

7 Maret 2005. Sahabat saya, Agnes, melangsungkan tunangan. Max, asisten tak resmi di Campus Ministry Sanata Dharma, menawarkan diri untuk memboncengkan sepeda motor dari Jogja ke Salatiga. Max meski bukan Max Biaggi atau Valentino Rossi atau jago kebut sekarang Kevin Stoner, langsung tancap gas. Seolah ia tahu bahwa saya tak ingin terlambat datang ke acara sahabat saya itu. Kami malah sampai ke Salatiga terlalu cepat. Kami berhenti sebentar di sebuah angkringan kecil di Salatiga. Max selalu pengen ke tempat sangat sederhana setiap kali saya tawari jajan. Kesederhanaan. Kebahagiaan itu lahir dalam keseharian yang sederhana. Entah berapa nasi kucing dan lauk yang kami ambil sore itu.
Tidak seperti dugaan ketika di rumah, mencari rumah sahabat saya ternyata tak semudah yang diperkirakan. GPS (Global Positioning System) di Salatiga adalah tanya sana-sini. Beberapa kali tersesat. Keluar masuk jalan kecil kampung. Dapat bonus senyum dari para perempuan kampung. Mungkin heran liat dua orang bertubuh tinggi gedhe menuntun sepeda motor. Ah... akhirnya sampai juga.
Kami datang tepat waktu. Duduk di kursi luar bagian paling belakang. Hati saya berdebar-debar ingin melihat sahabat saya. Sudah berapa lama ya tidak berjumpa? Tempat saya duduk ternyata sangat strategis. Sahabat saya hari itu mengenakan pakaian istimewa. Hampir-hampir tak mengenalinya. Dulu waktu di Jakarta, saya lebih sering liat dia berkaos oblong dengan jeans biru. Di sampingnya duduk Nico, tunangan terkasih.
Max berkali-kali mengingatkan saya untuk tidak ketiduran dalam perjalanan pulang. Hari itu saya cuma balik sebentar dari kantor dan cuci muka langsung pergi. "Jangan sampai terlambat, ya Max." Pesan itu cukup buat Max. Pasti sahabat istimewa yang hendak saya kunjungi.
Dalam perjalanan pulang,kami kembali berhenti di sebuan angkringan di kota Klaten. Kami duduk lama di situ sambil mendengarkan para langganan itu ngobrol. "Terima kasih, Max, mau mengantarku. Sahabat saya dan tunangannya pasti sangat bahagia kita menyaksikan perayaan kasih itu."
Comment :
Wah itu sungguh – sungguh hadiah terindah yang aku peroleh malam itu.
Terimakasih ya mo, udah bersedia hadir dan memberi doa khusus buat kami berdua. Aduuuuhhhh terharuuuuu….ampe nyasar2 segala….trimakasih juga buat max yg mo ngebut
Agnes dan Nico
Tidak seperti dugaan ketika di rumah, mencari rumah sahabat saya ternyata tak semudah yang diperkirakan. GPS (Global Positioning System) di Salatiga adalah tanya sana-sini. Beberapa kali tersesat. Keluar masuk jalan kecil kampung. Dapat bonus senyum dari para perempuan kampung. Mungkin heran liat dua orang bertubuh tinggi gedhe menuntun sepeda motor. Ah... akhirnya sampai juga.
Kami datang tepat waktu. Duduk di kursi luar bagian paling belakang. Hati saya berdebar-debar ingin melihat sahabat saya. Sudah berapa lama ya tidak berjumpa? Tempat saya duduk ternyata sangat strategis. Sahabat saya hari itu mengenakan pakaian istimewa. Hampir-hampir tak mengenalinya. Dulu waktu di Jakarta, saya lebih sering liat dia berkaos oblong dengan jeans biru. Di sampingnya duduk Nico, tunangan terkasih.
Ada setetes air mata jatuh. Saya larut dalam kebahagiaan pertunangan sahabat saya itu.Kata saya dalam hati saat pulang.
Sahabat adalah kado dari kasih.
Max berkali-kali mengingatkan saya untuk tidak ketiduran dalam perjalanan pulang. Hari itu saya cuma balik sebentar dari kantor dan cuci muka langsung pergi. "Jangan sampai terlambat, ya Max." Pesan itu cukup buat Max. Pasti sahabat istimewa yang hendak saya kunjungi.
Dalam perjalanan pulang,kami kembali berhenti di sebuan angkringan di kota Klaten. Kami duduk lama di situ sambil mendengarkan para langganan itu ngobrol. "Terima kasih, Max, mau mengantarku. Sahabat saya dan tunangannya pasti sangat bahagia kita menyaksikan perayaan kasih itu."
Comment :
Wah itu sungguh – sungguh hadiah terindah yang aku peroleh malam itu.
Terimakasih ya mo, udah bersedia hadir dan memberi doa khusus buat kami berdua. Aduuuuhhhh terharuuuuu….ampe nyasar2 segala….trimakasih juga buat max yg mo ngebut
Agnes dan Nico
No comments:
Post a Comment