Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Wednesday, August 8, 2007

Solidaritas Profetik

Solidaritas Profetik

Dalam opini "Mari Miskin Bersama" (Kompas, 2/10/2003), Radhar Panca Dahana mengugat perilaku korup elite negara kita yang sudah dalam proporsi memuakkan. Elite negara kita sungguh menutup mata terhadap realitas kemiskinan dalam masyarakat bawah. Pada saat yang sama, ia melihat gerakan moral di kalangan masyarakat bawah untuk hidup cukup sesuai dengan kebutuhan hidup.

Pertanyaan penulis tentang bagaimana mengembalikan kemakmuran yang kita miliki kepada publik mengungkapkan kegelisahan penulis terhadap fenomena amnesia terhadap orang miskin dan meredupnya tanggung jawab sosial elite negara kita. Pada satu sisi, terjadi irupsi masyarakat karena kemiskinan yang menuntut tanggung jawab kita bersama untuk memeranginya. Pada sisi lain, terdapat tendensi pelupaan terhadap orang miskin dan meredupnya tanggung jawab sosial kita.
Gerakan moral dengan cara hidup sesuai dengan kebutuhan untuk mentransformasikan perilaku elite negara kita yang korup itu memang merupakan a necessary condition, tetapi belum merupakan a sufficient condition untuk menghentikan perilaku korup elite negara kita. Lagi pula, elite negara kita hanya salah satu pelaku yang menghancurkan manajemen hidup bersama kita, terutama hidup orang miskin. Akar kemiskinan itu ketidakadilan struktural. Yang kita butuhkan adalah suatu konstruksi masyarakat baru yang tidak melupakan orang miskin. Tulisan ini hendak mengajukan gagasan solidaritas profetik sebagai protes terhadap skandal kemiskinan dan praksis solidaritas dengan orang miskin demi pembebasan mereka.
Irupsi orang miskin
Orang miskin menjadi tanda zaman par excellence bagi bangsa kita. Kemiskinan memanggil kita untuk membebaskan orang miskin dari penderitaan mereka. Problemnya, kita cenderung mengabaikan, menutupi, lamban berhadapan dengan realitas primer ini. Akibatnya, kebenaran tentang realitas orang miskin tidak menjadi kesadaran personal atau kolektif kita. Bangsa kita masih melihat realitas kemiskinan sekadar sebagai catatan kaki. Sebab kemiskinan bukan produk dari masyarakat yang sehat. Kemiskinan itu kotoran masyarakat yang sedang menderita sakit, kasus-kasus penggusuran paksa di daerah-daerah kumuh memperlihatkan secara terang bagaimana hidup orang miskin semakin digeser ke periferi dan secara sengaja ditinggalkan melalui tindakan kekerasan.
Faktanya, koeksistensi dengan realitas kemiskinan sebagai skandal kemanusiaan tidak otomatis menjelmakan komitmen untuk melakukan protes atasnya. Dialog kehidupan kita dengan masyarakat korban belum menumbuhkan praksis liberatif dengan orientasi mengatasi penderitaan mereka. Singkatnya, selama ini kita gagal mengalamatkan problem the suffering other. Lebih buruk, kita sering kali membiarkan hidup orang miskin dilucuti kemanusiaannya.
Jon Sobrino dalam Christ the Liberator: A View from the Victims (2001) melihat bahwa zaman kita sekarang ini ditandai dengan pelucutan terhadap hidup orang miskin. Kemiskinan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang para pelakunya belum pernah diajukan ke pengadilan. Mempertahankan hidup dari ancaman kematian merupakan problem terbesar bagi orang miskin. Kemiskinan itu terutama bersangkutpaut dengan hilangnya martabat manusia.
Pada level manusiawi, kemiskinan merupakan instrumen kematian. Yang dipertaruhkan dengan kemiskinan adalah kehidupan itu sendiri. Pada level sosial, kemiskinan merupakan nulifikasi manusia dan solidaritas manusia. Pada level etis, kemiskinan merupakan kejahatan moral terbesar. Kemiskinan mengekspresikan kedosaan fundamental dunia ini, yaitu penghancuran kehidupan. Akhirnya, pada level teologis kemiskinan mengajukan pertanyaan fundamental tentang Tuhan.
Akar kemiskinan adalah ketidakadilan struktural. Orang miskin adalah korban ketidakadilan struktural. Manajemen rumah (oiko-nomia) yang salah dari negara kita terus-menerus memproduksi orang miskin. Negara bukan leviathan tunggal yang bertanggung jawab terhadap kemiskinan. Para pelaku ekonomi di bawah payung globalisasi menjadi leviathan baru yang melanggar hak hidup orang miskin. Mereka mengusung ideologi darwinisme sosial yang menyingkirkan orang miskin tanpa mengenal ampun dan tidak peduli pada bonum commune seluruh umat manusia. Dua perkembangan mengerikan yang dibawa globalisasi dan liberalisasi ekonomi adalah amnesia of the poor dan eclipse of social consciousness and responsibility.
Solidaritas profetik
Penyingkapan fakta kemiskinan membuka mata kita untuk dapat mengenali wajah kemanusiaan yang sesungguhnya. Problem kemiskinan menyeberangi batas kemanusiaan dan agama. Sebab kemiskinan merupakan skandal humanisasi-religius. Jika menolak pengalaman ini dan menolak tantangan darinya, kita akan menjadi tidak humanis-religius. Agama bahkan dapat kehilangan relevansinya, jika bukan validitasnya. Bagaimana berbagi bentuk keterlibatan dengan yang lain memfasilitasi dan menggerakkan kita untuk menantang sistem oiko-nomia yang tidak adil dan menciptakan transformasi sosial alternatif yang lebih manusiawi?
Karena kemiskinan merupakan skandal humanisasi dan religius, kita harus melakukan protes atasnya. Di hadapan elite negara dan pelaku ekonomi global yang self-seeking dalam mengelola negara, kita melakukan protes dengan mengarahkan jari kita pada penderitaan, ketidakadilan orang miskin.
Protes itu mengambil bentuk solidaritas dengan mereka yang miskin. Kita tidak hanya menunjuk fakta orang miskin dari luar, namun mengekspresikannya dalam diri kita. Kita menjadi simbol riil kaum miskin. Baik penyingkapan realitas orang miskin maupun solidaritas dengan mereka semua berorientasi pada praksis liberatif. Solidaritas kita dengan orang miskin memediasikan pembebasan orang miskin. Oleh karena itu, solidaritas dengan orang miskin melahirkan suatu komunitas praksis liberatif.
Menurut Jon Sobrino, akar solidaritas itu riil dan efektif dalam sejarah. Kaum miskin secara memadai menerangi kemanusiaan kita. Kondisi de facto kemiskinan tidak hanya menuntut penilaian teoretis, melainkan juga praksis liberatif. Penyingkapan realitas obyektif kaum miskin sejatinya mempertanyakan dan mendesak hidup moral dan religius kita. Akar solidaritas hendaknya ditemukan dalam motivasi yang membangkitkan tanggung jawab bersama kita. Harapan kaum miskin adalah keadilan, bukan sekadar dapat bertahan hidup. Komunitas korban (the crucified people) menjadi tanda zaman utama yang memanggil kita untuk menurunkan mereka dari salib.
Mengingat orang miskin
Harapan kemanusiaan bangsa pada masa depan tergantung dari keseriusan menanggapi agenda kaum miskin pada masa sekarang. Masa depan kemanusiaan bangsa tergantung dari terciptanya konstruksi masyarakat baru untuk dan bersama orang miskin. Menyitir Gustavo Gutierrez, teologi dengan solidaritas profetiknya tidak mengklaim mampu mengajukan solusi teknis terhadap problem kemiskinan. Namun, solidaritas profetik mengajak kita untuk mengingat, tidak melupakan orang miskin. Kita mempertaruhkan nama Tuhan ketika menanggapi problem kemanusiaan religius ini.

No comments: