
Karangan ini semula hendak mengeksplorasi kemungkinan dialog antara sastra dan teologi di Indonesia. Sebagai seorang mahasiswa teologi, saya merasa bahwa teologi di Indonesia sedang memasuki masa kemarau atau masa paceklik panjang. Sebaliknya, saya melihat bahwa sastra justru sedang mengalami masa panen raya dalam kaitan dengan persoalan-persolan kemanusiaan. Masa subur sastra Indonesia itu mendorong saya untuk merencanakan sebuah dialog akademik antara sastra dan teologi. Dialog itu terjadi, namun persoalan-persolan kemanusiaan besar di Indonesia beberapa tahun terakhir ini, membawa kembali dialog itu untuk tidak terjadi di luar konteks Indonesia. Pada kesempatan kali ini, saya hanya mengambil dua peristiwa kemanusiaan, yaitu kekerasan negara dalam tragedi Mei 1998 dan tragedi Tsunami 2004.
Perjumpaan saya dengan sastra masih sangat balita. Kecintaan saya pada sastra mulai tumbuh ketika saya berkesempatan mengunjungi pusat-pusat diskusi, pameran, atau pementasan sastra selama saya menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma. Saya terpesona oleh kedekatan sastra dengan realitas indonesia, imaginasi sastra dalam mengkontemplasikan realitas, dan kebenaran yang terkandung dalam rahim sastra. Dalam dialog dengan sastra, saya seperti bangun dari tidur panjang. Realitas, imaginasi, dan kebenaran adalah pilar utama teologi yang sudah berkarat karena sering tak dipakai oleh para teolog.
Selalu ada bahaya bahwa istilah-istilah teologi menjadi berkarat. Karangan ini ditulis sebagai sebuah jawaban atas kritik yang dilontarkan publik terhadap teolog. Publik berharap bahwa teolog kontemporer Indonesia tidak sekedar melakukan "theological make up," tetapi sungguh berurusan dengan kemanusiaan Indonesia yang diberbagai tempat berdarah-darah. Paul Tillich, salah satu nabi besar dalam teologi sistematik, memberikan peringatan kepada teolog untuk masuk ke dalam realitas kehidupan. Tugas teolog bukan pertama-tama mencari kata-kata pengganti untuk konsep-konsep teologis, seperti dosa dan rahmat, yang terdengar ganjil di telinga publik dan semakin terdistorsi maknanya. Konsep-konsep klasik teologi berjalin erat dengan teks kehidupan. Konsep-konsep teologi yang ada itu barangkali ganjil, tetapi bukan berurusan dengan perkara ganjil.
Saya hendak berterima kasih kepada Choan Seng-Song, salah seorang penyair Allah terkemuka di Asia, yang senantiasa menerima saya untuk hadir di ruang seminar teologinya. Sewaktu di Indonesia, saya hanya sempat membaca tulisan-tulisannya yang menggetarkan itu. Saat berjumpa langsung dengan beliau, ia tak ingin saya menokohkan seorang atau beberapa teolog, melainkan mendorong saya untuk menemukan keunikan saya sebagai teolog Indonesia. Saya juga hendak berterima kasih kepada Boyung Lee, seorang teolog perempuan Korea, yang mendidik saya untuk belajar bahasa 'perempuan' dalam teologi. Ia mendidik kami untuk berteologi yang menyapa manusia.
Akhirnya, saya hendak berterima kasih kepada George Griener dan Howland Sanks yang menemani peziarahan teologis saya sehingga saya menemukan cahaya pada akhir.
Semoga teologi tak terjebak pada debat teodice, karena dihadapan kita terbentang berbagai tragedi kemanusiaan yang mencecerkan banyak darah. Semoga teolog sebagai penyair Allah senantiasa berada di lokasi-lokasi dimana kemanusiaan sedang dipertaruhkan kehidupannya.
Berkeley, 11 September 2007
Patrisius Mutiara Andalas
2 comments:
Cieh Mas Andy... :) Sok imut ni?
~ Jennie
iya... capek loh beginian terus... pegel
Post a Comment