Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Tuesday, October 9, 2007

Melawan Politik Senapan


[Tulisan ini melanjutkan proses penulisan buku "Berpaling kepada Wajah Korban: dari Amnesia menuju Anamnesis." Pada bagian ini saya menuliskan dialog imajiner tokoh pro-demokrasi perempuan Myanmar bernama Aung San Suu Kyi dengan Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia dalam rangka 10 tahun peringatan tragedi Mei - Semanggi 1998]
Dokumentasi: http://www.ncgub.net/mediagallery/mediaobjects/orig/3/3_daw_aung_san_suu_kyi.jpg

Saudara Menhankam,
Pagi ini aku berdiri di belakang jendela kamarku menatap ke arah Indonesia. Hari ini aku mendengar dari radio BBC atau Voice of America (VOA) peringatan korban Mei - Semanggi 1998. Aku mengirimkan surat ini kepadamu agar engkau tidak tergoda dengan politik senapan. Aku sekarang tinggal di rumah tahanan karena melawan rezim otoriter yang militeristik. Di Myanmar negara menjadi penjajah militer daripada pemerintahan sipil. Perkenankan aku menyampaikan kepadamu bahwa negara bertugas menjalankan dharma dan abhaya. Semoga situasi yang sedemikian parah tidak terjadi di negaramu.

Saudara Menhamkan,
aku prihatin terhadap peristiwa Mei 1998. Ribuan orang mengalami kematian prematur. Saat melihat mereka, tak urung aku teringat pada militer. Bolehkah aku bertanya, "Dimanakah engkau berada saat itu?" Begitu banyak korban jatuh, dan berita-berita menyebutkan militer tidak berada di tempat. Aku melihat kalian sebagai pengayom masyarakat dari rasa takut. Namun aku sungguh heran bahwa kalian seolah-oleh hilang entah kemana saat masyarakat berada dalam ketakutan. Berapa orang yang akhirnya menyeberang Indonesia karena rasa takutnya.

Saudara Menhankam,
aku sering bertanya kepada rakyat Myanmar mengenai kerinduan terdalam. Mereka serempak bicara kepadaku, "Rasa aman." Militer lahir untuk memberikan rasa aman dari berbagai ketakutan. Aku melihat kalian memiliki tugas suci. Namun aku sangat berduka melihat ulah militer yang memakai senjata bukan menciptakan rasa aman, tetapi sebaliknya menciptakan rasa takut dalam masyarakat. Aku sendiri mengalami artinya hidup di bawah tekanan senjata di dahiku. Aku sekarang tinggal di sebuah rumah tahanan. Mereka ingin memenjarakan hidupku dengan terali senjata. Cintaku pada rakyat mengalahkan ketakutanku pada moncong senapan.

Saudara Menhankam,
senapan tak boleh digunakan dalam dialog. Sebab ia hanya bisa menggertak. Aku selalu meminta mereka untuk meletakkan senjata saat mereka meminta aku berdialog dengan mereka. Dialog itu komunikatif. Tak mungkin kita dapat berkomunikasi kalau senapan itu selalu ditujukan kepada kita. Kalian juga tak mungkin berbicara kepada rakyatmu sambil mengokang senjata. Dosa utama tentara Myanmar adalah ketidakmampuan, terlebih ketidakmauan mereka untuk berkomuniasi dengan rakyat. Mereka membangun sendiri penjara emas yang tidak memungkinkan mereka untuk dekat dengan rakyat Myanmar.

Saudara Menhankam,


Bibliografi:
Aung San Suu Kyi, The Voice of Hope: Conversations with Alan Clements (New York: The Seven Stories Press, 1997).

Aung San Suu Kyi, Letters from Burma, with an Introduction by Fergal Keane (London: Penguin Books,1997).

No comments: