



Mei mendatang kita memasuki tahun ke-10 peringatan tragedi kemanusiaan 1998. Ziarah menuntut keadilan hukum seringkali sangat melelahkan tak hanya bagi paguyuban keluarga korban, tetapi juga bagi para relawan pendamping. Bahkan, sebagian memutuskan untuk tidak melanjutkannya. Paguyuban keluarga korban barangkali sekarang menjadi subyek tunggal yang meneruskan ziarah suci itu.
Negara sampai titik ini berhasil menciptakan fiksi kepada masyarakat mengenai peristiwa ini. Kata "kerusuhan,", "penjarah," "cina,"perkosaan massal" telah mengalami stigma. Korban sekarang justru dikejar untuk mempertanggungjawabkan kesaksian mereka mengenai "kekerasan negara," "korban dibakar,"korban diskriminasi,"Clara." Identitas pelaku kekerasan negara semakin tersamar, dan bahkan menghilang dari panggung. Waktu di Indonesia itu kejam terhadap ingatan.
Saya menawarkan sebuah proyek menulis pengalaman korban dari sudut pandang relawan yang pernah (dan masih) terlibat dengan hidup korban dalam tragedi Mei. Saya mengusulkan ide yang senada untuk para pendamping tragedi kemanusiaan Mei 1998.
Proyek penulisan ini merupakan resistensi aktif terhadap pelupaan sosial. Dengan kata lain, kita berharap tulisan-tulisan ini akan membantu kita mengkonstruksi ingatan sosial terhadap tragedi kemanusiaan di negeri ini.Bentuk tulisan dapat mengambil bentuk diary, puisi, tulisan akademik, dan bahkan doa. Kalau kita masih peduli dengan kemanusiaan di negara Indonesia, silakan ambil pena Anda sekarang juga. Forum ini telah terbuka untuk menerima tulisan-tulisan Anda.
Sumber Dokumentasi: Tim Relawan untuk Kemanusiaan
1 comment:
kakak ipar saya mengalami gangguan syaraf pada matanya sesudah peristiwa Mei 1998. Itu terjadi karena ia mengalami ketakutan dan trauma luar biasa terhadap peristiwa itu.
Post a Comment