Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Tuesday, September 18, 2007

Berteologi dari Rahim Kalvari (1)



Entah Allah itu ada atau tiada,
kita bergumul dengan keberadaan illah kematian.
(Jon Sobrino)

26 Desember 2004. Aceh. Ia menjadi kota sunyi. Kemana mata memandang, kita seakan hanya melihat tubuh-tubuh yang berserakan di pertiwi Aceh. Serambi Mekkah telah berubah menjadi kuburan massal. Kematian, luka, dan pengungsian masyarakat Aceh mengundang saya dengan pertanyaan awal, "Dimana Allah selama tragedi Tsunami?" dari perspektif teologi kristiani. Seperti dua orang murid yang sedang dalam perjalanan dari Yerusalem ke Emmaus setelah peristiwa penyaliban Yesus, saya diundang untuk mengikuti cara bertindak Yesus. Yesus hadir sebagai teman seperjalanan bersama mereka dan tidak terburu-buru untuk memotong pembicaraan kedua murid yang sedang berduka itu. Ia mendengarkan kisah mereka dan berbicara dengan bahasa mereka.
Mereka yang selamat dari tragedi Tsunami mengundang saya yang tidak mengalami Tsunami untuk berdoa bersama mereka untuk para korban. Tempat pemakaman umum, rumah sakit, masjid, dan barak pengungsian menjadi Kalvari, lokasi dimana Allah nampak absen dan bungkam. Mereka mengundang kami, para teolog, untuk memulai refleksi teologi mengenai penderitaan mereka dari tempat dan waktu istimewa ini. Tak terhitung diskursus teologi yang berspekulasi dengan pertanyaan apakah Allah bertanggung jawab langsung terhadap tragedi Tsunami atau apakah Allah hadir di tengah-tengah tragedi itu. Aceh, yang porak poranda setelah Tsunami, menjadi tempat bagi masyarakat Aceh untuk berseru kepada kepada Allah, "Lai lahail-lallah."
(bersambung)

2 comments:

Jennie S. Bev said...

Crucifix is a symbol, a reminder of our mortality. It is not a justification of spiritualizing suffering. It is not a mindset and should never be used as a mindset.

It should keep us balanced within, to seek deep into the innermost and acknowledge that we are not immortal and that suffering will always come and go. It is our choice to keep staring at the crucifix or to look at the bright sky above.

Jennie

Mutiara Andalas said...

thanks Jennie. That's what I have found when I encounter the suffering people. They continue their lives bravely despite all terrors, difficulties, and tears.