
sumber dokumentasi: www.minaigi.no/index2.php?id=420
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari proyek penulisan buku "Berpaling kepada Wajah Korban: dari Amnesia menuju Anamnesis." Pada bagian ini saya mengimajinasikan Rigoberta Menchu, aktivis kemanusiaan dari Quiche, Guatemala, menulis surat kepada korban 1998]
"AKU bukanlah pemilik kehidupanku sendiri. Hidupku kupersembahkan bagi perjuangan rakyatku. Para tentara dapat membunuhku setiap saat. Namun, saat itu haruslah ketika aku sedang bertugas. Di sanalah darahku akan tertumpah secara tidak sia-sia melainkan menjadi kesaksian bagi rakyatku."
Keluarga korban Mei-Semanggi,
Aku tak pernah berjumpa, namun kalian selalu dalam ingatanku. Namaku Rigoberta Menchu, seorang perempuan dari Quiche, sebuah surga di Guatemala. Aku perempuan dengan sekuntum bunga putih di laras senjata tentara. Aku hanya dapat menulis surat ini dalam bahasa Quiche. Seorang sahabat dengan sangat hati-hati menerjemahkan surat ini agar hati surat tidak hilang dalam terjemahan Indonesia. Aku menulis surat ini dari tempat pengungsianku. Aku berharap kalian berkenan menerima uluran tangan dari saudara perempuanmu,companera.
Sahabatku,
hidup kalian memberikan kesaksian tak hanya hidup kalian tetapi hidup orang lain. Banyak pengalaman penderitaan menghapus ingatan kita. Yang terjadi dengan kalian juga terjadi pada orang-oranglain. Kisahku adalah kisah semua orang miskin di Guatemala. Pengalaman personalku adalah realitas warga Guatemala.
Sahabatku,
aku perempuan dari Quiche yang setiap kali makan dengan roti jagung (tortillas) dengan sambal. Orang miskin sepertiku tak pernah mengenal masa kanak-kanak. Sejak bayi aku telah menjadi orang dewasa. Ibuku tak cukup punya waktu untuk menyusuiku. Aku mulai membantu kerja ibuku sebagai pemetik gandum dan kapas dengan tubuh mungilku. Aku lebih sadar mengenai kondisiku sebagai orang miskin ketika aku bekerja sebagai pembantu di sebuah rumah ladinos saat menginjak usia remaja. Statusku lebih rendah daripada anjing piaraan di rumahitu. Anjing majikanku mendapatkan makanan lebih baik daripada makananku. Wajah kemiskinan itu sangat kentara ketika aku menyaksikan adikku meregang nyawa karena malnutrisi. Sementara itu, anjing di rumah majikanku kegemukan karena kelebihan nutrisi.
Sahabatku,
Aku dalam waktu lumayan lama kurang simpati dengan para pemimpin agama. Mereka tak pernah berurusan dengan hidup orang miskin. Tuhan mereka berada di surga. Tangan mereka tak pernah menyentuh bulir gandum dan kapas. Aku juga kurang simpatik dengan para majikan ladinos. Kehadiranku di tengah-tengah mereka seperti mengotori mata mereka. Aku dipaksa berpakaian bersih seperti mereka agar majikanku tidak malu.
Sahabatku,
Entahlah sudah berapa lama masyarakat Guatemala terpisah karena kemiskinan. Bahkan diantara orang miskin pun terjadi perpecahan. Ladinos yang miskin tak pernah mau dikatakan miskin sama seperti kami orang Indian. Mereka merasa diri mereka mereka meski miskin, tetapi berbeda dari kami.
[bersambung]
2 comments:
Romo Andy,
Blognya impressive sekali. Dari yang bersifat sastra, filsafat, kemanusiaan, music, film sampai kekerasan negara ditemui di sini.
Siapa saja yang membacanya akan menambah wawasan.
Salut deh ...
Beni Bevly
http://www.overseasthinktankforindonesia.com/
makasih Beni mau berkunjung. Lagi cari format sebenarnya. Menunya masih 'kombinasi' alias gado-gado. Kapan-kapan diskusi lagi ya... biar saya bertambah wawasan juga...
Post a Comment