
[A'a Sudah Menjadi Mayit adalah kisah pertama yang akan diangkat untuk mengingat kematian prematur korban yang meninggal dalam keadaan hangus bakar di Plaza Klender dalam tragedi kemanusiaan Mei 1998]
A'a Pulang Jadi Mayit
Namaku K, ibu kandung yang merajut hidup anakku M, yang tiba-tiba direnggut paksa dari hidupku dalam tragedi Mei 1998. Aku seorang buruh cuci yang mati-matian menyekolahkan anak-anakku. Sebelum kematian anakku bergulir sederhana dari rumah, tempat cuci, dan masjid. Maafkan aku kalau penuturanku menggunakan bahasa yang setiap hari kugunakan saat bicara dengan anak-anakku. Kematian putraku mendorong aku untuk naik ke sebuah panggung publik yang aku tak begitu fasih bahasanya. Aku tahu betul bahasa saat bicara dengan anak-anak atau suamiku. Perkenankan aku menggunakan bahasa yang sama untuk berkisah padamu. Meski peristiwa kematian anakku sudah berlangsung dalam hitungan tahun, namun air mata keibuanku selalu menyertai setiap kali mengisahkannya.
Anak laki-laki tertuaku membuatku kagak habis pikir hari-hari belakangan ini. Ia tiba-tiba pengen tidak melanjutkan sekolah. Katanya, ia pengen kerja biar bisa bantu aku menyekolahin adik-adiknya. Ia peduli dengan penderitaanku. Di rumah ia biasa momong adiknya yang kecil saat aku pergi kerja sebagai buruh cuci dari jam 1 siang hingga jam 5 sore. Ia biasanya ngajak main adiknya ke rumah saudara sama temennya sambil main gitar atau nonton teve di rumah mereka.Ia sudah mandiin adiknya saat aku pulang. Ia juga biasa rapiin rumah.
Pukul tiga kurang seperempat, anakku pamit mau pergi mancing dan main catur. Aku menunggu ia pulang hingga sore tiba. Ia juga belum pulang hingga magrib. Kecemasanku bertambah melihat anak laki-lakiku belum pulang juga setelah aku selesai mengaji di masjid. Setelah meletakkan kerudung dan surat Yassin aku mengajak anakku perempuan untuk mencari kakaknya. aku tidak memikirkan lagi lapar karena ingin segera menemukan anak laki-lakiku. Aku menemukan informasi singkat bahwa anakku bersama anak-anak lainnya naik mobil Hiba di Muara dan turun di Al Fallah.
Saat sampai di depan Yogya Plaza Klender, aku tak kuat lagi menahan tangis. Aku berseru, "Ya Allah, anakku kemana, anakku kemana, saya kemana, kemana perginya anakku?" Suasana mencekam. Aku melihat beberapa orang mengangkut beras. Aku mendengar suara ledakan seperti tabung gas. aku memegang erat-erat tangan anak perempuanku. Aku tak ingin anak perempuanku terlepas dari pegangan erat tanganku dalam situasi kacau malam itu.
Aku duduk di depan teras Yogya Plaza. Seseorang memberi aku minum sambil menghiburku, "Ibu, istiqfar. Siapa tahu anak ibu ada di rumah sakit, soalnya di rumah sakit belom ada identitas orang tua. Belom dikenalin” "Alhamdulilah, mudah-mudahan anakku ketemu di rumah sakit. Ia anak laki-laki satu-satunya," kataku.
Aku berkeliling dari Rumah Sakit Harum, Pondok Kopi, Harapan, dan Persahabatan dengan harapan menemukan anakku. Namun ia tak ada di situ.
Seorang teman mengajakku masuk ke Yogya Plaza. Baru naik ke lantai satu, saya sudah nggak tahan panasnya. Di lantai dua, aku melihat mayat-mayat yang sudah gosong seperti ayam panggang. Ada yang mau nganterin. Ada yang minjemin petromaks dan senter. Saya ada yang mo nganterin. Ada yang minjemin petromaks, ada yang minjemin senter, saya gak mau. Aku sampe pagi gak bakalan pulang kalau anak saya gak kembali. Malam itu saya mencari ke Yogya sampai pagi. Saya sekeluarga sampai pinjam baterei. Ya akhirnya, pas kejadian hari Kamis, itu hari anak saya… malem Jumat itu saya nyari ke Yogya sampe pagi. Ya hari Jumat itu dicari ke sana, ke supermarket Yogya sekeluarga. Sampe pada minjem batere, temen-temennya itu. Sabtu pagi ada tali kuning kepolisian sehingga kami tidak bisa mencari lagi di Yogya Plaza. Aku diminta mencari ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Sabtu sore jam setengah enam saya menemukan jenazah anakku.
ya Allaaahhh, anakku ditemukan udah seperti kayak panggang ayam. Aku mengetahuinya daricelan dalam dan baju yang tidak sampai hancur. Celana dalam anakku segedhe selampe, sudah keriput di atas kepala alat kelamin anakku. Saat pergi, ia mengenakan celana coklat, tengahnya putih, dan baju coklat. Aku masih ingat karena aku membelikan pakaian anakku.
Aku memangku anakku saat ia dimandikan lalu mendoakannya. Aku dan kakak iparku memangku jenazah anakku dari rumah sakit hingga rumah. Ia seperti bantal guling. Kepalanya di pangkuanku dan kakinya di pangkuan kakak ipar. Aku nggak sempat bawa kain untuk membungkus jenazah anakku. Saat sampai di rumah, anakku-anakku langsung menjerit dalam tangis melihat abang mereka sudah menjadi jenazah. “A’a pulang, a’a pulang. A’a pulang jadi mayit, a’a pulang jadi mayit”.
Setelah pemakaman, pikiranku sering jenuh. Makanya kalo ada yang ngajak bertemu dengan korban lain, pikiran terbuka.
Anakku dimakamin di TPU Pondok Kelapa. Jika pajaknya tidak dibayar selama tiga tahun, makam anakku ditumpangin, disingkirin. Soalnya pemakaman umum. Sampai sekarang waktu puasa aku nggak pergi ziarah karena nggak punya dana. Sampai sekarang ini aku belum nengok makam anakku. saya ditumpangin, disingkirin. Makanya sampe sekarang kalo seandainya anak saya kan di makam di Pondok Kelapa, TPU umum. Kalo seandainya tiga tahun gak ada perpajak, bayaran pajak, kemungkinan anak saya ditumpangin, disingkirin. Soalnya pemakaman umum. Kalo seandainya… ya sampe sekarang saya sih… sampe sekarang waktu puasa saya gak pergi ziarah, karena saya gak ada dana. Kalo ke sono ___ 5.000 ____ 10.000 untuk yang nunggu pemakaman itu, seenggak-enggaknya minta uang. Saya sampe sekarang. Sampe udah mau setahun, lebih setahun ya sampe sekarang saya gak nengokin. Sampe anak saya yang kecil itu “Mak, gak nengokin pemakaman a’a, mak?”. “Yah, mamak gak punya uang." Cuma saya jadi pikiran. Cuma saya kirim doa aja deh, biar sampe ke alam kubur. Begini, begini, saya bilang gitu. Ya adeknya ya pada manut, tau bapaknya begini. Ya itulah, emang kalo ada apa yang ngurusin saya sendiri. Ya bapaknya itu gak mau tau semenjak anaknya meninggal ini. Jadi kayak orang udah masa bodoh gitu. Makanya aku punya permohonan sama pemerintah sekarang. Aku minta provokatornya diungkap, tolonglah mereka ditemukan. Ini kan provokator begini jadi anakku meninggal korban kebakar kan gak bakalan kalo gak ada provokatornya ini.
Sumber Dokumentasi: Tim Relawan untuk Kemanusiaan; Sumber teks: Wawancara khusus dengan Ibu korban.
No comments:
Post a Comment