Perjumpaan tak langsung dengan para korban yang selamat dari tragedi Tsunami mengundang kita untuk tidak melakukan tindak mutilasi terhadap penderitaan mereka dalam berteologi. Para korban yang selamat membantu kami untuk mengubah pertanyaan awal, "Dimana Allah selama Tsunami?" menjadi "Dimana kemanusiaan dalam teologi Kristiani selama Tsunami?" Jawaban-jawaban teologis siap saji terhadap pertanyaan pertama jatuh menjadi pengkambinghitaman korban atau pemberhalaan Allah. Pertanyaan kedua menggugat para teolog Kristiani untuk rendah hati bahwa kita selama ini menanggapi persolan eksistensial yang menyangkut kehidupan dan kematian masyarakat Aceh secara kurang bahkan tidak empatik. Para teolog Kristiani yang tidak berteologi dari tengah-tengah lokasi penderitaan gagal mengajukan kata atau citra yang menyapa tentang Allah, yang membawa keselamatan kepada korban yang tak bersalah ini. Aceh juga menjadi Tanoh Meutuah, tanah berkat, karena tempat ini menyingkap dan menyembuhkan krisis teologi Indonesia.
Masyarakat Aceh mengundang kita untuk berteologi dari rahim penderitaan. Kita harus berinkarnasi dalam realitas Tsunami agar realitas korban menjadi realitas kita juga. Masyarakat Aceh menggugat pernyataan-pernyataan teologis yang disusun secara sangat gegabah dengan mengabaikan realitas Tsunami. Kita cenderung menciptakan citra Allah sebagai Hakim Agung yang menjatuhkan palu pengadilan terhadap kejahatan besar masyarakat Aceh sebagai terdakwa. Banyak umat beriman bersikukuh dengan keyakinan mereka bahwa Allah mengirim Tsunami sebagai hukuman final bagi para korban yang meninggal dunia dan peringatan berat kepada mereka yang selamat. Pidana dan peringatan illahi itu memaksa masyarakat Aceh untuk kembali kepada jalan Allah. Menurut saya, imaginasi teologis yang mencitrakan Allah kematian membunuh korban Tsunami dua kali. Tsunami telah menciptakan kematian massal terhadap korban secara fisik, dan teologi sekali lagi melakukan pembantaian massal secara verbal.
Kita perlu melakukan revisi teologi besar-besaran agar teologi dapat keluar dari krisis ini. Krisis teologi yang ada tak dapat disembuhkan dengan revisi verbal. Kita membutuhkan fondasi teologis baru. Sebagaimana dituturkan oleh Edward Schillebeeckx, bahasa atau imaginasi teologis mengalami pelucutan intelektualitas ketika ia kehilangan referensi pada realitas historis. Bahasa atau imaginasi teologis seringkali berkubang dengan mengenai Allah, tetapi tidak bergumul dengan pertanyaan kemanusiaan. Kita tidak dapat menggumuli problem penderitaan dan pada saat sama mengabaikan realitas korban yang mengalami penderitaan, dan bersikukuh dengan citra-citra palsu Allah yang memojokkan, dan bahkan menyingkirkan hidup korban (bersambung)
Masyarakat Aceh mengundang kita untuk berteologi dari rahim penderitaan. Kita harus berinkarnasi dalam realitas Tsunami agar realitas korban menjadi realitas kita juga. Masyarakat Aceh menggugat pernyataan-pernyataan teologis yang disusun secara sangat gegabah dengan mengabaikan realitas Tsunami. Kita cenderung menciptakan citra Allah sebagai Hakim Agung yang menjatuhkan palu pengadilan terhadap kejahatan besar masyarakat Aceh sebagai terdakwa. Banyak umat beriman bersikukuh dengan keyakinan mereka bahwa Allah mengirim Tsunami sebagai hukuman final bagi para korban yang meninggal dunia dan peringatan berat kepada mereka yang selamat. Pidana dan peringatan illahi itu memaksa masyarakat Aceh untuk kembali kepada jalan Allah. Menurut saya, imaginasi teologis yang mencitrakan Allah kematian membunuh korban Tsunami dua kali. Tsunami telah menciptakan kematian massal terhadap korban secara fisik, dan teologi sekali lagi melakukan pembantaian massal secara verbal.
Kita perlu melakukan revisi teologi besar-besaran agar teologi dapat keluar dari krisis ini. Krisis teologi yang ada tak dapat disembuhkan dengan revisi verbal. Kita membutuhkan fondasi teologis baru. Sebagaimana dituturkan oleh Edward Schillebeeckx, bahasa atau imaginasi teologis mengalami pelucutan intelektualitas ketika ia kehilangan referensi pada realitas historis. Bahasa atau imaginasi teologis seringkali berkubang dengan mengenai Allah, tetapi tidak bergumul dengan pertanyaan kemanusiaan. Kita tidak dapat menggumuli problem penderitaan dan pada saat sama mengabaikan realitas korban yang mengalami penderitaan, dan bersikukuh dengan citra-citra palsu Allah yang memojokkan, dan bahkan menyingkirkan hidup korban (bersambung)
No comments:
Post a Comment