Kuasa Kata: Menyapa
Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.
Mutiara Andalas, S.J.
Wednesday, October 24, 2007
Monolog Rahim
Sumber dokumentasi: upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/2a/V...
[Tulisan ini merupakan kelanjutan dari proyek penulisan buku Berpaling kepada Wajah Korban: dari Amnesia menuju Anamnesis. Tulisan ini akan membedah narasi korban kekerasan seksual sebagai empati terhadap korban kekerasan seksual dalam tragedi kekerasan negara 1998]
A Nation is not conquered until the hearts of women are on the groundThe wisdom of Cheyenne
Judith Herman (1992) menyatakan bahwa pelaku kekerasan seksual meminta mereka yang ada di sekitar lokasi kejadian perkara untuk tak berbuat apa-apa, tak menghiraukan kekerasan itu. Sementara itu korban kekerasan seksual meminta aksi, keterlibatan, dan kenangan.
“In order to escape accountability for his crimes, the perpetrator does everything in his power to promote forgetting. Secrecy and silence are the perpetrator’s first line of defense. If secrecy fails, the perpetrator attacks the credibility of his victim. If he cannot silence her absolutely, he tries to make sure that no one listens. To this end, he marshals an impressive array of arguments, from the most blatant denial to the most sophisticated… rationalization. After every atrocity one can expect to hear the same predictable apologies: it never happened; the victim lies; the victim exaggerates; the victim brought it upon herself; and in any case it is time to forget the past and move on. The more powerful the perpetrator, the greater is his prerogative to name and define reality, and the more completely his arguments prevail (p. 8).
Judith Herman berpendapat bahwa untuk memutus kekuasaan argumen pelaku membutuhkan suatu konteks sosial yang meneguhkan dan melindungi korban dan menggabungkan korban dan saksi dalam suatu aliansi bersama (p. 9). Bagi korban kekerasan, relasi dengan keluarga, sahabat, dan orang yang mencintainya menciptakan konteks ini. Untuk masyarakat luas (the wider society), konteks sosial itu diciptakan oleh gerakan-gerakan politik yang menyuarakan mereka yang tidak memiliki kuasa (p.9).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Romo, aku tunggu bukunya. Sudah nggak sabar ingin baca.
Nanti saya kasih sneak previewnya deh. Paling cepet Desember 2007 draft finalnya kelar. Lumayan ketar-ketir sich nunggu teman-teman dari Indonesia untuk menulis beberapa kisah perjumpaan dengan korban.
Post a Comment