Sumber dokumentasi: blontankpoer.blogsome.com/images/monolog_gund...
Tanggapan negatif pemerintah junta Myanmar atas pernyataan Dewan Keamanan PBB hendaknya diletakkan dalam pigura mentalitas rezim otoriter. Dialog tidak pernah ada dalam kamus politik rezim otoriter. Mereka tidak mengenal komunikasi politik. Mereka hanya mengenal monolog politik. Gerakan oposisi demokratis, seperti LND yang diketahui Aung San Suu Kyi, tak pernah diperlakukan sebagai partner dialog. Sebaliknya mereka dipandang sebagai musuh politik yang harus dihancurkan. Penghancuran gerakan oposisi demokratis merupakan aktivitas utama rezim otoriter.
Aung San Suu Kyi dengan gerakan oposisi demokratisnya berusaha melawan politik senapan yang dipakai rezim otoriter. Politik senapan memiliki kredo yang memegang pelatuk senapan memegang tampuk kekuasaan. Politik senapan mengeluarkan rakyat dan gerakan oposisi demokratis dari panggung politik secara paksa. Rakyat dan gerakan oposisi demokratis terus-menerus dilumpuhkan dengan kekerasan. Harapannya, mereka akan patuh total kepada rezim otoriter.
Aung San Suu Kyi adalah figur simbolik di Myanmar yang melakukan resistensi aktif terhadap penghancurkan komunikasi politik. Ia terus-menerus mengundang pemerintah junta militer untuk melakukan dialog politik. Suu Kyi memandang rezim otoriter melakukan kedosaan besar dengan menyingkirkan rakyat dari panggung politik. Menurut Suu Kyi, rakyat adalah pondasi politik. Politik yang dibangun dengan pondasi senjata itu bagaikan membangun rumah di atas pasir.
Politik senapan hanya menyisakan ketakutan dan belenggu. Sebaliknya politik demokratis memberikan rasa aman dan kebebasan. Demonstrasi gerakan-gerakan oposisi demokratis di Myanmar beberapa waktu terakhir ini hendaknya dibaca sebagai aktivitas mengembalikan rasa aman dan kebebasan dalam masyarakat. Rakyat Myanmar sudah terlalu lama hidup dalam penjara ketakutan dan belenggu. Ketakutan dan belenggu itu telah melumpuhkan, bahkan nyaris mematikan hampir seluruh dimensi kehidupan rakyat Myanmar.
Kita menghargai desakan Dewan Keamanan PBB untuk meminta rezim otoriter untuk mau berdialog politik dengan gerakan oposisi demokratis. Dialog politik yang selama ini didengung-dengungkan rezim otoriter Myanmar sebenarnya tak pernah terjadi hanya ada satu pemain tunggal. Gerakan oposisi demokratis, yang diwakili Aung San Suu Kyi, tak pernah dipandang sebagai partner dialog. Aung San Suu Kyi memberikan gesture politik yang sangat mengagumkan saat ia ditanya mengenai kemungkinan melakukan dialog politik dengan rezim otoriter. “Yang pertama-tama saya lakukan adalah mendengarkan,” tutor Suu Kyi dalam The Vision of Hope (1997). Sampai saat ini rezim otoriter tidak memiliki telinga yang mendengarkan. Mereka hanya memiliki mulut yang terus-menerus mengancam gerakan oposisi demokratis untuk menciptakan kepatuhan total.
Tanggapan negatif pemerintah junta Myanmar atas pernyataan Dewan Keamanan PBB hendaknya diletakkan dalam pigura mentalitas rezim otoriter. Dialog tidak pernah ada dalam kamus politik rezim otoriter. Mereka tidak mengenal komunikasi politik. Mereka hanya mengenal monolog politik. Gerakan oposisi demokratis, seperti LND yang diketahui Aung San Suu Kyi, tak pernah diperlakukan sebagai partner dialog. Sebaliknya mereka dipandang sebagai musuh politik yang harus dihancurkan. Penghancuran gerakan oposisi demokratis merupakan aktivitas utama rezim otoriter.
Aung San Suu Kyi dengan gerakan oposisi demokratisnya berusaha melawan politik senapan yang dipakai rezim otoriter. Politik senapan memiliki kredo yang memegang pelatuk senapan memegang tampuk kekuasaan. Politik senapan mengeluarkan rakyat dan gerakan oposisi demokratis dari panggung politik secara paksa. Rakyat dan gerakan oposisi demokratis terus-menerus dilumpuhkan dengan kekerasan. Harapannya, mereka akan patuh total kepada rezim otoriter.
Aung San Suu Kyi adalah figur simbolik di Myanmar yang melakukan resistensi aktif terhadap penghancurkan komunikasi politik. Ia terus-menerus mengundang pemerintah junta militer untuk melakukan dialog politik. Suu Kyi memandang rezim otoriter melakukan kedosaan besar dengan menyingkirkan rakyat dari panggung politik. Menurut Suu Kyi, rakyat adalah pondasi politik. Politik yang dibangun dengan pondasi senjata itu bagaikan membangun rumah di atas pasir.
Politik senapan hanya menyisakan ketakutan dan belenggu. Sebaliknya politik demokratis memberikan rasa aman dan kebebasan. Demonstrasi gerakan-gerakan oposisi demokratis di Myanmar beberapa waktu terakhir ini hendaknya dibaca sebagai aktivitas mengembalikan rasa aman dan kebebasan dalam masyarakat. Rakyat Myanmar sudah terlalu lama hidup dalam penjara ketakutan dan belenggu. Ketakutan dan belenggu itu telah melumpuhkan, bahkan nyaris mematikan hampir seluruh dimensi kehidupan rakyat Myanmar.
Kita menghargai desakan Dewan Keamanan PBB untuk meminta rezim otoriter untuk mau berdialog politik dengan gerakan oposisi demokratis. Dialog politik yang selama ini didengung-dengungkan rezim otoriter Myanmar sebenarnya tak pernah terjadi hanya ada satu pemain tunggal. Gerakan oposisi demokratis, yang diwakili Aung San Suu Kyi, tak pernah dipandang sebagai partner dialog. Aung San Suu Kyi memberikan gesture politik yang sangat mengagumkan saat ia ditanya mengenai kemungkinan melakukan dialog politik dengan rezim otoriter. “Yang pertama-tama saya lakukan adalah mendengarkan,” tutor Suu Kyi dalam The Vision of Hope (1997). Sampai saat ini rezim otoriter tidak memiliki telinga yang mendengarkan. Mereka hanya memiliki mulut yang terus-menerus mengancam gerakan oposisi demokratis untuk menciptakan kepatuhan total.
No comments:
Post a Comment