[Hermeneutika Air Mata adalah bagian pertama dari proyek penulisan buku Berpaling kepada Wajah Korban: dari Amnesia menuju Anamesis.]
Jakarta, 20 September 2007.
Kepada Yth.
Bapak Susilo Bambang Yudhoyono
Presiden Republik Indonesia
Di Jakarta.
Dengan hormat,
Bersamaan dengan Aksi Diam yang ke-35, sebentuk aksi yang selalu kami (para korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia - HAM) lakukan di depan Istana Presiden, setiap Kamis sore pukul 16.00-17.00 tepat, perkenankanlah kami mengingatkan Bapak Presiden bahwa sewindu yang lalu, tepatnya pada 24 September 1999, pernah terjadi penembakan secara brutal oleh aparat bersenjata dengan peluru tajam terhadap mahasiswa dan warga masyarakat yang menimbulkan sejumlah korban tewas, yang kemudian dikenal dengan sebutan Tragedi Semanggi II. Sejumlah korban tewas tersebut adalah: Yan Yun Hap (Mahasiswa UI, ditembak ketika aksi unjuk rasa telah usai), Zainal Abidin, Teja Sukmana, M. Nuh Ichsan, Salim, Jumadi, Fadly, Deny Julian, Yusuf Rizal, Saidatul Fitria, dan Meyer Ardiansah.
Penembakan itu terjadi ketika mahasiswa dan masyarakat melakukan unjuk rasa menolak diberlakukannya UU PKB (Undang-Undang tentang Penanggulangan Keadaan Bahaya), sebuah UU yang disusun oleh Pemerintah (di bawah Presiden B.J. Habibie) dan DPR RI (yang keanggotaannya didominasi oleh orang-orang pro status-quo Orde Baru). UU tersebut ditolak oleh masyarakat karena memberi peluang kepada aparat bersenjata, yang cenderung dijadikan alat penguasa, untuk melakukan tindakan represif terhadap kegiatan-kegiatan masyarakat yang menghendaki terwujudnya demokrasi dan terbebaskannya kehidupan masyarakat dari genggaman penguasa otoriter.
Terhadap Tragedi Semanggi II ini, keluarga korban menuntut penyelesaian melalui Pengadilan HAM ad hoc. Namun, untuk menuju ke penyelesaian tersebut selalu ada upaya-upaya menghadangnya baik melalui tataran hukum maupun secara politis. Ambil contoh, ketika kami menuntut agar kasus Trisakti dan Semanggi I-II (TSS) dibawa ke Pengadilan HAM ad hoc dan mendapat dukungan yang cukup signifikan, maka digelarlah persidangan kasus Trisakti di Peradilan Militer untuk sekedar memperlihatkan bahwa kasus tersebut telah/sedang tertangani. Ketika kasus Semanggi II diangkat kembali dengan tuntutan agar diselesaikan melalui Pengadilan HAM ad hoc, maka digelarlah persidangan kasus Semanggi II dan diberitakan oleh media massa bahwa yang menjadi terdakwa adalah seorang anggota TNI, Praka Tuaputy dari Kostrad, selaku pelaku penembakan. Namun bagaimana kelanjutan persidangan tersebut dan apa hasilnya, walahu’alam. Beritanya sirna seiring dengan surutnya tuntutan publik.
Kasus Semanggi II, juga Kasus Trisakti dan Semanggi I, kini masih menggantung karena Kejaksaan Agung menolak menindaklanjuti hasil penelitian Komnas HAM yang menyatakan bahwa dalam kasus TSS terjadi pelanggaran HAM berat. Penolakan itu disertai alasan karena belum dibentuk Pengadilan HAM ad hoc melalui Keppres berdasarkan usulan DPR. Sementara itu, DPR tidak mau mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc kepada Presiden karena telah ada Rekomendasi DPR 9 Juli 2001 berupa laporan akhir Pansus DPR yang menyatakan bahwa peristiwa TSS bukan pelanggaran HAM berat. Pada 30 Juni 2005 Komisi III DPR merekomendasikan agar kasus TSS dibuka kembali, namun lagi-lagi kandas setelah Bamus (Badan Musyawarah) DPR tidak mau mengagendakannya dalam Rapat Pimpinan DPR. Rekomendasi Komisi III DPR tersebut hanya mendapat dukungan 3 fraksi di DPR yaitu Fraksi-PDIP, Fraksi PKB, dan Fraksi PAN.
Sampai sekarang, kasus TSS menjadi bola panas yang menggeliat di antara beberapa instansi yang mestinya berkompeten yaitu: Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan DPR. Karena saling lempar, maka kasus TSS kini tetap menggantung, pada hal kasus tersebut sangat mendesak untuk segera diselesaikan demi memberi rasa keadilan bagi keluarga korban. Oleh karenanya, sudah seharusnya Bapak Presiden tidak turut andil dalam menggantung kasus tersebut, melainkan
justru mendorong ke arah penyelesaian segera. Dan bila perlu, secepatnya menerbitkan Keppres tentang pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus termaksud. Siapa lagi dan kapan lagi kalau bukan Bapak Presiden, meskipun masa jabatan untuk periode ini tinggal beberapa bulan lagi. Sudah lama kami penuh harap, semoga Bapak Presiden mempunyai kepedulian terhadap penyelesaian kasus TSS ini.
Demikian, dan atas perhatian Bapak Presiden kami ucapkan banyak terima kasih.
Hormat kami,
atas nama Jaringan Solidaritas Korban dan Keluarga Korban
Suciwati, Sumarsih, Bedjo Untung
Bahasa Resistensi
Keheningan adalah ibu kata-kata. Keheningan itu hadir di depan Istana Negara setiap Kamis antara pukul 16.00 - 17.00. Suara paguyuban korban itu suci dan sekaligus subversif. Ia membela kehidupan korban yang meninggal secara prematur. Ia menggugat negara yang menghindar dari tanggung jawab sebagai pelaku kekerasan terhadap korban. Negara melakukan kejahatan mutilasi dengan membuang korban kekerasan dalam kotak sampah sejarah Indonesia.
Hermeneutika air mata menjadi bahasa resistensi paguyuban keluarga korban terhadap amnesia. Paguyuban korban menuliskan daftar nama korban. Setiap nama memiliki nafas kehidupan. Mereka mengundang kita masuk dalam semesta para korban. Mereka menyadari bahwa negara hendak memaku makna terhadap perisiwa kekerasan yang diciptakannya. Negara mengeluarkan sabda final yang mengingkari tanggung jawab negara dalam memproduksi kematian prematur. Sebaliknya, hermeneutika air mata menamai setiap korban. Ia melakukan interupsi terhadap bahasa resmi negara yang tidak jujur terhadap realitas.
Kita berada dalam kontestasi antara paguyuban korban yang hendak menciptakan anamnese dan negara yang hendak memproduksi amnesia. Kita diundang untuk menempatkan korban untuk berdiri di panggung sejarah mengisahkan narasi penderitaan mereka. Penderitaan menghancurkan kronologi penderitaan. Transkrip korban yang hidup di sisi bawah sejarah terserak. Namun, mereka berhasil memberikan identitas kepada hidup korban yang megalami kematian prematur di negara kriminal bernama Indonesia.
Paguyuban keluarga korban sadar bahwa melukis hidup korban di panggung sejarah Indonesia itu seperti menggambar di pasir padang gurun. Lukisan mengenai hidup korban itu mudah sekali tersapu angin.
Kita mengalami bahwa waktu semakin melemahkan ingatan kita pada korban kekerasan negara. Kematian prematur korban semakin lemah dalam ingatan kita. Kita semakin hidup di sebuah geografi korban yang tersekat dari korban. Amnesia sosial terjadi ketika kita menempatkan korban di luar geografi sosial kita.
Anamnese sosial bertunas dari perjumpaan dengan korban. Hidup mereka menyapa kita dan menumbuhkan cinta kepada mereka. Komitmen untuk solider dengan perjuangan paguyuban keluarga korban merupakan buah dari perjumpaan dengan hidup korban yang menyapa kita.
Pengalaman korban sebagaimana dinarasikan oleh keluarga mereka dan para pendamping paguyuban keluarga korban akan mengawali buku ini. Menuliskan hidup korban pasca-tragedi terus-menerus berhadapan dengan persoalan kronologi dan detail peristiwa. Ketika merangkum pengalaman korban, kita tidak ingin menghilangkan pengalaman orisinal dan subversif korban. Kata, air mata, ritual dan keheningan menjadi bahasa resistensi terhadap amnesia sejarah. Sisi-sisi dalam kemanusiaan [keluarga] korban seperti kedukaan, ketakberdayaan, kemarahan tetapi sekaligus suka cita, harapan, dan ketabahan korban, merupakan dinamika korban untuk mengklaim kesatuan antara pengalaman dengan diri korban.
Dari Tepian Dunia
Rigoberta Menchu, Maria Tesa Kula, Aung San Suu Kyi, Elie Wiesel dan Nelson Mandela tampil sebagai representasi korban di belahan dunia lain yang menemani korban di Indonesia. Mereka menulis surat imajiner kepada paguyuban korban berdasarkan konteks perjuangan di negara mereka masing-masing. Solidaritas dengan persoalan kemanusiaan mengatasi batas-batas geografi teritorial. Solidaritas dengan hidup korban merupakan resistensi aktif terhadap upaya sistematis negara untuk mengisolasi hidup korban dari dunia sosialnya.
....Aung San Suu Kyi akan berdialog secara imajiner dengan Menhankam RI. Ia mengajukan politik kasih sebagai alternatif terhadap politik senapan yang banyak dipeluk rezim otoriter. Ia juga mengundang Menhankam untuk menerima paguyuban keluarga korban yang menuntut keadilan hukum bagi hidup korban. Paguyuban keluarga korban menyadarkan Menhankam bahwa militer Indonesia masih berpegang pada politik senapan. Politik ini menghilangkan keberpihakan kepada rakyat, terutama yang menjadi korban kekerasan militer. Politik senapan memiliki kredo bahwa yang memiliki senjata memegang kekuasaan.
Elie Wiesel sebagai korban hidup Holocaust akan berdialog secara imajiner dengan relawan kemanusiaan yang mendampingi korban kekerasan negara di Indonesia. Ia mengundang para relawan kemanusiaan untuk menyadari panggilan mereka sebagai saksi kemanusiaan. Mereka bertugas menghentikan, atau sekurang-kurang memperlambat laju pelupaan sosial. Pelupaan sosial bergerak cepat mengubah korban di sisi bawah sejarah yang memiliki identitas menjadi anonim.
Rigoberta Menchu dari Guatemala tampil dalam dialog imajiner sebagai sosok pejuang kemanusiaan perempuan yang terlibat dalam paguyuban keluarga korban untuk mengenang hidup korban. Ia berbagi kisah dengan kita mengenai pertarungan klaim kebenaran mengenai tragedi kemanusiaan. Rezim otoriter militer mementaskan teater kekerasan dalam grafik yang sangat tidak manusiawi dalam rangka menekuk lutut korban hidup agar bersimpuh di depan mereka dan mempidana hidup korban secara total dengan menahklukkan nafas kehidupan mereka. Grafik kekerasan militer meninggalkan jejak penderitaan yang laten dalam ingatan korban hidup dan sekaligus menghilangkan jejak identitas hidup korban.
Maria Teresa Kula berbicara mengenai politik dari tanah El Salvador. Ia tidak mengenal politik dari bangku sekolah atau seminar. Ia berhadapan dengan situasi-situasi tidak menusiawi yang menabrak hidupnya. Ia membangunkan kita dari penyakit alergi terhadap politik. Alergi masyarakat non-korban terhadap politik itu memililiki efek negatif terhadap hidup korban atau korban hidup. Penabuan terhadap politik berakibat hidup korban yang dianggap subversif mengalami kematian prematur. Ia juga berakibat pada keengganan untuk mendengarkan korban hidup yang mengisahkan penderitaanya di depan publik, apalagi membela mereka.
Selain mendengarkan suara-suara dari para pekerja kemanusiaan di belahan dunia lain, buku ini juga mengundang para pembaca untuk menulusuri ziarah mereka yang bukan-korban di Indonesia yang memutuskan untuk menjadi sahabat para korban pasca tragedi kemanusiaan. Para pekerja kemanusiaan yang mendampingi perjuangan keluarga korban juga jatuh bangun membangun relasi dengan korban. Solidaritas merupakan terminologi yang merangkum kenangan para pekerja kemanusiaan terhadap hidup korban yang cenderung disenyapkan negara secara sistematis. Solidaritas sejati dengan korban tumbuh dari perjumpaan mistik non-korban dengan korban. Sebaliknya ritual kekerasan terhadap hidup korban membiak dari eros kekuasaan yang menyembah illah kematian kontemporer.
Lawan Hermeneutika Politik
Kurun waktu sejak tragedi hingga peringatan terhadap tragedi merupakan periode kritis bagi korban untuk menyerukan suara resistensi mereka dan sekaligus mendengarkan jawaban publik terhadap kesaksian mereka. Idealnya, suara subversif korban semakin vokal seiring dengan kesadaran mereka untuk melawan kesunyian yang selalu dilancarkan dalam setiap tindakan kekerasan. Pada saat yang sama, audiens diharapkan lebih empatik terhadap suara korban yang seringkali sampai kepada kita dalam keadaan terserak, tak lengkap, dan kurang kronologis. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa suara resistensi korban seringkali semakin menghilang diserap waktu sejarah yang menghirup pelupaan sosial. Alih-alih berempati dengan air mata korban, audiens justru semakin menunjukkan tanggapan apatis terhadap penderitaan korban.
Hermeneutika air mata merupakan tawaran baru mendekati hidup korban tragedi kekerasan negara dalam peristiwa 1998. Ia menggantikan hermeneutika politik yang terbukti tak berusia lanjut dalam membela hidup korban. Hermeneutika politik hendak menyingkap identitas negara sebagai pelaku kekerasan negara dengan harapan dapat menyingkap identitas korban. Para pekerja kemanusiaan yang menganut hermeneutika politik sering kelelahan mengejar negara sebagai terdakwa utama dalam tragedi kemanusiaan dan pada saat yang sama melepaskan solidaritas mereka dengan korban. Hermeneutika air mata mengumpulkan serpihan hidup korban yang terserak untuk mengurai identitas pelaku kekerasan terhadap korban. Ia melawan amnesia sejarah dan membela amnesia korban. Amnesia korban menggelapkan idenitas pelaku kekerasan terhadap korban. Sebaliknya, anamnesis korban menyingkap identitas korban dari ancaman anonimitas.
Dari Tepian Ingatan
Kisah korban dalam buku ini mengalami proses penyuntingan panjang. Saat membaca naskah asli yang ditulis atau dikisahkan korban hidup, kita akan terhenyak karena baru menyadari bahwa penderitaan sungguh memporakporandakan hidup mereka. Penderitaan itu menyerakkan kronologi peristiwa. Kronologi peristiwa itu banyak mendapat jeda air mata. Kalimat mereka sampai kepada kita dalam posisi remuk. Mendengarkan suara korban seringkali menjadi aktivitas yang sangat melelahkan karena kita berusaha mengumpulkan serpihan ingatan mereka terhadap tragedi kemanusiaan.
Penderitaan juga menyebabkan korban hidup seringkali kesulitan untuk mengungkapkan tuntutan mereka kepada pihak-pihak yang menyebabkan kematian hidup korban secara artikulatif. Masyarakat non-korban hendaknya tidak pertama-tama menuntut korban hidup untuk berbicara secara lebih artikulatif tetapi lebih empatik mendengarkan suara korban hidup. Kita hendaknya lebih berfokus kepada suara daripada jumlah korban jika kita ingin Suara mereka seringkali sampai kepada kita dalam keadaan lelah, bahkan hampir putus harapan....
Berkeley, 9 Oktober 2007
Jakarta, 20 September 2007.
Kepada Yth.
Bapak Susilo Bambang Yudhoyono
Presiden Republik Indonesia
Di Jakarta.
Dengan hormat,
Bersamaan dengan Aksi Diam yang ke-35, sebentuk aksi yang selalu kami (para korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia - HAM) lakukan di depan Istana Presiden, setiap Kamis sore pukul 16.00-17.00 tepat, perkenankanlah kami mengingatkan Bapak Presiden bahwa sewindu yang lalu, tepatnya pada 24 September 1999, pernah terjadi penembakan secara brutal oleh aparat bersenjata dengan peluru tajam terhadap mahasiswa dan warga masyarakat yang menimbulkan sejumlah korban tewas, yang kemudian dikenal dengan sebutan Tragedi Semanggi II. Sejumlah korban tewas tersebut adalah: Yan Yun Hap (Mahasiswa UI, ditembak ketika aksi unjuk rasa telah usai), Zainal Abidin, Teja Sukmana, M. Nuh Ichsan, Salim, Jumadi, Fadly, Deny Julian, Yusuf Rizal, Saidatul Fitria, dan Meyer Ardiansah.
Penembakan itu terjadi ketika mahasiswa dan masyarakat melakukan unjuk rasa menolak diberlakukannya UU PKB (Undang-Undang tentang Penanggulangan Keadaan Bahaya), sebuah UU yang disusun oleh Pemerintah (di bawah Presiden B.J. Habibie) dan DPR RI (yang keanggotaannya didominasi oleh orang-orang pro status-quo Orde Baru). UU tersebut ditolak oleh masyarakat karena memberi peluang kepada aparat bersenjata, yang cenderung dijadikan alat penguasa, untuk melakukan tindakan represif terhadap kegiatan-kegiatan masyarakat yang menghendaki terwujudnya demokrasi dan terbebaskannya kehidupan masyarakat dari genggaman penguasa otoriter.
Terhadap Tragedi Semanggi II ini, keluarga korban menuntut penyelesaian melalui Pengadilan HAM ad hoc. Namun, untuk menuju ke penyelesaian tersebut selalu ada upaya-upaya menghadangnya baik melalui tataran hukum maupun secara politis. Ambil contoh, ketika kami menuntut agar kasus Trisakti dan Semanggi I-II (TSS) dibawa ke Pengadilan HAM ad hoc dan mendapat dukungan yang cukup signifikan, maka digelarlah persidangan kasus Trisakti di Peradilan Militer untuk sekedar memperlihatkan bahwa kasus tersebut telah/sedang tertangani. Ketika kasus Semanggi II diangkat kembali dengan tuntutan agar diselesaikan melalui Pengadilan HAM ad hoc, maka digelarlah persidangan kasus Semanggi II dan diberitakan oleh media massa bahwa yang menjadi terdakwa adalah seorang anggota TNI, Praka Tuaputy dari Kostrad, selaku pelaku penembakan. Namun bagaimana kelanjutan persidangan tersebut dan apa hasilnya, walahu’alam. Beritanya sirna seiring dengan surutnya tuntutan publik.
Kasus Semanggi II, juga Kasus Trisakti dan Semanggi I, kini masih menggantung karena Kejaksaan Agung menolak menindaklanjuti hasil penelitian Komnas HAM yang menyatakan bahwa dalam kasus TSS terjadi pelanggaran HAM berat. Penolakan itu disertai alasan karena belum dibentuk Pengadilan HAM ad hoc melalui Keppres berdasarkan usulan DPR. Sementara itu, DPR tidak mau mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc kepada Presiden karena telah ada Rekomendasi DPR 9 Juli 2001 berupa laporan akhir Pansus DPR yang menyatakan bahwa peristiwa TSS bukan pelanggaran HAM berat. Pada 30 Juni 2005 Komisi III DPR merekomendasikan agar kasus TSS dibuka kembali, namun lagi-lagi kandas setelah Bamus (Badan Musyawarah) DPR tidak mau mengagendakannya dalam Rapat Pimpinan DPR. Rekomendasi Komisi III DPR tersebut hanya mendapat dukungan 3 fraksi di DPR yaitu Fraksi-PDIP, Fraksi PKB, dan Fraksi PAN.
Sampai sekarang, kasus TSS menjadi bola panas yang menggeliat di antara beberapa instansi yang mestinya berkompeten yaitu: Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan DPR. Karena saling lempar, maka kasus TSS kini tetap menggantung, pada hal kasus tersebut sangat mendesak untuk segera diselesaikan demi memberi rasa keadilan bagi keluarga korban. Oleh karenanya, sudah seharusnya Bapak Presiden tidak turut andil dalam menggantung kasus tersebut, melainkan
justru mendorong ke arah penyelesaian segera. Dan bila perlu, secepatnya menerbitkan Keppres tentang pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus termaksud. Siapa lagi dan kapan lagi kalau bukan Bapak Presiden, meskipun masa jabatan untuk periode ini tinggal beberapa bulan lagi. Sudah lama kami penuh harap, semoga Bapak Presiden mempunyai kepedulian terhadap penyelesaian kasus TSS ini.
Demikian, dan atas perhatian Bapak Presiden kami ucapkan banyak terima kasih.
Hormat kami,
atas nama Jaringan Solidaritas Korban dan Keluarga Korban
Suciwati, Sumarsih, Bedjo Untung
Bahasa Resistensi
Keheningan adalah ibu kata-kata. Keheningan itu hadir di depan Istana Negara setiap Kamis antara pukul 16.00 - 17.00. Suara paguyuban korban itu suci dan sekaligus subversif. Ia membela kehidupan korban yang meninggal secara prematur. Ia menggugat negara yang menghindar dari tanggung jawab sebagai pelaku kekerasan terhadap korban. Negara melakukan kejahatan mutilasi dengan membuang korban kekerasan dalam kotak sampah sejarah Indonesia.
Hermeneutika air mata menjadi bahasa resistensi paguyuban keluarga korban terhadap amnesia. Paguyuban korban menuliskan daftar nama korban. Setiap nama memiliki nafas kehidupan. Mereka mengundang kita masuk dalam semesta para korban. Mereka menyadari bahwa negara hendak memaku makna terhadap perisiwa kekerasan yang diciptakannya. Negara mengeluarkan sabda final yang mengingkari tanggung jawab negara dalam memproduksi kematian prematur. Sebaliknya, hermeneutika air mata menamai setiap korban. Ia melakukan interupsi terhadap bahasa resmi negara yang tidak jujur terhadap realitas.
Kita berada dalam kontestasi antara paguyuban korban yang hendak menciptakan anamnese dan negara yang hendak memproduksi amnesia. Kita diundang untuk menempatkan korban untuk berdiri di panggung sejarah mengisahkan narasi penderitaan mereka. Penderitaan menghancurkan kronologi penderitaan. Transkrip korban yang hidup di sisi bawah sejarah terserak. Namun, mereka berhasil memberikan identitas kepada hidup korban yang megalami kematian prematur di negara kriminal bernama Indonesia.
Paguyuban keluarga korban sadar bahwa melukis hidup korban di panggung sejarah Indonesia itu seperti menggambar di pasir padang gurun. Lukisan mengenai hidup korban itu mudah sekali tersapu angin.
Kita mengalami bahwa waktu semakin melemahkan ingatan kita pada korban kekerasan negara. Kematian prematur korban semakin lemah dalam ingatan kita. Kita semakin hidup di sebuah geografi korban yang tersekat dari korban. Amnesia sosial terjadi ketika kita menempatkan korban di luar geografi sosial kita.
Anamnese sosial bertunas dari perjumpaan dengan korban. Hidup mereka menyapa kita dan menumbuhkan cinta kepada mereka. Komitmen untuk solider dengan perjuangan paguyuban keluarga korban merupakan buah dari perjumpaan dengan hidup korban yang menyapa kita.
Pengalaman korban sebagaimana dinarasikan oleh keluarga mereka dan para pendamping paguyuban keluarga korban akan mengawali buku ini. Menuliskan hidup korban pasca-tragedi terus-menerus berhadapan dengan persoalan kronologi dan detail peristiwa. Ketika merangkum pengalaman korban, kita tidak ingin menghilangkan pengalaman orisinal dan subversif korban. Kata, air mata, ritual dan keheningan menjadi bahasa resistensi terhadap amnesia sejarah. Sisi-sisi dalam kemanusiaan [keluarga] korban seperti kedukaan, ketakberdayaan, kemarahan tetapi sekaligus suka cita, harapan, dan ketabahan korban, merupakan dinamika korban untuk mengklaim kesatuan antara pengalaman dengan diri korban.
Dari Tepian Dunia
Rigoberta Menchu, Maria Tesa Kula, Aung San Suu Kyi, Elie Wiesel dan Nelson Mandela tampil sebagai representasi korban di belahan dunia lain yang menemani korban di Indonesia. Mereka menulis surat imajiner kepada paguyuban korban berdasarkan konteks perjuangan di negara mereka masing-masing. Solidaritas dengan persoalan kemanusiaan mengatasi batas-batas geografi teritorial. Solidaritas dengan hidup korban merupakan resistensi aktif terhadap upaya sistematis negara untuk mengisolasi hidup korban dari dunia sosialnya.
....Aung San Suu Kyi akan berdialog secara imajiner dengan Menhankam RI. Ia mengajukan politik kasih sebagai alternatif terhadap politik senapan yang banyak dipeluk rezim otoriter. Ia juga mengundang Menhankam untuk menerima paguyuban keluarga korban yang menuntut keadilan hukum bagi hidup korban. Paguyuban keluarga korban menyadarkan Menhankam bahwa militer Indonesia masih berpegang pada politik senapan. Politik ini menghilangkan keberpihakan kepada rakyat, terutama yang menjadi korban kekerasan militer. Politik senapan memiliki kredo bahwa yang memiliki senjata memegang kekuasaan.
Elie Wiesel sebagai korban hidup Holocaust akan berdialog secara imajiner dengan relawan kemanusiaan yang mendampingi korban kekerasan negara di Indonesia. Ia mengundang para relawan kemanusiaan untuk menyadari panggilan mereka sebagai saksi kemanusiaan. Mereka bertugas menghentikan, atau sekurang-kurang memperlambat laju pelupaan sosial. Pelupaan sosial bergerak cepat mengubah korban di sisi bawah sejarah yang memiliki identitas menjadi anonim.
Rigoberta Menchu dari Guatemala tampil dalam dialog imajiner sebagai sosok pejuang kemanusiaan perempuan yang terlibat dalam paguyuban keluarga korban untuk mengenang hidup korban. Ia berbagi kisah dengan kita mengenai pertarungan klaim kebenaran mengenai tragedi kemanusiaan. Rezim otoriter militer mementaskan teater kekerasan dalam grafik yang sangat tidak manusiawi dalam rangka menekuk lutut korban hidup agar bersimpuh di depan mereka dan mempidana hidup korban secara total dengan menahklukkan nafas kehidupan mereka. Grafik kekerasan militer meninggalkan jejak penderitaan yang laten dalam ingatan korban hidup dan sekaligus menghilangkan jejak identitas hidup korban.
Maria Teresa Kula berbicara mengenai politik dari tanah El Salvador. Ia tidak mengenal politik dari bangku sekolah atau seminar. Ia berhadapan dengan situasi-situasi tidak menusiawi yang menabrak hidupnya. Ia membangunkan kita dari penyakit alergi terhadap politik. Alergi masyarakat non-korban terhadap politik itu memililiki efek negatif terhadap hidup korban atau korban hidup. Penabuan terhadap politik berakibat hidup korban yang dianggap subversif mengalami kematian prematur. Ia juga berakibat pada keengganan untuk mendengarkan korban hidup yang mengisahkan penderitaanya di depan publik, apalagi membela mereka.
Selain mendengarkan suara-suara dari para pekerja kemanusiaan di belahan dunia lain, buku ini juga mengundang para pembaca untuk menulusuri ziarah mereka yang bukan-korban di Indonesia yang memutuskan untuk menjadi sahabat para korban pasca tragedi kemanusiaan. Para pekerja kemanusiaan yang mendampingi perjuangan keluarga korban juga jatuh bangun membangun relasi dengan korban. Solidaritas merupakan terminologi yang merangkum kenangan para pekerja kemanusiaan terhadap hidup korban yang cenderung disenyapkan negara secara sistematis. Solidaritas sejati dengan korban tumbuh dari perjumpaan mistik non-korban dengan korban. Sebaliknya ritual kekerasan terhadap hidup korban membiak dari eros kekuasaan yang menyembah illah kematian kontemporer.
Lawan Hermeneutika Politik
Kurun waktu sejak tragedi hingga peringatan terhadap tragedi merupakan periode kritis bagi korban untuk menyerukan suara resistensi mereka dan sekaligus mendengarkan jawaban publik terhadap kesaksian mereka. Idealnya, suara subversif korban semakin vokal seiring dengan kesadaran mereka untuk melawan kesunyian yang selalu dilancarkan dalam setiap tindakan kekerasan. Pada saat yang sama, audiens diharapkan lebih empatik terhadap suara korban yang seringkali sampai kepada kita dalam keadaan terserak, tak lengkap, dan kurang kronologis. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa suara resistensi korban seringkali semakin menghilang diserap waktu sejarah yang menghirup pelupaan sosial. Alih-alih berempati dengan air mata korban, audiens justru semakin menunjukkan tanggapan apatis terhadap penderitaan korban.
Hermeneutika air mata merupakan tawaran baru mendekati hidup korban tragedi kekerasan negara dalam peristiwa 1998. Ia menggantikan hermeneutika politik yang terbukti tak berusia lanjut dalam membela hidup korban. Hermeneutika politik hendak menyingkap identitas negara sebagai pelaku kekerasan negara dengan harapan dapat menyingkap identitas korban. Para pekerja kemanusiaan yang menganut hermeneutika politik sering kelelahan mengejar negara sebagai terdakwa utama dalam tragedi kemanusiaan dan pada saat yang sama melepaskan solidaritas mereka dengan korban. Hermeneutika air mata mengumpulkan serpihan hidup korban yang terserak untuk mengurai identitas pelaku kekerasan terhadap korban. Ia melawan amnesia sejarah dan membela amnesia korban. Amnesia korban menggelapkan idenitas pelaku kekerasan terhadap korban. Sebaliknya, anamnesis korban menyingkap identitas korban dari ancaman anonimitas.
Dari Tepian Ingatan
Kisah korban dalam buku ini mengalami proses penyuntingan panjang. Saat membaca naskah asli yang ditulis atau dikisahkan korban hidup, kita akan terhenyak karena baru menyadari bahwa penderitaan sungguh memporakporandakan hidup mereka. Penderitaan itu menyerakkan kronologi peristiwa. Kronologi peristiwa itu banyak mendapat jeda air mata. Kalimat mereka sampai kepada kita dalam posisi remuk. Mendengarkan suara korban seringkali menjadi aktivitas yang sangat melelahkan karena kita berusaha mengumpulkan serpihan ingatan mereka terhadap tragedi kemanusiaan.
Penderitaan juga menyebabkan korban hidup seringkali kesulitan untuk mengungkapkan tuntutan mereka kepada pihak-pihak yang menyebabkan kematian hidup korban secara artikulatif. Masyarakat non-korban hendaknya tidak pertama-tama menuntut korban hidup untuk berbicara secara lebih artikulatif tetapi lebih empatik mendengarkan suara korban hidup. Kita hendaknya lebih berfokus kepada suara daripada jumlah korban jika kita ingin Suara mereka seringkali sampai kepada kita dalam keadaan lelah, bahkan hampir putus harapan....
Berkeley, 9 Oktober 2007
No comments:
Post a Comment