
Beberapa waktu yang lalu, saya akhirnya "chatting" dengan seorang sahabat yang sudah dua tahun tak jumpa. Namanya Anne Dompas. Pengalaman terakhir dengan dia adalah saat ia mentraktir saya soto Lamongan, sebuah kota di Jawa Timur, di ujung gang sebelum kita memasuki gang Kramat VI di Jakarta Pusat. Selalu menjadi pengalaman membahagiakan boleh menikmati hari-hari kita yang tak panjang ini di sisi sahabat-sahabat terbaik hidup kita.
Saat online, ia langsung menumpahkan semua "uneg-uneg" sebagai warga negara Indonesia. Saya merasa diberondong "messages." Saya cuman menjawab pendek, "I see.... I see... I see...." Saya pengen mendengarkan dia. Mungkin teman saya itu lama-lama sadar. "Capek dech, Romo. Saya nyerocos omong panjang lebar, eh Romo cuman reply I see aja."
Saat online, ia langsung menumpahkan semua "uneg-uneg" sebagai warga negara Indonesia. Saya merasa diberondong "messages." Saya cuman menjawab pendek, "I see.... I see... I see...." Saya pengen mendengarkan dia. Mungkin teman saya itu lama-lama sadar. "Capek dech, Romo. Saya nyerocos omong panjang lebar, eh Romo cuman reply I see aja."
Di balik kata-katanya yang bertumpuk-tumpuk itu tersimpan sebuah hidup yang terjepit di dunia yang berlari ini.Salah satu kualitas seorang sahabat menurut saya adalah memiliki telinga yang besar untuk mendengarkan. Sewaktu membalas "messages" dia, saya membayangkan raut mukanya. Saya kemudian tanya kalau-kalau ia punya foto dirinya. Saya mendapat link di Friendster. Saya menemukan sebuah foto yang mungkin mewakili arti hidup terjepit di dunia yang berlari. Mungkin itu potret wajah kita juga saat ini.
No comments:
Post a Comment