
.jpg)
Saya memulai pagi ini dengan tetesan air mata. Tadi malam, saya sempat chatting dengan Irma, adik dari Wawan yang menjadi korban kekerasan negara dalam peristiwa Semanggi 1998. Saya juga titip salam untuk Ibu Sumarsih dan Bapak Arif yang sedang bersiap-siap melakukan aksi diam dengan berpakaian dan berpayung hitam di depan istana negara.
Pagi ini, saya mendapatkan beberapa file foto tragedi Trisakti - tragedi kemanusiaan Mei dan Semanggi. Pelupuk mata saya basah oleh air mata. Terbentang wajah korban dan keluarga korban. Saya perhatian wajah mereka satu per satu. Setiap wajah membawa memotret peristiwa-peristiwa kemanusiaan itu. Saya berhenti lama pada potret nisan-nisan di makam Pondok Rangon, tempat sebagian besar korban Mei 1998, dikuburkan secara massal. Saya juga berhenti lama di nisan Wawan, sementara Pak Arif, Ibu Sumarsih, dan Irma yang memegang foto Wawan.
Hari Sabtu dan Minggu ini, 15 - 16 September 2007, saya diminta oleh beberapa aktivis kemanusiaan di Bay Area untuk berbicara mengenai kekerasan negara dalam peristiwa Mei - Semanggi 1998. Saya ingin membawa kembali para korban dan keluarga korban dalam ingatan sosial kita. Mereka adalah potret sejarah yang sering terlupakan dalam ingatan sejarah kita. Niat untuk mengenang para korban itu bersemi lagi saat saya membaca tulisan sahabat saya, Josie Susilo Hardiyanto, di harian KOMPAS yang meliput aksi diam Ibu Sumarsih dan kawan-kawan lain di istana negara RI.
Solidaritas mulai dengan kesediaan menjadi saksi bagi hidup korban yang mengalami kematian prematur.
No comments:
Post a Comment