Melawan Politik Senapan:
Dialog Imajiner Aung San Suu Kyi dan Menhankam RI
Oleh Mutiara Andalas
Each country is linked to the others
through the bonds of humanity
Aung San Suu Kyi, The Vision of Hope (1997), 101
Aung San Suu Kyi:
Pagi ini aku berdiri di belakang jendela kamarku menatap Indonesia. Aku mendengar berita mengenai peringatan 10 tahun tragedi kekerasan Mei – Semanggi 1998 dari radio BBC dan Voice of America (VOA). Aliansi korban kekerasan negara menggelar aksi diam di depan istana negara. Mereka memulai aksi damai dengan mencium lars sepatu aparat militer yang menghadang jalan masuk menuju istana. Pada akhir aksi mereka menyerahkan sepucuk surat kepada presiden Republik Indonesia.
Menhankam RI:
Apa pesan dari aksi damai itu?
Aung San Suu Kyi:
Kekerasan. Jeritan korban. Pelupaan.
Menhamkam RI:
Selaput di mataku merabunkan penglihatanku. Selaput berlapis-lapis itu bernama ketakutan. Aku takut melihat kebenaran sejarah yang menurut mereka penuh ceceran darah.
Aung San Suu Kyi:
Beberapa keluarga korban membawa foto korban dengan spanduk bertuliskan “1965.” Ratusan ribu dan bahkan jutaan jenazah berceceran di tanah Indonesia pasca peristiwa 1965. Lagu requiem tak terdengar saat nafas para korban itu terlepas dari hidup mereka. Terdengar jeritan panjang kehidupan yang diambil paksa oleh letusan senjata. Namun, darah mereka tak tertera dalam buku sejarah.
Menhamkam RI:
Aparat militer memburu mereka karena mereka terlibat sebagai anggota atau simpatisan partai terlarang Partai Komunis Indonesia (PKI). Para senior kami mendapat perintah resmi untuk menciduk dan menghabisi mereka. Kami membangun monumen untuk mengabadikan kesuksesan operasi militer itu.
Aung San Suu Kyi:
Aku mendapat beberapa surat dari korban hidup tragedi kemanusiaan 1965. Mereka mengumpulkan serpihan tubuh korban. Mereka menemukan fakta kekerasan negara dengan menggali kuburan-kuburan massal tempat anggota keluarga mereka dibantai. Mereka berniat menggugat militer sebagai pelaku utama kekerasan tak manusiawi itu.
Menhankam RI:
Kita tidak perlu mencari fakta lagi mengenai peristiwa 1965. Kita sudah memiliki sejarah resmi tentang peristiwa beradarah itu. Kita jangan menambahi persoalan bangsa sekarang dengan sejarah masa lalu.
Aung San Suu Kyi:
Keluarga korban dan aktivis Hak Asasi Manusia Indonesia menemukan fakta baru kekerasan militer dalam peristiwa 1965. Seorang ibu lansia, korban hidup yang pernah ditahan tanpa pengadilan yang jelas selama 20 tahun, memegang tulang suaminya yang menjadi korban kekerasan militer 1965. Aku tak kuasa menitikkan air mataku saat ia berkata dengan banyak jeda air mata, "Banyak tulang seperti ini terkubur di tanah Indonesia di bawah rezim Soeharto."
Menhankam RI:
Perubahan politik seringkali harus dilalui dengan kudeta berdarah. Pergantian kekuasaan di penghujung Orde Lama ditandai dengan ritual mengorbankan darah anak-anak negeri demi lahirnya Orde Baru. Tak ada sesuatu yang dapat kami buat untuk menahan kudeta beradarah itu. Kami harus menerimanya sebagai karma.
Aung San Suu Kyi:
Mata ibu meneteskan kebenaran. Kerut-kerut seperti peta di wajahnya menyimpan penderitaan tiada tara. Air matanya hampir kering karena tak kuasa menahan penderitaan. Ibu itu merasakan dendam setiap kali mengingat tindakan tak manusiawi militer terhadap keluarga dan dirinya. Selama Tuhan masih menganugerahkan nafas, ia ingin membongkar wajah para pelaku kekerasan yang meremukkan hidupnya. Orde Baru diletakkan di atas pondasi yang terbuat dari tulang-tulang rakyatnya.
Menhankam RI:
Tak sedikit bangsa-bangsa lain yang juga memiliki sejarah seperti kami. Kami tak menginginkan jatuhnya korban sipil, tetapi tak dapat mengelakkannya.
Aung San Suu Kyi:
Kalian menganut politik senapan.
Menhankam RI:
Engkau menghubungkan dua kata yang berjauhan. Apakah politik senapan itu?
Aung San Suu Kyi:
Politik senapan memiliki kredo, “Pemilik senjata adalah pemegang kekuasaan.”
Menhankam RI:
Engkau menolak politik senapan. tak setuju dengan politik senapan.Engkau melihat cacat dalam politik senapan?
Aung San Suu Kyi:
Politik senapan meniscayakan pergantian kekuasaan melalui kudeta berdarah. Di Myanmar ada gerakan yang mencoba mengangkat senjata untuk melawan pemerintah yang memegang politik senjata. Kalaupun mereka berhasil menggulingkan rezim otoriter sekarang ini, mereka tak akan membawa negara ini ke arah demokrasi. Kekerasan itu berlawanan dengan demokrasi. Politik kekerasan senantiasa harus menyerahkan rakyat sebagai kurban persembahan di altar untuk berhala kematian.
Menhankam RI:
Aku ingat penuturan pejabat militer pasca tragedi kemanusiaan Mei 1998. Ia membela diri dihadapan masyarakat yang menggugat ketidakberadaannya di tempat kejadian perkara (TKP). Ia takut masyarakat menyebutnya sebagai iblis yang mengobarkan api neraka dalam tragedi itu.
Aung San Suu Kyi:
Sebutan iblis itu melekat dalam rezim otoriter Myanmar. Saat engkau memasuki rumah tahananku, engkau harus melewati ritual melaporkan diri. Engkau berjumpa dengan para pengikutku yang menyambutmu dengan tangan tanpa senjata. Sementara itu di pos keamanan, Engkau harus melewati barisan militer yang siap dengan senjata di tangan mereka.
Menhankam RI:
Sebagai pemimpin gerakan pro-demokrasi di Myanmar sejauh mana engkau mengenal rakyatmu?
Aung San Suu Kyi:
Rakyat Myanmar selalu dekat di hatiku. Mayoritas warga Myanmar mengalami pemiskinan di bawah rezim otoriter. Engkau tak perlu pergi terlalu jauh dari ibu kota Rangoon untuk melihat potret kemiskinan. Sempatkanlah berkunjung ke wargaku di Hlaingtayar. Sebagian warga di sanasudah beruntung dapat makan dua kali sehari. Bahkan, ada yang hanya dapat makan nasi sehari sekali dan harus minum tajin, kuah air beras yang dimasak, untuk menahan laparnya. Banyak petani terpaksa beralih dari nasi ke pisang rebus untuk bertahan hidup.Potret itu kontras dengan yang terlihat di beberapa restoran dan hotel mewah tak jauh dari situ. Mereka dapat menghamburkan ribuan kyat dalam semalam.
Menhankam RI:
Hatimu benar-benar terarah pada hidup rakyatmu. Engkau membawa hidup mereka dalam kata-katamu. Lidahku terasa sangat kering karena aku sadar betapa jauh hidupku sebagai politikus dari rakyatku sendiri. Aku sering pura-pura buta terhadap penderitaan rakyatku di Indonesia. Bagaimana para politikus Myanmar melihat realitas kemiskinan ini?
Aung San Suu Kyi:
Aku berhutang hidup pada rakyatku. Kalau aku sekarang dapat berbicang-bincang denganmu, nafas ini merupakan pemberian rakyatku. Mereka membela hidupku bahkan dengan darah mereka. Darah mereka tak akan pernah kulupakan.
Banyak politikus negeri ini tak memiliki hati lagi terhadap rakyat. Aku pernah mendengar seorang politikus membuat lelucon yang sangat melecehkan hati rakyat Myanmar. Ia bisa membeli suara rakyat, bahkan yang sudah berada di kubur, dengan selembar uang dollar. Tangan rakyat Myanmar akan menjulur dari kubur kalau ia melambaikan selembar 20 dollar dari sakunya. Seluruh tubuh rakyat yang sudah meninggalkan bahkan dapat bangkit dari kubur kalau ia mengeluarkan selembar 100 dollar dari kantongnya.
Menhamkam RI:
Mereka keterlaluan sekali. Tak pernah sekali-kali aku akan berkata-kata demikian mengenai rakyatku. Seorang lawan politik pernah bicara secara pribadi denganku, "Pemerintah periode ini berjanji setinggi langit, tetapi realisasi janjinya serendah kaki bukit."
Aung San Suu Kyi:
Aku sering mendengar rakyatku dipaksa menghadiri ceramah-ceramah politik yang diselenggarakan rezim otoriter Myanmar. Kalau mereka menolak datang, mereka dipaksa membayar uang ketidakhadiran. Aku prihatin dengan cara-cara rezim ini memperlakukan rakyatnya. Aku mendengar harapan rakyatku akan perubahan. Mereka memintaku untuk menyuarakan penderitaan mereka kepada dunia. Hidup rakyat di Myanmar diatur dengan mentalitas penyiksaan.
Menhamkam RI:
Engkau menerapkan kekerasan rezim otoriter dalam mengurus ekonomi rakyat.
Aung San Suu Kyi:
Penyiksaan terjadi menyeluruh di Myanmar. Penyiksaan politik itu terus berlanjut sampai saat ini. “Kami akan memukul setiap kepala yang berani beroposisi politik melawan kami,” demikian refrain politiik mereka. Mereka menahanku karena telingaku mendengarkan suara penderitaan rakyat Myanmar. Mereka hendak memutus hidupku dari hidup rakyatku. Mereka melihatku sebagai cermin yang membongkar wajah buruk politikus yang telah lama meninggalkan hidup rakyatnya.
Menhankam RI:
Apakah engkau pernah mengalami ketakutan akibat represi tak kunjung henti dari rezim otoriter? Apakah engkau menyimpan kebencian dengan rezim otoriter di sanubarimu?
Aung San Suu Kyi:
Tindakan represif militer terhadap rakyat justru menyurutkan ketakutan dalam diriku. Perhatianku pada hidup rakyat Myanmar tak menyisakan ruang untuk kebencian terhadap militer. Namun aku menyadari kebencian sebagai energi negatif yang berpotensi melemahkan perjuangan kami. Perjuangan yang membawa kebenciaan sudah kalah sebelum mulai.
Menhamkam RI:
Sejauh mana ajaran Buddha memberikan kekuatan spiritual kepadamu untuk menjadi suara kebenaran bagi rakyat Myanmar?
Aung San Suu Kyi:
Kekayaan spiritual agama Buddha melepaskan aku dari ikatan ketakutan yang seringkali menghambat keterlibatan hidupku dengan rakyat Myanmar. Agama Buddha adalah agama yang terlibat dengan persoalan kemanusiaan. Rakyat Indonesia memiliki beragam kekayaan spiritual untuk bicara mengenai belas kasih kepada korban. Mohon maaf bila aku memberikan penilaian yang keliru. Namun aku belum banyak mendengar pemimpin agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha serta aliran kepercayaan menggali tema belas kasih aktif. Para pemimpin agama hendaknya mendorong umatnya tidak hanya melafalkan, kredo iman, tetapi juga mempraktekkannya. Sayangnya di Indonesia demonstrasi seperti itu masih banyak terkait dengan atribut keagamaan. Agama belum banyak turun ke jalan untuk persoalan kemanusiaan.
Menhankam RI:
Bagaimana engkau melihat bhiksu dan bhiksuni yang turun ke jalan untuk berdemonstrasi melawan rezim otoriter?
Aung San Suu Kyi:
Aku menaruh hormat kepada bhiksu dan bhikuni yang sungguh menjalankan ajaran Buddha dalam hidup sehari-hari. Banyak dari antara kami yang lahir sebagai penganut Buddha namun kita tidak mempraktekkan ajarannya. Mutilasi atau penggelapan kebenaran misalnya adalah salah satu bentuk kekerasan yang dilarang dalam ajaran Buddha. Kita semua bertanggung jawab menolak kekerasan militer. Belum semua warga Myanmar menyadari tanggung jawab ini.
Menhankam RI:
Bagaimana engkau melawan rezim otoriter yang menggunakan senjata?
Aung San Suu Kyi:
Aku tak pernah ingin mulai membenci mereka yang melakukan penyiksaan politik terhadapku. Jika aku mulai membenci mereka, aku sedang mengalahkan diriku sendiri. Aku tidak membenci mereka karena aku tidak pernah takut terhadap mereka. Kebencian dan ketakutan saling berlipat tangan.
Rezim militer Myanmar hendak memasung aku dengan status tahanan rumah. Mereka tak pernah bisa menahanku karena aku senantiasa menjadi pribadi yang bebas. Aku belajar banyak dari para sahabat gerakan pro-demokrasi yang dibui karena menjadi suara hati nurani rakyat. Aku ingin dunia mendengar bahwa kami masih terpenjara di negeri sendiri.
Menhankam RI:
Aku terbiasa membawa senjata atau pasukan untuk melindungi diriku. Bagaimana engkau membela dirimu?
Aung San Suu Kyi:
Aku membela diri dengan kasih dan kebenaran. Rezim otoriter menggunakan senjata untuk menutupi kejahatannya. Saat militer mengacungkan senjata mereka untuk membubarkan demonstrasi damai, aku mengingatkan pengikutku untuk tidak lari. Aku meminta mereka untuk mendekati mereka sambil bertanya, “Mengapa engkau mengarahkan senjatamu kepada kami? Bukankah kami saudara-saudarimu?” Kasihku pada hidup rakyat Myanmar mengalahkan ketakutanku pada moncong senapan militer.
Menhamkam RI:
Harapan untuk meminta semua warga Myanmar menjadi pribadi seperti engkau terdengar sangat berlebihan di telinga kebanyakan warga Myamar. Bukan begitu?
Aung San Suu Kyi:
Banyak orang melihat diriku lebih sebagai patung atau malaikat Aung San Suu Kyi. Mereka melihatku sebagai pribadi dengan keberanian, kepercayaan diri, dan ketegasan luar biasa dihadapan rezim militer. Aku lebih menyebut diriku sebagai peziarah yang sedang berada di tengah jalan menuju kualitas-kualitas kepribadian itu. Kebenaran adalah senjata paling mematikan untuk melawan ketakutan yang diciptakan rezim otoriter. Siapakah yang tidak menginginkan keamanan dan kebebasan di Myanmar? Pertanyaan ini berlaku pada setiap dari kami yang menyebut diri warga Myanmar. Kekerasan rezim otoriter itu tidak hanya menyerang tubuh individual korban, tetapi tubuh sosial Myanmar.
Menhankam RI:
Tahun 2008 negara kami memperingati 10 tahun tragedi Mei - Semanggi. Mungkinkah ini saat terbaik untuk menyeka air mata masa lalu dan mentap masa depan menuju Indonesia baru dengan mata pengharapan?
Aung San Suu Kyi:
Aku prihatin mendengar penuturan paguyuban keluarga korban yang semakin sendirian menuntut keadilan hukum. Masyarakat bukan korban nampak setengah hati atau kelelahan membela kasus mereka. Sikap setengah hati atau lelah itu menurutku berakar pada ketakutan. Kasih kita tak pernah menjadi aktif karena ketakutan telah memenjarakan hidup kita. Paguyuban korban dan keluarga korban sangat membutuhkan rengkuhan kasih kita yang memeluk hidup mereka. Aku mendorong rakyat Indonesia untuk memiliki belas kasih aktif. Rakyat Indonesia terlalu lama terpenjaran ketakutan untuk berbicara kebenaran.
Menhamkam RI:
Kami, militer Indonesia, berihrar untuk menjadi pengayom rakyat. Kami ingin meninggalkan citra militer sebagai babu rezim otoriter.
Aung San Suu Kyi:
Aku mendengarkan dari radio berbagai aksi demonstrasi paguyuban keluarga korban akibat kekerasan negara di Indonesia. Mereka datang dengan senjata pakaian dan bunga duka. Mereka datang tidak dengan ancaman, tetapi kebenaran yang terancam pelupaan. Namun mereka seringkali dihadang di jalan sebelum mereka sempat berjumpa dengan pemimpin negara kalian. Bahkan mereka pernah diusir paksa dengan kekerasan.
Menhankam RI:
Indonesia sering dituduh sebagai negara yang memiliki ingatan pendek terhadap korban kekerasan negara. Kami lupa karena catatan hidup korban hilang dari catatan sejarah bangsa kami. Bagaimana melawan pelupaan sosial?
Aung San Suu Kyi:
Saat mendapat keistimewaan untuk menerima nobel perdamaian, aku bersyukur karena dunia akhirnya mau berpaling ke Myanmar. Banyak rakyat Myanmar yang lebih menderita daripada aku namun mereka tidak mendapatkan perhatian sepertiku. Aku berharap semakin banyak warga dunia tak hanya bicara tentang Myanmar, tetapi berbicara dengan rakyat Myanmar. Kisah penderitaan mereka banyak hilang dihapus dengan tinta putih oleh rezim otoriter. Terlalu lama situasi mereka yang sebenarnya hilang karena dihapus dengan tinta putih oleh rezim otoriter. Pelupaan mulai dengan penghapusan sistematis kisah korban dari ingatan sosial.
Menhankam RI:
Terima kasih banyak saudariku. Engkau membuka selubung di mataku yang menghalangiku melihat dunia korban.
Bibliografi:
Kapan Tuntas?: Dokumentasi Visual Tragedi Kemanusiaan Mei 1998 (2005), disusun atas kerja sama Forum Keluarga Korban Mei 1998 (FKKM 98), Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI), Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Indonesia (APHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan Negara (KontraS), dan Solidaritas Nusa Bangsa (SNB).
Mass Graves: Dokumentasi Visual Tragedi Kekerasan Negara yang Dikenai Stigma PKI (2002)
Suu Kyi, Aung San. Letters from Burma. With an Introduction by Fergal Keane. London: Penguin Books,1997.
________. The Voice of Hope: Conversations with Alan Clements. New York: The Seven Stories Press, 1997.
Wardaya, Baskara T. Membongkar Supersemar: Dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno. Yogyakarta: Galang Press, 2007.
Dialog Imajiner Aung San Suu Kyi dan Menhankam RI
Oleh Mutiara Andalas
Each country is linked to the others
through the bonds of humanity
Aung San Suu Kyi, The Vision of Hope (1997), 101
Aung San Suu Kyi:
Pagi ini aku berdiri di belakang jendela kamarku menatap Indonesia. Aku mendengar berita mengenai peringatan 10 tahun tragedi kekerasan Mei – Semanggi 1998 dari radio BBC dan Voice of America (VOA). Aliansi korban kekerasan negara menggelar aksi diam di depan istana negara. Mereka memulai aksi damai dengan mencium lars sepatu aparat militer yang menghadang jalan masuk menuju istana. Pada akhir aksi mereka menyerahkan sepucuk surat kepada presiden Republik Indonesia.
Menhankam RI:
Apa pesan dari aksi damai itu?
Aung San Suu Kyi:
Kekerasan. Jeritan korban. Pelupaan.
Menhamkam RI:
Selaput di mataku merabunkan penglihatanku. Selaput berlapis-lapis itu bernama ketakutan. Aku takut melihat kebenaran sejarah yang menurut mereka penuh ceceran darah.
Aung San Suu Kyi:
Beberapa keluarga korban membawa foto korban dengan spanduk bertuliskan “1965.” Ratusan ribu dan bahkan jutaan jenazah berceceran di tanah Indonesia pasca peristiwa 1965. Lagu requiem tak terdengar saat nafas para korban itu terlepas dari hidup mereka. Terdengar jeritan panjang kehidupan yang diambil paksa oleh letusan senjata. Namun, darah mereka tak tertera dalam buku sejarah.
Menhamkam RI:
Aparat militer memburu mereka karena mereka terlibat sebagai anggota atau simpatisan partai terlarang Partai Komunis Indonesia (PKI). Para senior kami mendapat perintah resmi untuk menciduk dan menghabisi mereka. Kami membangun monumen untuk mengabadikan kesuksesan operasi militer itu.
Aung San Suu Kyi:
Aku mendapat beberapa surat dari korban hidup tragedi kemanusiaan 1965. Mereka mengumpulkan serpihan tubuh korban. Mereka menemukan fakta kekerasan negara dengan menggali kuburan-kuburan massal tempat anggota keluarga mereka dibantai. Mereka berniat menggugat militer sebagai pelaku utama kekerasan tak manusiawi itu.
Menhankam RI:
Kita tidak perlu mencari fakta lagi mengenai peristiwa 1965. Kita sudah memiliki sejarah resmi tentang peristiwa beradarah itu. Kita jangan menambahi persoalan bangsa sekarang dengan sejarah masa lalu.
Aung San Suu Kyi:
Keluarga korban dan aktivis Hak Asasi Manusia Indonesia menemukan fakta baru kekerasan militer dalam peristiwa 1965. Seorang ibu lansia, korban hidup yang pernah ditahan tanpa pengadilan yang jelas selama 20 tahun, memegang tulang suaminya yang menjadi korban kekerasan militer 1965. Aku tak kuasa menitikkan air mataku saat ia berkata dengan banyak jeda air mata, "Banyak tulang seperti ini terkubur di tanah Indonesia di bawah rezim Soeharto."
Menhankam RI:
Perubahan politik seringkali harus dilalui dengan kudeta berdarah. Pergantian kekuasaan di penghujung Orde Lama ditandai dengan ritual mengorbankan darah anak-anak negeri demi lahirnya Orde Baru. Tak ada sesuatu yang dapat kami buat untuk menahan kudeta beradarah itu. Kami harus menerimanya sebagai karma.
Aung San Suu Kyi:
Mata ibu meneteskan kebenaran. Kerut-kerut seperti peta di wajahnya menyimpan penderitaan tiada tara. Air matanya hampir kering karena tak kuasa menahan penderitaan. Ibu itu merasakan dendam setiap kali mengingat tindakan tak manusiawi militer terhadap keluarga dan dirinya. Selama Tuhan masih menganugerahkan nafas, ia ingin membongkar wajah para pelaku kekerasan yang meremukkan hidupnya. Orde Baru diletakkan di atas pondasi yang terbuat dari tulang-tulang rakyatnya.
Menhankam RI:
Tak sedikit bangsa-bangsa lain yang juga memiliki sejarah seperti kami. Kami tak menginginkan jatuhnya korban sipil, tetapi tak dapat mengelakkannya.
Aung San Suu Kyi:
Kalian menganut politik senapan.
Menhankam RI:
Engkau menghubungkan dua kata yang berjauhan. Apakah politik senapan itu?
Aung San Suu Kyi:
Politik senapan memiliki kredo, “Pemilik senjata adalah pemegang kekuasaan.”
Menhankam RI:
Engkau menolak politik senapan. tak setuju dengan politik senapan.Engkau melihat cacat dalam politik senapan?
Aung San Suu Kyi:
Politik senapan meniscayakan pergantian kekuasaan melalui kudeta berdarah. Di Myanmar ada gerakan yang mencoba mengangkat senjata untuk melawan pemerintah yang memegang politik senjata. Kalaupun mereka berhasil menggulingkan rezim otoriter sekarang ini, mereka tak akan membawa negara ini ke arah demokrasi. Kekerasan itu berlawanan dengan demokrasi. Politik kekerasan senantiasa harus menyerahkan rakyat sebagai kurban persembahan di altar untuk berhala kematian.
Menhankam RI:
Aku ingat penuturan pejabat militer pasca tragedi kemanusiaan Mei 1998. Ia membela diri dihadapan masyarakat yang menggugat ketidakberadaannya di tempat kejadian perkara (TKP). Ia takut masyarakat menyebutnya sebagai iblis yang mengobarkan api neraka dalam tragedi itu.
Aung San Suu Kyi:
Sebutan iblis itu melekat dalam rezim otoriter Myanmar. Saat engkau memasuki rumah tahananku, engkau harus melewati ritual melaporkan diri. Engkau berjumpa dengan para pengikutku yang menyambutmu dengan tangan tanpa senjata. Sementara itu di pos keamanan, Engkau harus melewati barisan militer yang siap dengan senjata di tangan mereka.
Menhankam RI:
Sebagai pemimpin gerakan pro-demokrasi di Myanmar sejauh mana engkau mengenal rakyatmu?
Aung San Suu Kyi:
Rakyat Myanmar selalu dekat di hatiku. Mayoritas warga Myanmar mengalami pemiskinan di bawah rezim otoriter. Engkau tak perlu pergi terlalu jauh dari ibu kota Rangoon untuk melihat potret kemiskinan. Sempatkanlah berkunjung ke wargaku di Hlaingtayar. Sebagian warga di sanasudah beruntung dapat makan dua kali sehari. Bahkan, ada yang hanya dapat makan nasi sehari sekali dan harus minum tajin, kuah air beras yang dimasak, untuk menahan laparnya. Banyak petani terpaksa beralih dari nasi ke pisang rebus untuk bertahan hidup.Potret itu kontras dengan yang terlihat di beberapa restoran dan hotel mewah tak jauh dari situ. Mereka dapat menghamburkan ribuan kyat dalam semalam.
Menhankam RI:
Hatimu benar-benar terarah pada hidup rakyatmu. Engkau membawa hidup mereka dalam kata-katamu. Lidahku terasa sangat kering karena aku sadar betapa jauh hidupku sebagai politikus dari rakyatku sendiri. Aku sering pura-pura buta terhadap penderitaan rakyatku di Indonesia. Bagaimana para politikus Myanmar melihat realitas kemiskinan ini?
Aung San Suu Kyi:
Aku berhutang hidup pada rakyatku. Kalau aku sekarang dapat berbicang-bincang denganmu, nafas ini merupakan pemberian rakyatku. Mereka membela hidupku bahkan dengan darah mereka. Darah mereka tak akan pernah kulupakan.
Banyak politikus negeri ini tak memiliki hati lagi terhadap rakyat. Aku pernah mendengar seorang politikus membuat lelucon yang sangat melecehkan hati rakyat Myanmar. Ia bisa membeli suara rakyat, bahkan yang sudah berada di kubur, dengan selembar uang dollar. Tangan rakyat Myanmar akan menjulur dari kubur kalau ia melambaikan selembar 20 dollar dari sakunya. Seluruh tubuh rakyat yang sudah meninggalkan bahkan dapat bangkit dari kubur kalau ia mengeluarkan selembar 100 dollar dari kantongnya.
Menhamkam RI:
Mereka keterlaluan sekali. Tak pernah sekali-kali aku akan berkata-kata demikian mengenai rakyatku. Seorang lawan politik pernah bicara secara pribadi denganku, "Pemerintah periode ini berjanji setinggi langit, tetapi realisasi janjinya serendah kaki bukit."
Aung San Suu Kyi:
Aku sering mendengar rakyatku dipaksa menghadiri ceramah-ceramah politik yang diselenggarakan rezim otoriter Myanmar. Kalau mereka menolak datang, mereka dipaksa membayar uang ketidakhadiran. Aku prihatin dengan cara-cara rezim ini memperlakukan rakyatnya. Aku mendengar harapan rakyatku akan perubahan. Mereka memintaku untuk menyuarakan penderitaan mereka kepada dunia. Hidup rakyat di Myanmar diatur dengan mentalitas penyiksaan.
Menhamkam RI:
Engkau menerapkan kekerasan rezim otoriter dalam mengurus ekonomi rakyat.
Aung San Suu Kyi:
Penyiksaan terjadi menyeluruh di Myanmar. Penyiksaan politik itu terus berlanjut sampai saat ini. “Kami akan memukul setiap kepala yang berani beroposisi politik melawan kami,” demikian refrain politiik mereka. Mereka menahanku karena telingaku mendengarkan suara penderitaan rakyat Myanmar. Mereka hendak memutus hidupku dari hidup rakyatku. Mereka melihatku sebagai cermin yang membongkar wajah buruk politikus yang telah lama meninggalkan hidup rakyatnya.
Menhankam RI:
Apakah engkau pernah mengalami ketakutan akibat represi tak kunjung henti dari rezim otoriter? Apakah engkau menyimpan kebencian dengan rezim otoriter di sanubarimu?
Aung San Suu Kyi:
Tindakan represif militer terhadap rakyat justru menyurutkan ketakutan dalam diriku. Perhatianku pada hidup rakyat Myanmar tak menyisakan ruang untuk kebencian terhadap militer. Namun aku menyadari kebencian sebagai energi negatif yang berpotensi melemahkan perjuangan kami. Perjuangan yang membawa kebenciaan sudah kalah sebelum mulai.
Menhamkam RI:
Sejauh mana ajaran Buddha memberikan kekuatan spiritual kepadamu untuk menjadi suara kebenaran bagi rakyat Myanmar?
Aung San Suu Kyi:
Kekayaan spiritual agama Buddha melepaskan aku dari ikatan ketakutan yang seringkali menghambat keterlibatan hidupku dengan rakyat Myanmar. Agama Buddha adalah agama yang terlibat dengan persoalan kemanusiaan. Rakyat Indonesia memiliki beragam kekayaan spiritual untuk bicara mengenai belas kasih kepada korban. Mohon maaf bila aku memberikan penilaian yang keliru. Namun aku belum banyak mendengar pemimpin agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha serta aliran kepercayaan menggali tema belas kasih aktif. Para pemimpin agama hendaknya mendorong umatnya tidak hanya melafalkan, kredo iman, tetapi juga mempraktekkannya. Sayangnya di Indonesia demonstrasi seperti itu masih banyak terkait dengan atribut keagamaan. Agama belum banyak turun ke jalan untuk persoalan kemanusiaan.
Menhankam RI:
Bagaimana engkau melihat bhiksu dan bhiksuni yang turun ke jalan untuk berdemonstrasi melawan rezim otoriter?
Aung San Suu Kyi:
Aku menaruh hormat kepada bhiksu dan bhikuni yang sungguh menjalankan ajaran Buddha dalam hidup sehari-hari. Banyak dari antara kami yang lahir sebagai penganut Buddha namun kita tidak mempraktekkan ajarannya. Mutilasi atau penggelapan kebenaran misalnya adalah salah satu bentuk kekerasan yang dilarang dalam ajaran Buddha. Kita semua bertanggung jawab menolak kekerasan militer. Belum semua warga Myanmar menyadari tanggung jawab ini.
Menhankam RI:
Bagaimana engkau melawan rezim otoriter yang menggunakan senjata?
Aung San Suu Kyi:
Aku tak pernah ingin mulai membenci mereka yang melakukan penyiksaan politik terhadapku. Jika aku mulai membenci mereka, aku sedang mengalahkan diriku sendiri. Aku tidak membenci mereka karena aku tidak pernah takut terhadap mereka. Kebencian dan ketakutan saling berlipat tangan.
Rezim militer Myanmar hendak memasung aku dengan status tahanan rumah. Mereka tak pernah bisa menahanku karena aku senantiasa menjadi pribadi yang bebas. Aku belajar banyak dari para sahabat gerakan pro-demokrasi yang dibui karena menjadi suara hati nurani rakyat. Aku ingin dunia mendengar bahwa kami masih terpenjara di negeri sendiri.
Menhankam RI:
Aku terbiasa membawa senjata atau pasukan untuk melindungi diriku. Bagaimana engkau membela dirimu?
Aung San Suu Kyi:
Aku membela diri dengan kasih dan kebenaran. Rezim otoriter menggunakan senjata untuk menutupi kejahatannya. Saat militer mengacungkan senjata mereka untuk membubarkan demonstrasi damai, aku mengingatkan pengikutku untuk tidak lari. Aku meminta mereka untuk mendekati mereka sambil bertanya, “Mengapa engkau mengarahkan senjatamu kepada kami? Bukankah kami saudara-saudarimu?” Kasihku pada hidup rakyat Myanmar mengalahkan ketakutanku pada moncong senapan militer.
Menhamkam RI:
Harapan untuk meminta semua warga Myanmar menjadi pribadi seperti engkau terdengar sangat berlebihan di telinga kebanyakan warga Myamar. Bukan begitu?
Aung San Suu Kyi:
Banyak orang melihat diriku lebih sebagai patung atau malaikat Aung San Suu Kyi. Mereka melihatku sebagai pribadi dengan keberanian, kepercayaan diri, dan ketegasan luar biasa dihadapan rezim militer. Aku lebih menyebut diriku sebagai peziarah yang sedang berada di tengah jalan menuju kualitas-kualitas kepribadian itu. Kebenaran adalah senjata paling mematikan untuk melawan ketakutan yang diciptakan rezim otoriter. Siapakah yang tidak menginginkan keamanan dan kebebasan di Myanmar? Pertanyaan ini berlaku pada setiap dari kami yang menyebut diri warga Myanmar. Kekerasan rezim otoriter itu tidak hanya menyerang tubuh individual korban, tetapi tubuh sosial Myanmar.
Menhankam RI:
Tahun 2008 negara kami memperingati 10 tahun tragedi Mei - Semanggi. Mungkinkah ini saat terbaik untuk menyeka air mata masa lalu dan mentap masa depan menuju Indonesia baru dengan mata pengharapan?
Aung San Suu Kyi:
Aku prihatin mendengar penuturan paguyuban keluarga korban yang semakin sendirian menuntut keadilan hukum. Masyarakat bukan korban nampak setengah hati atau kelelahan membela kasus mereka. Sikap setengah hati atau lelah itu menurutku berakar pada ketakutan. Kasih kita tak pernah menjadi aktif karena ketakutan telah memenjarakan hidup kita. Paguyuban korban dan keluarga korban sangat membutuhkan rengkuhan kasih kita yang memeluk hidup mereka. Aku mendorong rakyat Indonesia untuk memiliki belas kasih aktif. Rakyat Indonesia terlalu lama terpenjaran ketakutan untuk berbicara kebenaran.
Menhamkam RI:
Kami, militer Indonesia, berihrar untuk menjadi pengayom rakyat. Kami ingin meninggalkan citra militer sebagai babu rezim otoriter.
Aung San Suu Kyi:
Aku mendengarkan dari radio berbagai aksi demonstrasi paguyuban keluarga korban akibat kekerasan negara di Indonesia. Mereka datang dengan senjata pakaian dan bunga duka. Mereka datang tidak dengan ancaman, tetapi kebenaran yang terancam pelupaan. Namun mereka seringkali dihadang di jalan sebelum mereka sempat berjumpa dengan pemimpin negara kalian. Bahkan mereka pernah diusir paksa dengan kekerasan.
Menhankam RI:
Indonesia sering dituduh sebagai negara yang memiliki ingatan pendek terhadap korban kekerasan negara. Kami lupa karena catatan hidup korban hilang dari catatan sejarah bangsa kami. Bagaimana melawan pelupaan sosial?
Aung San Suu Kyi:
Saat mendapat keistimewaan untuk menerima nobel perdamaian, aku bersyukur karena dunia akhirnya mau berpaling ke Myanmar. Banyak rakyat Myanmar yang lebih menderita daripada aku namun mereka tidak mendapatkan perhatian sepertiku. Aku berharap semakin banyak warga dunia tak hanya bicara tentang Myanmar, tetapi berbicara dengan rakyat Myanmar. Kisah penderitaan mereka banyak hilang dihapus dengan tinta putih oleh rezim otoriter. Terlalu lama situasi mereka yang sebenarnya hilang karena dihapus dengan tinta putih oleh rezim otoriter. Pelupaan mulai dengan penghapusan sistematis kisah korban dari ingatan sosial.
Menhankam RI:
Terima kasih banyak saudariku. Engkau membuka selubung di mataku yang menghalangiku melihat dunia korban.
Bibliografi:
Kapan Tuntas?: Dokumentasi Visual Tragedi Kemanusiaan Mei 1998 (2005), disusun atas kerja sama Forum Keluarga Korban Mei 1998 (FKKM 98), Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI), Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Indonesia (APHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan Negara (KontraS), dan Solidaritas Nusa Bangsa (SNB).
Mass Graves: Dokumentasi Visual Tragedi Kekerasan Negara yang Dikenai Stigma PKI (2002)
Suu Kyi, Aung San. Letters from Burma. With an Introduction by Fergal Keane. London: Penguin Books,1997.
________. The Voice of Hope: Conversations with Alan Clements. New York: The Seven Stories Press, 1997.
Wardaya, Baskara T. Membongkar Supersemar: Dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno. Yogyakarta: Galang Press, 2007.
1 comment:
Apakah Anda perlu pinjaman tanpa jaminan untuk mendirikan sebuah bisnis atau pinjaman untuk renovasi dan banyak lagi, pencarian tidak lebih, kami adalah perusahaan yang sah dan pada tingkat bunga rendah dari 2% dan bersedia untuk meminjamkan jumlah yang Anda ingin meminjam dan membuat tahun ini yang berhasil untuk Anda. Mohon mengisi data pinjaman ini di bawah ini dan menghubungi kami melalui email perusahaan kami: gloryloanfirm@gmail.com.
Nama lengkap: _______________
Negara: __________________
Sex: ______________________
Umur: ______________________
Jumlah Pinjaman Dibutuhkan: _______
Durasi Pinjaman: ____________
Tujuan pinjaman: _____________
Nomor ponsel: ________
Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi kami sekarang melalui email: gloryloanfirm@gmail.com
Post a Comment