus dengan the crucified people mengundang komunitas beriman Kristiani untuk solider dengan para korban di Indonesia yang memanggul salib-salib sejarah pada masa sekarang.
Salib sejarah
Yesus hidup di antara mayoritas masyarakat yang mengalami penderitaan ganda di bawah tatanan politik-religius yang opresif. Kekaisaran Roma tidak memberi ruang bagi aspirasi masyarakat jajahan untuk merdeka. Hidup beragama lebih digerakkan eros hukum (a religion of law) daripada spiritualitas kasih (a religion of love). Penderitaan warga di bawah tatanan opresif, mengambil wajah kematian prematur dan tidak adil (premature and unjust death). Mayoritas masyarakat memanggul salib-salib sejarah. Salib menjadi simbol penderitaan masyarakat korban.
Yesus menghadirkan potret Allah kehidupan yang mendengarkan mazmur requiem masyarakat korban. Ia ada di sisi mereka yang buta, bisu, tuli, lumpuh, lapar, haus, telanjang, dan tunawisma. Ia menjumpai pribadi atau kelompok sosial yang ada di bawah sejarah (underside of history). Solidaritas Yesus dengan masyarakat sisi bawah sejarah menciptakan konfrontasi hidup-mati dengan mereka yang ada di sisi atas sejarah (upperside of history).
Berhala kematian
Gustavo Gutierrez dalam We Drink from Our Own Wells: The Spiritual Journey of a People (1992) memandang solidaritas sebagai ekspresi nyata kasih Allah kehidupan pada zaman ini. Komunitas beriman Kristiani berziarah meninggalkan ilah-ilah kematian (idols of death) dan menjumpai Allah kehidupan (God of life). Gutierrez mengingatkan komunitas beriman Kristiani untuk tidak membatasi ruang lingkup solidaritas pada level personal, tetapi meluaskan ke level eklesial dan sosial.
Gutierrez mengundang komunitas Kristiani untuk menjadi saksi kehidupan bagi masyarakat korban sebagai anak-anak Allah. Yesus berkonfrontasi dengan struktur-struktur kekuasaan yang memeluk kultur kematian karena berpihak kepada Allah kehidupan dan kehidupan masyarakat korban. Konfrontasi Allah kehidupan dengan ilah kematian berlangsung terbuka dalam konfrontasi Yesus melawan kekuasaan politik-religius zaman itu. Komitmen Yesus untuk membebaskan masyarakat korban dari penindasan politik-religius menghantar-Nya mengalami sendiri realitas salib yang menjadi pengalaman sehari-hari masyarakat korban.
Konfrontasi Allah kehidupan dengan ilah kematian itu terpotret dalam drama pengadilan Yesus. Ia didakwa ganda dari kekuasaan sipil dan religius. Inkarnasi Yesus dalam komunitas korban dipandang sebagai tindakan subversif terhadap kekaisaran Roma. Kekuasaan religius menolak identitas Yesus sebagai Anak Allah yang memeluk kultur kehidupan dan solider dengan penderitaan masyarakat korban. Pengadilan itu sendiri sejatinya menempatkan penguasa politik yang memeluk kultur kematian dan penguasa agama yang menyembah ilah kematian sebagai terdakwa utama.
Menyitir almarhum Uskup Agung Romero (1917-1980) dari El Salvador, dosa menyebabkan kematian Yesus sebagai Anak Allah, dan dosa terus-menerus menyebabkan kematian masyarakat korban sebagai anak-anak Allah.
Eros politik
Paus Benedictus XVI dalam Pesan Prapaskah 2007 mengundang komunitas beriman Kristiani di dunia untuk mengenali kuasa kematian yang melukai martabat kemanusiaan. Kita diundang untuk melawan setiap bentuk serangan terhadap kehidupan dan eksploitasi terhadap manusia sebagai anak-anak Allah. Kenangan akan penderitaan Yesus di salib mengundang kita untuk melihat realitas salib di Indonesia. Banjir, gempa bumi, dan tanah longsor memperburuk kondisi kemanusiaan Indonesia. Kita melihat antrean panjang korban bencana kemanusiaan yang menanti untaian solidaritas.
Elite kekuasaan di Indonesia justru sibuk saling tuding terhadap lawan politik sebagai tukang tebar pesona atau janji kepada korban bencana. Korban bencana dijadikan obyek politik, penderitaan dijadikan obyek bagi politikus untuk mengangkat popularitas di depan publik.
Tebar pesona lahir dari eros politik, sedangkan solidaritas lahir dari spiritualitas politik. Tebar pesona untuk popularitas politikus, sedangkan solidaritas untuk kepentingan politik populis. Subyek tebar pesona adalah politikus, sedangkan subyek sejati solidaritas adalah masyarakat korban. Pilatus dan para pemimpin agama memilih eros politik, sedangkan Yesus memilih etos solidaritas.
Solidaritas di negeri bencana
Drama penyaliban Yesus menyingkap kehidupan masyarakat korban. Masyarakat korban menjadi pilihan fundamental (optio fundamentalis) hidup Yesus. Ia tidak pernah menempatkan mereka sebagai obyek tebar pesona di hadapan publik. Ia memanggul salib sampai wafat di Kalvari demi membela kesucian hidup mereka. Ia mengalami kematian prematur dan tidak adil, seperti masyarakat korban memanggul salib-salib sejarah.
Kenangan akan penderitaan Yesus di salib mengundang tiap elite kekuasaan untuk mengubah eros politik menjadi spiritualitas politik.

No comments: