h3.google.com/.../s800/Biggart1836.jpg
Anamnese atau Amnesia Sejarah
Tanggal 11 September 2001. Bendera berkibar setengah tiang di Amerika Serikat. Abu perkabungan dari reruntuhan World Trade Center menandai dahi setiap warga. Peristiwa 9/11 dicatat sebagai salah satu tragedi kemanusiaan terburuk dalam lembaran sejarah Amerika.
Mereka mengumpulkan puing-puing reruntuhan dan ceceran darah ribuan korban untuk memahami barbaritas kekerasan itu. Peringatan tragedi kemanusiaan itu merupakan momentum anamnesis sejarah di tengah kecenderungan amnesia sejarah. Peringatan tragedi itu merupakan refleksi kolektif dari perspektif korban sebagai sisi bawah sejarah.
Sisi atas sejarah
Tragedi 9/11 dapat dilihat dari paradigma adikuasa sebagai sisi atas sejarah dan paradigma korban sebagai sisi bawah sejarah. Tragedi 9/11 pada tahun-tahun awal cenderung dibaca dari perspektif adikuasa sebagai sisi atas sejarah. Perspektif sisi atas sejarah mengutuk terjadinya peristiwa berdarah itu dan mengambinghitamkan jaringan Osama bin Laden sebagai teroris internasional.
Kebijakan politik kontraterorisme dipandang sebagai perang melawan kelompok barbaritas antihumanitas. Justifikasi kontraterorisme adalah menciptakan ruang publik internasional yang aman. Perang melawan terorisme ini dalam praktiknya justru menciptakan hyperphobia dalam masyarakat internasional.
Salah satu korban dari kebijakan perang melawan terorisme adalah dunia Islam. Menyitir Karen Armstrong, islamophobia sejatinya adalah bayang-bayang diri masyarakat Barat yang menolak kehadiran the religious Others. Masyarakat non-Barat dikonstruksi sebagai yang lahir dengan kultur barbaritas kekerasan dan menolak peradaban antikekerasan. Masyarakat non-Barat dicitrakan sebagai pasien yang terlahir cacat dengan penyakit barbaritas kekerasan. Jaringan terorisme menggunakan islamophobia untuk propaganda hukuman Tuhan atas perilaku inhumanitas dunia non-Islam. Barbaritas kekerasan yang merupakan tindakan sakrilegi dalam Islam disulap menjadi sakral.
Paradigma sisi atas sejarah ini berangsur-angsur digeser oleh paradigma sisi bawah sejarah. Paradigma sisi bawah tidak mulai dari sejarah kemegahan, tetapi dari serpihan abu World Trade Center. Ia tidak mulai dengan mengambinghitamkan pihak lain, tetapi bercermin diri di antara serpihan abu dan serakan tubuh korban. Serpihan abu dan serakan tubuh korban itu juga ditemukan di zona-zona konflik di mana Amerika Serikat terlibat untuk menciptakan perdamaian. Politik diletakkan kembali pada kaki masyarakat yang menangis pilu, terluka, dan mengalami kematian prematur. Politik yang menyuplai inhumanitas pada korban berakhir destruktif pada pelaku barbaritas kekerasan. Sebaliknya, politik yang menyuplai humanitas itu konstruktif untuk masa depan humanitas.
Barbaritas kekerasan meninggalkan jejak kematian prematur korban dalam skala massal. Potret wajah barbar pelaku kekerasan itulah yang berhasil dikumpulkan para relawan kemanusiaan saat mengumpulkan puing- puing tubuh korban. Tak banyak korban yang dapat diselamatkan karena pelaku barbaritas kekerasan senantiasa destruktif dengan jejak kematian prematur. Mereka menghapus jejak kehidupan pada pelakunya, tetapi meninggalkan jejak kematian pada korbannya.
Negara Amerika mendapat kritik tajam terhadap kebijakan militer di zona-zona konflik. Desakan untuk menghentikan perang juga datang dari masyarakat karena mereka semakin menemukan absurditas, bahkan nihilisme kekerasan. Pelaku terorisme menempelkan stigma monster inhumanitas pada dahi Amerika. Pergumulan masyarakat Amerika pascatragedi WTC adalah mengubah stigma inhumanitas menjadi sigma humanitas. Pertanyaan bergeser dari "bagaimana mungkin tragedi itu terjadi" menjadi "bagaimana menciptakan kemungkinan agar tragedi itu tidak terjadi".
Kerusakan humanitas
Kerusakan terbesar dalam tragedi 9/11 bukan pertama-tama kerusakan material, melainkan kerusakan humanitas. Kerusakan humanitas itu hanya dapat disembuhkan dan dihidupkan dengan melawan barbaritas kekerasan antihumanitas. Kerusakan humanitas itu tak dapat diperbaiki dengan merusak humanitas lain. Sebagaimana ditegaskan Paus Benediktus XVI terhadap konflik di Timur Tengah, solusi politik definitif tak pernah dapat dicapai dengan instrumen kekerasan.
Instrumen kekerasan tidak membawa perdamaian dan stabilitas, melainkan kematian prematur dan kebencian. Kerusakan material, terutama kerusakan humanitas, adalah fakta telanjang bahwa tatanan dunia baru dan perdamaian tidak dapat dibangun melalui instrumen kekerasan. Kekerasan hanya memproduksi tatanan dunia yang chaos.
Jaringan terorisme mengusung jargon jihad global melawan sekularisasi Barat. Di depan publik mereka menyatakan, aksinya lebih memiliki fondasi religius- etik daripada politik. Wajah kemanusiaan korban yang rusak membongkar topeng pelaku barbaritas kekerasan itu. Alih-alih merepresentasikan wajah radikal dunia Islam, pelaku barbaritas kekerasan itu justru menampilkan wajah radikal anti-Islam. Tatanan dunia baru tidak dapat dikonstruksi dengan menciptakan chaos dan destruksi humanitas.
Anamnesis sejarah
Tragedi 9/11 dikenang tidak dengan kepala tengadah ke langit, tetapi dengan kepala tertunduk ke tanah. Masyarakat Amerika bergumul melawan amnesia sejarah. Anamnesis tragedi kemanusiaan itu dalam ingatan sosial adalah perlawanan aktif terhadap barbaritas kekerasan. Kebijakan politik luar negeri yang ingin menciptakan perdamaian di zona-zona konflik dunia melalui instrumen kekerasan semakin mendapat kritik keras.
Seruan penghentian penggunaan instrumen kekerasan ini bergema sangat kuat pasca-ancaman terorisme di ruang-ruang publik internasional beberapa waktu terakhir. Masyarakat Amerika tak menghendaki tragedi kemanusiaan itu terulang kembali. Api barbaritas kekerasan harus dipadamkan, sedangkan lilin perdamaian harus dinyalakan.
Humanitas tak bisa dibangun di atas fondasi inhumanitas. Secara tautologis, humanitas hanya dapat dibangun di atas fondasi humanitas. Barbaritas kekerasan tak hanya merusak kemanusiaan korbannya, tetapi juga kemanusiaan pelakunya. Peringatan tragedi 9/11 adalah undangan bagi masyarakat Amerika untuk mengubah citra mereka dari penyuplai kekerasan menjadi promotor perdamaian dunia.
Sumber dokumentasi:
Anamnese atau Amnesia Sejarah
Tanggal 11 September 2001. Bendera berkibar setengah tiang di Amerika Serikat. Abu perkabungan dari reruntuhan World Trade Center menandai dahi setiap warga. Peristiwa 9/11 dicatat sebagai salah satu tragedi kemanusiaan terburuk dalam lembaran sejarah Amerika.
Mereka mengumpulkan puing-puing reruntuhan dan ceceran darah ribuan korban untuk memahami barbaritas kekerasan itu. Peringatan tragedi kemanusiaan itu merupakan momentum anamnesis sejarah di tengah kecenderungan amnesia sejarah. Peringatan tragedi itu merupakan refleksi kolektif dari perspektif korban sebagai sisi bawah sejarah.
Sisi atas sejarah
Tragedi 9/11 dapat dilihat dari paradigma adikuasa sebagai sisi atas sejarah dan paradigma korban sebagai sisi bawah sejarah. Tragedi 9/11 pada tahun-tahun awal cenderung dibaca dari perspektif adikuasa sebagai sisi atas sejarah. Perspektif sisi atas sejarah mengutuk terjadinya peristiwa berdarah itu dan mengambinghitamkan jaringan Osama bin Laden sebagai teroris internasional.
Kebijakan politik kontraterorisme dipandang sebagai perang melawan kelompok barbaritas antihumanitas. Justifikasi kontraterorisme adalah menciptakan ruang publik internasional yang aman. Perang melawan terorisme ini dalam praktiknya justru menciptakan hyperphobia dalam masyarakat internasional.
Salah satu korban dari kebijakan perang melawan terorisme adalah dunia Islam. Menyitir Karen Armstrong, islamophobia sejatinya adalah bayang-bayang diri masyarakat Barat yang menolak kehadiran the religious Others. Masyarakat non-Barat dikonstruksi sebagai yang lahir dengan kultur barbaritas kekerasan dan menolak peradaban antikekerasan. Masyarakat non-Barat dicitrakan sebagai pasien yang terlahir cacat dengan penyakit barbaritas kekerasan. Jaringan terorisme menggunakan islamophobia untuk propaganda hukuman Tuhan atas perilaku inhumanitas dunia non-Islam. Barbaritas kekerasan yang merupakan tindakan sakrilegi dalam Islam disulap menjadi sakral.
Paradigma sisi atas sejarah ini berangsur-angsur digeser oleh paradigma sisi bawah sejarah. Paradigma sisi bawah tidak mulai dari sejarah kemegahan, tetapi dari serpihan abu World Trade Center. Ia tidak mulai dengan mengambinghitamkan pihak lain, tetapi bercermin diri di antara serpihan abu dan serakan tubuh korban. Serpihan abu dan serakan tubuh korban itu juga ditemukan di zona-zona konflik di mana Amerika Serikat terlibat untuk menciptakan perdamaian. Politik diletakkan kembali pada kaki masyarakat yang menangis pilu, terluka, dan mengalami kematian prematur. Politik yang menyuplai inhumanitas pada korban berakhir destruktif pada pelaku barbaritas kekerasan. Sebaliknya, politik yang menyuplai humanitas itu konstruktif untuk masa depan humanitas.
Barbaritas kekerasan meninggalkan jejak kematian prematur korban dalam skala massal. Potret wajah barbar pelaku kekerasan itulah yang berhasil dikumpulkan para relawan kemanusiaan saat mengumpulkan puing- puing tubuh korban. Tak banyak korban yang dapat diselamatkan karena pelaku barbaritas kekerasan senantiasa destruktif dengan jejak kematian prematur. Mereka menghapus jejak kehidupan pada pelakunya, tetapi meninggalkan jejak kematian pada korbannya.
Negara Amerika mendapat kritik tajam terhadap kebijakan militer di zona-zona konflik. Desakan untuk menghentikan perang juga datang dari masyarakat karena mereka semakin menemukan absurditas, bahkan nihilisme kekerasan. Pelaku terorisme menempelkan stigma monster inhumanitas pada dahi Amerika. Pergumulan masyarakat Amerika pascatragedi WTC adalah mengubah stigma inhumanitas menjadi sigma humanitas. Pertanyaan bergeser dari "bagaimana mungkin tragedi itu terjadi" menjadi "bagaimana menciptakan kemungkinan agar tragedi itu tidak terjadi".
Kerusakan humanitas
Kerusakan terbesar dalam tragedi 9/11 bukan pertama-tama kerusakan material, melainkan kerusakan humanitas. Kerusakan humanitas itu hanya dapat disembuhkan dan dihidupkan dengan melawan barbaritas kekerasan antihumanitas. Kerusakan humanitas itu tak dapat diperbaiki dengan merusak humanitas lain. Sebagaimana ditegaskan Paus Benediktus XVI terhadap konflik di Timur Tengah, solusi politik definitif tak pernah dapat dicapai dengan instrumen kekerasan.
Instrumen kekerasan tidak membawa perdamaian dan stabilitas, melainkan kematian prematur dan kebencian. Kerusakan material, terutama kerusakan humanitas, adalah fakta telanjang bahwa tatanan dunia baru dan perdamaian tidak dapat dibangun melalui instrumen kekerasan. Kekerasan hanya memproduksi tatanan dunia yang chaos.
Jaringan terorisme mengusung jargon jihad global melawan sekularisasi Barat. Di depan publik mereka menyatakan, aksinya lebih memiliki fondasi religius- etik daripada politik. Wajah kemanusiaan korban yang rusak membongkar topeng pelaku barbaritas kekerasan itu. Alih-alih merepresentasikan wajah radikal dunia Islam, pelaku barbaritas kekerasan itu justru menampilkan wajah radikal anti-Islam. Tatanan dunia baru tidak dapat dikonstruksi dengan menciptakan chaos dan destruksi humanitas.
Anamnesis sejarah
Tragedi 9/11 dikenang tidak dengan kepala tengadah ke langit, tetapi dengan kepala tertunduk ke tanah. Masyarakat Amerika bergumul melawan amnesia sejarah. Anamnesis tragedi kemanusiaan itu dalam ingatan sosial adalah perlawanan aktif terhadap barbaritas kekerasan. Kebijakan politik luar negeri yang ingin menciptakan perdamaian di zona-zona konflik dunia melalui instrumen kekerasan semakin mendapat kritik keras.
Seruan penghentian penggunaan instrumen kekerasan ini bergema sangat kuat pasca-ancaman terorisme di ruang-ruang publik internasional beberapa waktu terakhir. Masyarakat Amerika tak menghendaki tragedi kemanusiaan itu terulang kembali. Api barbaritas kekerasan harus dipadamkan, sedangkan lilin perdamaian harus dinyalakan.
Humanitas tak bisa dibangun di atas fondasi inhumanitas. Secara tautologis, humanitas hanya dapat dibangun di atas fondasi humanitas. Barbaritas kekerasan tak hanya merusak kemanusiaan korbannya, tetapi juga kemanusiaan pelakunya. Peringatan tragedi 9/11 adalah undangan bagi masyarakat Amerika untuk mengubah citra mereka dari penyuplai kekerasan menjadi promotor perdamaian dunia.
Sumber dokumentasi:
No comments:
Post a Comment