
Sapaan untuk Berteologi Narasi
Sastrawan-wati juga berpeluh keringat dan air mata dengan tragedi Tsunami dan menuliskan ratusan, bahkan ribuan, karya sastra yang mengisahkan pergumulan mereka yang menjadi korban tragedi itu. Mereka menulis surat belasungkawa untuk menghibur para korban dan menjadi teman seperjalanan mereka dalam ziarah kepada Allah. Mereka mencatat dialog intim korban yang selamat dengan Allah yang berlangsung di masjid sebagaimana yang terjadi di pemakaman dan tenda pengungsian. Masyarakat Aceh tidak berdialog dengan Allah sebagai terdakwa bersalah. Demikian pula Allah tidak memasuki ruang dialog sebagai Hakim Agung. Para korban yang selamat membawa semua dakwaan moral dan teologis kepada Allah. Semua dakwaan teologis yang tidak mengandung kebenaran yang menyelamatkan tak berasal dari Allah. Allah datang kepada umat Aceh bukan sebagai illah kematian, melainkan Allah kehidupan. Harus diakui pula bahwa terdapat karya sastra yang membangkitkan tokoh Eliphaz, Bildad, Zophar, dan Elihu dalm Kitab Ayub yang datang untuk mengajukan dakwaan berat kepada Ayub secara baru di Aceh. Mereka juga menampilkan Nuh sebagai model orang benar dihadapan Allah.
Teologi dan sastra berjumpa untuk menanggapi persoalan kemanusiaan dan Allah. Perjumpaan ini menyadarkan teolog dan sastrawan/wati akan perjumpaan dua disiplin ilmu ini dalam periode-periode sebelumnya. Marianne Katopppo, seorang sastrawati dan teolog perempuan, menggunakan sastra, terutama kisah perempuan, sebagai sumber penting dalam berteologi Indonesia. Katoppo ingin membangun suatu teologi yang berakar di tanah Indonesia dan dalam tradisi kristiani. Sastrawan/wati Indonesia lainnya, seperti W.S. Rendra, Pramoedya Ananta Toer, Goenawan Muhammad, Subagio Sastrowardoyo, Seno Gumira Ajidharma, Putu Wijaya, dan Putu Vivi Lestari, terus-menerus bergelut untuk menciptakan karya sastra yang menapak realitas Indonesia. Karya-karya sastra mereka bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial mengenai kehidupan dan kematian rakyat Indonesia, dan mereka seringkali memasuki pertanyaan-pertanyaan teologis (bersambung).
Sastrawan-wati juga berpeluh keringat dan air mata dengan tragedi Tsunami dan menuliskan ratusan, bahkan ribuan, karya sastra yang mengisahkan pergumulan mereka yang menjadi korban tragedi itu. Mereka menulis surat belasungkawa untuk menghibur para korban dan menjadi teman seperjalanan mereka dalam ziarah kepada Allah. Mereka mencatat dialog intim korban yang selamat dengan Allah yang berlangsung di masjid sebagaimana yang terjadi di pemakaman dan tenda pengungsian. Masyarakat Aceh tidak berdialog dengan Allah sebagai terdakwa bersalah. Demikian pula Allah tidak memasuki ruang dialog sebagai Hakim Agung. Para korban yang selamat membawa semua dakwaan moral dan teologis kepada Allah. Semua dakwaan teologis yang tidak mengandung kebenaran yang menyelamatkan tak berasal dari Allah. Allah datang kepada umat Aceh bukan sebagai illah kematian, melainkan Allah kehidupan. Harus diakui pula bahwa terdapat karya sastra yang membangkitkan tokoh Eliphaz, Bildad, Zophar, dan Elihu dalm Kitab Ayub yang datang untuk mengajukan dakwaan berat kepada Ayub secara baru di Aceh. Mereka juga menampilkan Nuh sebagai model orang benar dihadapan Allah.
Teologi dan sastra berjumpa untuk menanggapi persoalan kemanusiaan dan Allah. Perjumpaan ini menyadarkan teolog dan sastrawan/wati akan perjumpaan dua disiplin ilmu ini dalam periode-periode sebelumnya. Marianne Katopppo, seorang sastrawati dan teolog perempuan, menggunakan sastra, terutama kisah perempuan, sebagai sumber penting dalam berteologi Indonesia. Katoppo ingin membangun suatu teologi yang berakar di tanah Indonesia dan dalam tradisi kristiani. Sastrawan/wati Indonesia lainnya, seperti W.S. Rendra, Pramoedya Ananta Toer, Goenawan Muhammad, Subagio Sastrowardoyo, Seno Gumira Ajidharma, Putu Wijaya, dan Putu Vivi Lestari, terus-menerus bergelut untuk menciptakan karya sastra yang menapak realitas Indonesia. Karya-karya sastra mereka bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial mengenai kehidupan dan kematian rakyat Indonesia, dan mereka seringkali memasuki pertanyaan-pertanyaan teologis (bersambung).
No comments:
Post a Comment