Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Thursday, September 20, 2007

Berpaling pada Wajah Korban (1)


Clara: Jangan Panggil Aku Cina!

Brotherhood without filiation can end up in atheism;
but filiation without brotherhood can end up in mere theism.
Jon Sobrino

Siapa Aku? Dimana Aku berada sekarang ini? Namaku Clara. Aku seorang perempuan Indonesia beretnis Cina yang menjadi korban perkosaan massal dalam tragedi Mei 1998. Para pelaku kekerasan seksual itu melemparkan kedua saudariku, Monika dan Sinta, ke dalam api setelah mereka memperkosanya. Mama juga menjadi korban perkosaan massal. Ia akhirnya mengakhiri hidup dengan melompat dari lantai empat. Dalam short message service terakhir, papa nampaknya akan mengikuti jejak mama. Ia tak tahu apakah hidupnya masih berarti setelah tragedi kemanusiaan ini. Rasanya papa ingin mati saja.

(Cuplikan dari cerpen Clara oleh Seno Gumira Ajidarma)

Clara bicara dengan kalimat terputus-putus dan berjeda panjang. Kata-katanya terdengar sangat lirih dan ia kesulitan untuk menata sendiri kata-katanya. Penderitaan sedemikian dalam. Ia lebih berucap dengan keheningan daripada dengan abjad. Ia sulit menata kata-katanya yang berserakan karena penderitaannya sedemikian dalam.
Setiap kali ia hendak membuka bibirnya untuk bicara, pada saat yang sama ia mendengar umpatan kasar yang dialamatkan padanya dan pada saudara-saudari beretnis Cina. Mereka memanggilnya Anjing! "Kamu Asu, Cina!"Umpatan itu hampir terucap bersamaan dengan pendarasan kata-kata suci "Allahu Akbar."
Kata-kata umpatan dalam tragedi kemanusiaan Mei 1998 itu membawa ingatanku kembali pada peristiwa senada yang terjadi di Muara Angke dan Kudus. Kata umpatan itu juga mengundangku untuk membaca kembali teks Kitab Suci yang menyebut mereka yang lain (the other) sebagai anjing. Diskriminasi rasial dalam tragedi Mei pertama-tama dan terutama politis, namun sekaligus teologis. Mereka yang melakukan konser kekerasan itu ingin menggambarkan Allah diskriminasi rasial yang memberikan justifikasi barbaritas kekerasan terhadap masyarakat Indonesia beretnis Cina dan korban lain yang tak bersalah.
Tulisan ini menawarkan jawaban teologis terhadap pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang diajukan perempuan Cina Indonesia yang diwakilkan oleh Clara: Siapa Aku? Dimana Aku berada sekarang ini? Saya berfokus pada tiga tragedi sejarah yang terkenal dengan peristiwa Muara Angke 1740, Kudus 1918, dan tragedi Mei 1998, yang menyebabkan kematian prematur terhadap masyarakat Indonesia beretnis Cina dan kelompok-kelompok lain. Tragedi-tragedi ini mewakili tiga motif yang berbeda, namun saling terkait, yang menyulut kekerasan anti-Cina dalam sejarah Indonesia. Tragedi Muara Angke 1740 menjadi titik klimaks dari kekerasan anti-Cina dalam masa kolonial. Pemerintah kolonial Belanda menciptakan suatu stereotipe politik terhadap masyarakat Cina di Batavia sebagai ancaman (the threatening Other). Mereka melakukan konser pembantian pada tahun 1740 untuk mengembalikan stabilitas politik. Masyarakt pribumi Muslim menyerang parade Cina dalam tragedi Kudus 1918 karena parade itu mencemarkan simbol-simbol religius Islam. Tragedi Mei 1998 menjadi titik puncak tehradap kekerasan anti-Cina dalam sejarah Indonesia masa kini.
Titik berangkat tulisan saya adalah kesaksian masyarakat Indonesia beretnis Cina yang menjadi korban diskriminasi rasial. Dengan berfokus pada kelompok ini, saya tidak pernah bermaksud mengesampingkan kelompok-kelompok sosial lain yang juga menjadi korban dalam tragedi-tragedi kemanusiaan ini. Refleksi sejarah berlanjut dengan refleksi teologis dengan menjawab dua pertanyaan theologis:
Siapa Allah? Dimana Allah berada sekarang ini? Pertanyaan-pertanyaa ini membawa saya untuk mencitrakan Allah kembali dan mendekonstruksi berhala rasisme (the idol of racism) yang diciptakan dan disembah oleh rezim kolonial dan terus-menerus didupai dengan ritual korban manusia oleh rezim Orde Baru (1966-1998.
Saya berfokus pada citra-citra Allah yang dijumpai oleh mereka yang selamat dari tragedi-tragedi kemanusiaan itu dan menempatkan citra-citra Allah itu dalam percakapan dialogis dengan citra-citra Allah dalam teks KS kristiani (bersambung).

3 comments:

Andrew said...

Manusia Tanpa Kebangsaan

Aku lahir di negeri ini
Aku dididik dan dibesarkan sesuai dengan kebudayaan bangsa ini
Aku tidak memiliki nama dengan tiga suku kata
Aku tidak dapat membaca ataupun berbicara bahasa nenek moyangku
Seluruh adat istiadat dan kebudayaan dari negeri nenek moyangku....dibunuh
Sungguh...hanya inilah satu-satunya negeri yang aku ketahui.

Namun karena kehendak adi-kodrati Yang Mahakuasa
Aku sedikit berbeda dengan mayoritas bangsa ini
Kulitku kuning
Mataku sipit

Karena perbedaan itulah
Seringkali aku dimaki dan disuruh kembali ke negeri yang aku sendiri tidak mengenal
Kartu Tanda Penduduk-ku pun dibedakan
Aku meraih prestasi setinggi-tingginya tetapi
Hampir mustahil aku dapat menuntut ilmu di perguruan tinggi negeri
Hampir mustahil aku mendapat kesempatan yang sama dan adil di dalam segala hal
Aku dibedakan, seringkali diejek, dihina, dicemooh bahkan dianiaya

Siapakah aku ini?
Di manakah sebenarnya tempat yang dapat aku katakan dengan bangga sebagai rumahku? bangsaku? tanah airku?

Mutiara Andalas said...

andrew terima kasih ya. Saat menulis ini, ada banyak sahabat seperti kamu dalam ingatan saya. Sekali lagi terima kasih atas refleksi mendalamnya.

Anonymous said...

Yang saya sesalkan, setiap berapa decade pasti kejadian ini selalu terjadi…I was really nationalistic and I was very proud be Indonesian before all of these were happening. Setiap kali orang2 dari angkatan tua menceritakan kejadian tahun 65 dan kerusuhan2 sebelumnya yang terjadi dan mengorbankan bangsa Chinese di iNdoensia saya selalu membantan dan give assurance, they have changed and the government has changed..apparently NOT
Sebelum kejadian ini saya benar2 membela Indonesia habis2an..saya bangga sekali..


After kejadian May 98, saya baru sadar selama ini kami angkatan2 baru telah di brainwashed…dan kami semua dikhianati dengan kejadian tahun 98.
No wonder, orang2 dari angkatan lama selalu meragukan sikap pemerintah Indonesia ..mrk selalu yakin setiap saat selalu timbul lagi kerusuhan2 yang bersifat racism.

I am very disappointed with Indonesia and sometimes malu utk mengakui saya dari Indonesia ..I never want to say I am Indonesian anymore..I will say I was born there..but I am not Indonesia ..since they never accept us as one of them anyway. SEmua dibeda2kan..I am fourth generation in Indonesia ..basically I am Indonesian..but they never accept us..they always discriminate us..so why bother ?