Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Wednesday, October 24, 2007

Martir Politik: Membela Hidup Korban di Negara Kriminal



Sumber dokumentasi: www.ysuca.org.sv/Padre%20Jon%20Sobrino%20sj.jpg

Martir Politik:
Membela Hidup Korban di Negara Kriminal

Oleh Patrisius Mutiara Andalas, S.J.

Gloria Dei, vivens homo; vanitas Dei, moriens homo
Jon Sobrino, Jesus in Latin America (1987), 99

Kemartiran perlu didekonstruksi dari kelekatannya dengan ruang agama. Ia harus ditarik keluar untuk berdialog dengan realitas negara Indonesia yang berpredikat kriminal terhadap hidup korban. Perjumpaan dengan mereka yang mengalami kematiran prematur karena membela hidup korban mengundang agama untuk melihat ulang potret kemartiran yang selama ini beredar di kalangan komunitas hidup beriman. Para aktivis Hak Asasi Manusia menyebut mereka yang mengalami kematian prematur ini sebagai pejuang hak asasi manusia. Instituís agama juga diundang untuk menamai mereka.
Jon Sobrino, teolog pembebasan terkemuka dari El Salvador, memecah kebisuan insitusi agama dengan kosa kata barunya kemartiran politik. Sobrino menyebut mereka yang mengalami kematian prematur demi memuela hidup korban sebagai martir politik. Ia melepaskan lekatan “iman” yang selalu mengikuti kata “martir.” Ia kemudian melekatkan dua kata yang sepintas berada di dua sisi yang saling berjauhan, yaitu “kemartiran” dan “politik.” Tulisan ini hendak meneruskan dialog kemartiran politik yang telah diawali Jon Sobrino dalam konteks Indonesia pasca tragedi kemanusaian 1998.

Allah Kehidupan pada Salib Sejarah
Jon Sobrino memandang iman kristiani dalam relasi dengan penindasan. Sobrino memandang penindasan sebagai situasi de facto Dunia Ketiga di era globalisasi dan situasi de jure yang tersebar dalam kitab suci dalam relasi dengan pesan keselamatan. Ia menghindari pembicaraan mengenai penindasan yang terjebak pada kotak duka cita di satu sisi dan asketisme di sisi yang lain. Ia juga menghindari diskusi pembebasan yang diceraikan dari realitas penindasan. Ia menampilkan hidup beriman kepada Allah yang berangkat dari titik awal penderitaan dan bermuara pada praksis kasih yang liberatif terhadap rakya tersalib.
Penindasan terhadap korban sejarah merupakan pengabaian terhadap Allah dan ketidakadilan terhadap korban. Ia membaca kisah Yesus sebagai sosok yang mencari jalan untuk membebaskan mereka yang miskin dari penderitaan mereka. Yesus melihat bahwa solidaritas bersama korban penderitaan itu absen dalam masyarakat saat itu dan ia memilih untuk masuk dalam dunia korban. Ia tidak hanya mendekati mereka sebagai individu, tetapi juga sebagai komunitas. Dosa membuat dunia tidak bisa duduk bersama dan menyantap makanan dari meja perjamuan yang sama. Dosa membuat tembok pemisah antara serigala yang pemburu kehidupan domba dan domba yang menjadi calon korban serigala. Ia mengutuk situasi sosial yang tidak adil. Ia menyentuh semua lapisan yang terlibat dalam penindasan, entah itu institusi agama, politik, sosial, dan akademik
Ia mengembalikan kata kasih dalam arti subversifnya. Alamat penerima pesan kasihnya adalah mereka yang sedang berada dalam penderitaan. Mereka menempati posisi mayoritas dan mereka adalah buah negatif dari penindasan. Pertanyaan mengenai cinta harus dijawab dengan tindakan aktif keadilan. Kita juga menyentuh pelaku yang mempraktekkan cinta. Ia mendekati, bukan menjauhi korban. Ia mau menjadi sesama bagi korban. Allah mengasihi kita yang mengasihi korban. Kasih adalah realisasi kehendak Allah.
Jon Sobrino mengundang kita untuk mengikuti Allah pembebasan. Berbeda dengan para teolog lain yang membedah pembebasan (liberation) dalam relasi dengan kebebasan (freedom), Sobrino mengembalikan diskusi pembebasan (liberation) dalam relasi intrinsiknya dengan kehidupan (life). Ia prihatin dengan rutinitas kita melafalkan kredo Allah kehidupan, namur mengingkari verifikasi historisnya. Pengingkaran ini mengambil bentuk penciptaan illah-illah kematian kontemporer. Sobrino menarik diskusi mengenai berhala (idolatry) yang semula terbatas pada konsep teologis menjadi realitas antropologis. Ia menyingkap wajah Allah kehidupan dengan membongkar topeng illah-illah palsu ciptaan manusia yang mengingkari kehidupan dan menciptakan kematian (the divinities of death).
Mediasi pertama dari realitas Allah adalah kehidupan. Allah mendukung kehidupan manusia. Sebaliknya, illah kematian mengingkari kehidupan dan memproduksi kematian prematur. Yesus yang memeluk Allah kehidupan berkonflik dengan representasi illah-illah kematian. Ia mengalami ekskomunikasi dari pejabat agama dengan memaksa Yesus keluar secara paksa dari sinagoga dan bait Allah. Ia mengalami pengucilan dari tempat simbolik kehadiran Allah. Konflik itu memuncak dengan peristiwa penyaliban Yesus di Golgotha. Ia menanggalkan rasa aman, martabat, dan bahkan kehidupannya sebagai solidaritas dengan rakyat tersalib. Penderitaannya tidak didorong oleh asketisme religius, tetapi solidaritas dengan korban. Ia menjadi korban kekerasan dalam bentuknya yang paling barbar, yaitu hidupnya dilucuti hingga ia mengalami kematian prematur di atas salib di tangan representasi berhala-berhala kematian.
Yesus wafat sebagai saksi setia dari kasih Allah kepada umat manusia yang mengalami penderitaan. Kesetiaannya kepada sejarah [korban] membuat kesetiaannya kepada Allah dapat dipercaya; kepercayaannya kepada Allah kesetiaan kepada sejarah. Latar belakang konflik Yesus yang membawa pada wafatnya bukan atheisme dalam arti literal, melainkan berhala (idolatry). Keselamatan memiliki subyek dan dosa memiliki obyek. Allah menyelamatkan hidup korban, sebaliknya para pemeluk berhala kematian mengambil paksa hidup korban.
Kita seringkali terperangkap dalam pemahaman yang salah mengenai salib Yesus. Tanpa salib, kebangkitan menjadi idealistik. Kebangkitan menjadi real karena kita menghiraukan salib. Salib Yesus mengimplikasikan konsep baru dan revolusioner akan Allah baik pada level teoritis maupun praksis. Salib mengalami pendangkalan dan kehilangan unsur skandalnya karena kita menempatkannya dalam ruang isolasi dari sejarah konkrit Yesus dan dari Allah. Yesus memanggul salib karena ia memeluk Allah kehidupan dan berkonflik melawan para penguasa politik dan agama yang memeluk illah-illah kematian. Allah kehidupan hadir dalam kematian Yesus di salib. Allah menunjukkan solidaritas dengan mereka yang memanggul salib-salib sejarah dengan salib Yesus. Allah menyingkapkan wajah kasih-Nya melalui salib penderitaan. Kita diundang untuk menemukan kehadiran Allah dalam manusia zaman ini yang memanggul salib-salib sejarah.
Salib bukan kata akhir dari Allah kehidupan. Allah menanggapi tindakan kriminal manusia dengan membangkitkan Yesus. Peristiwa kebangkitan menggugat kita dengan pertanyaan mengenai apakah kita berada di sisi Allah kehidupan atau illah kematian. Kita berhadapan dengan mereka yang menjadi korban dan mereka yang memproduksi kematian korban. Kebangkitan Yesus memberikan harapan kepada mereka yang disalib sejarah (the crucified of history) sebelum dan sesudah diri-Nya. Laki-laki dan perempuan mengalami kematian prematur dengan cara diculik, disiksa, dibakar, atau ditembak. Lebih banyak orang lagi mengalami kematian prematur perlahan karena struktur ketidakadilan. Pertanyaan yang senantiasa relevan diajukan kepada Gereja adalah kesediaannya menyatukan diri dengan salib Yesus dan salib-salib sejarah kontemporer lainnya. Penyaliban terhadap rakyat tersalib berganti wajah, namun penyaliban terus-menerus berlangsung menghilangkan wajah korban.
Untuk menjadi murid Yesus di dunia kontemporer yang kriminal ini, Jon Sobrino mengajukan tiga prinsip utama. Pertama, kita jujur dengan kebenaran. Ketidakadilan membui kebenaran dengan kebohongan. Belas kasih merupakan tanggapan jujur terhadap realitas penderitaan. Kedua, kesetiaan merupakan harmoni sempurna kejujuran kita dengan realitas. Kasih kristiani adalah kasih yang tersalib karena berkonfrontasi dengan kuasa-kuasa kematian anti-kasih. Kasih dan harapan merupakan buah kesetiaan terus-menerus dengan realitas. Ketiga, kita membuka diri terhadap realitas yang membimbing kita. Realitas menumbuhkan harapan dan memfasilitasi kasih. Realitas memberikan arah pada peziarahan sejarah.


Kesucian Korban
Perjumpaan real dengan korban mendorong Jon Sobrino untuk berbicara mengenai kesucian korban. Sobrino membedakan kesucian primordial (the primordial saintliness) dengan kesucian keutamaan (the saintliness of virtue). Korban memiliki kehendak untuk hidup. Berbeda dengan kesucian keutamaan, mereka tidak memiliki keinginan orang lain meneladan mereka. Meskipun orang lain jarang meneladan mereka, namun mereka merupakan kehadiran Allah.
Jon Sobrino menarik kita untuk tidak melihat tokoh-tokoh besar, melainkan kepada pribadi-pribadi biasa, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang tua, korban penindasan dan dibunuh secara brutal, yang sebagian besar anonim. Berbeda dengan para kudus dalam Gereja Katolik yang menerima kanonisasi, saat mereka mengalami kematian premature, kita tidak memiliki sebuatan untuk mengekspresikan martabat kematian mereka dihadapan Allah. Sobrino melihat bahwa memberi nama yang sesuai dengan martabat mereka itu penting. Kalau mereka menyebut saudara-saudari mereka sebagai martir, sebutan itu lahir untuk mengakui martabat pribadi-pribadi yang mengalami kematian prematur.
Jon Sobrino melihat arah baru dalam pemahaman kita mengenai kemartiran. Kita terbiasa menggunakan sebutan martir untuk mereka yang meninggal untuk membela iman. Sebutan martir itu sekarang juga mencakup mereka yang mengalami kematian premature karena membela keadilan. Sobrino menangkap kemartiran dari sudut pandang Yesus. Martir adalah sebutan untuk mereka yang mewartakan kerajaan Allah dan berkonflik melawan kuasa-kuasa anti-kerajaan Allah. Mereka berpartisipasi dalam realitas Yesus secara aktif ataupun pasif. Mereka yang mengalami penderitaan dalam hidup dan kematian secara premature merupakan ekspresi dari penderitaan dunia kita.
Sobrino mengundang institusi agama untuk memikirkan realitas korban yang di satu sisi massif dan di sisi yang lain anonim. Ia memberi nama pada suara anonim mereka. Kisah mereka sering mudah tenggelam di media massa. Sobrino mengundang kita untuk mendengarkan panggilan dari rakyat tersalib untuk solider dengan hidup mereka. Kita mengalami bahwa hati kita seringkali membatu dan berjarak.


Bibliografi:

Sobrino, Jon. Jesus in Latin America. Maryknoll, NY: Orbis Books, 1987.

________. Spirituality of Liberation: Toward Political Holiness. Maryknoll, NY: Orbis Books, 1989.

________. Where is God? Earthquake, Terrorism, Barbarity, and Hope. Maryknoll, NY: Orbis Books, 2004.

Sobrino, Jon and Ignacio Ellacuria. Eds. Systematic Theology: Perspectivas from Liberation Theology. Maryknoll, NY: Orbis Books, 2001.

No comments: