Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Monday, October 29, 2007

Negara Kriminal

Negara Kriminal
In Memoriam Ita Martadinata dan Munir Said Thalib

Oleh Patrisius Mutiara Andalas, S.J.

Teror bukan penghalang penegakan hak asasi manusia
Munir Said Thalib (1965 – 2004)

Kematian prematur menyerang tubuh korban dan pendamping korban. Kematian mereka sebagian besar berakhir dengan tanda tanya. Apakah mereka mengalami kematian prematur karena kriminalitas biasa atau negara? Pertanyaan ini seringkali menghentikan langkah kita untuk karena kita berada di tapal batas wilayah kebenaran. Kutub lain dari kebenaran, bagi mereka yang berbela rasa dengan hidup korban, bukan ketidakbenaran, melainkan kebohongan. Tulisan ini lahir untuk mengisahkan kebenaran realitas yang seringkali mengalami mutilasi kebohongan. Ia mendengarkan penuturan mereka yang berada dekat dengan hidup korban. IMereka yang berada di sisi korban berkeyakinan bahwa negara adalah terdakwa utama kriminalitas terhadap kematian prematur korban.

Tulisan ini berfokus pada kisah almarhumah Ita Martadinata (1980 – 1998) dan
almarhum Munir Said Thalib (1965 – 2004).
Kematian prematur Ita Martadinata menarik perhatian publik karena terkait dengan kesaksian beberapa korban kekerasan seksual dalam tragedi kekerasan negara Mei 1998 yang akan memberikan kesaksian di depan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Pihak kepolisian menolak dugaan bahwa kematian prematurnya terkait dengan aktivitas keluarganya dengan para korban kekerasan seksual. Mereka melihat kematian prematurnya sebagai akibat kriminalitas biasa bermotif perampokan. Kematian Munir, aktivis hak asasi manusia yang mengabdikan hidupnya untuk korban penghilangan paksa dan kekerasan negara lain, diyakini karena racun arsenik yang ditaruh di minumannya dalam perjalanannya dari Jakarta menuju Ámsterdam. Aparat keamanan menolak keterlibatannya dalam kematian militer.

Kebenaran Bercak Darah
Dalam kasus Ita Martadinata dan Munir, telah terjadi pertarungan antara sahabat korban melawan negara. Dari perspektif korban, yang terjadi bukan kontestasi antarkebenaran, melainkan kebenaran melawan kebohongan. Kebenaran bahkan dari pihak keluarga korban tidak selalu sampai dalam kondisi lengkap. Situasi internal korban dan situasi eksternal non-korban acapkali membuat kebenaran sampai ke publik dalam keadaan sudah rusak. Rm. Sandyawan Sumardi mengundang publik untuk mendengarkan kebenaran yang tak terucapkan. Publik hanya dapat mendengarkan kesaksian mereka jika mereka memiliki telinga yang berhati kemanusiaan.

Pada desempatan ini kami [Tim Relawan untuk Kemanusiaan] mengajak masyarakat untuk memahami kondisi lelah keluarga, termasuk Evi Suriadinata, kakak almarhum Marthadinata dalam memberikan keterangan kepada pers. Karena itu kami berharap masyarakat bersedia untuk tidak hanya mendengarkan apa yang telah diungkapkan Evi dan keluarga, tetapi juga bersedia mendengarkan apa yang sebenarnya ingin diungkapkan.

Kematian prematur Ita Martadinata menyadarkan kita bahwa kekerasan negara dapat melangsungkan kriminalitasnya dengan mata buta. Kekerasan negara tidak hanya menyerang target korban, tetapi juga mereka yang berada di sekitar target korban. Mereka ingin melumpuhkan target korban dengan melumpuhkan dunia sosial yang berada di sekitarnya. Mereka melihat bahwa lingkaran dekat target korban merupakan titik lemah target korban. Ibunda Ita, Wiwin Haryono, adalah anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang melayani konseling dari korban kekerasan seksual dalam tragedi kekerasan negara Mei 1998. Ia sedang mempersiapkan diri untuk memberikan kesaksian mengenai fakta kekerasan seksual dalam tragedi kekerasan negara itu dihadapan sebuah lembaga hak asasi manusia di Amerika Serikat.

Pembunuhan seperti terhadap Ita adalah sebuah kesaksian tentang bentuk praktek
kejahatan terhadap kemanusiaan disamping intimidasi, teror dan provokasi yang
terus berlangsung di tengah-tengah kita…. Lebih memprihatinkan lagi karena
korban-korban kejahatan itu adalah orang-orang, anggota masyarakat sederhana
yang justru memiliki harapan akan berdirinya suatu bangunan peradaban baru yang
menghormati kemanusiaan.

Perlindungan terhadap korban dan saksi korban masih absen di negara kita. Dalam situasi demikian, posisi korban dan saksi korban sangat rentan mengalami kekerasan. Kasus kekerasan seksual dalam tragedi kekerasan negara Mei 1998 memiliki tegangan politik sangat tinggi karena menempatkan negara, terutama aparat militer, sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atasnya. Masih absennya perlindungan terhadap korban dan saksi korban membuat mereka membuat mekanisme untuk melindungi diri sendiri. Mekanisme perlindungan diri korban dan saksi korban ini mengandung resiko bahwa kita sulit berjumpa langsung dengan korban kekerasan seksual dalam tragedi kekerasan negeri Mei 1998.

Peristiwa duka itu [kematian Ita ] adalah gambaran tantangan yang harus kami
hadapi selama tidak ada upaya perlindungan dan jaminan keamanan bagi kegiatan
kemanusiaan kami. Persis tantangan ini pula yang membuat Tim Relawan untuk
Kemanusiaan tak bergeming sekalipun didesak memperkenalkan saksi dankorban
tindak kejahatan kemanusiaan. Kematian Ita adalah kesaksian nyata yang
mengundang kita semua untuk membangun pertahanan bersama untuk menjamin keamanan
setiap warga yang ingin mewujudkan perhatiannya pada kerja kemanusiaan dan
melindungi setiap warga yang ingin mewujudkan perhatiannya pada kerja
kemanusiaan dan melindungi setiap korban yang mempertaruhkan kepercayaan kepada
kita.

Aparat kepolisian menyangkal dugaan keterkaitan pembunuhan Ita dengan keterlibatan ibunya dan Ita sebagai relawan kemanusiaan. Temuan ahli forensik kepolisian justru menyelidiki perilaku seksual korban. Mereka menyatakan bahwa korban telah melakukan aktivitas seksual selama berkali-kali sebelum tragedi Mei 1998. Aktivitas kepolisian ini menghancurkan kredibilitas korban dihadapan publik. Relawan Kemanusiaan juga mengungkap fakta adanya ancaman terhadap keluarga tenaga medis yang hendak memberikan kesaksian mengenai kekerasan seksual Mei. Mereka melihat Romo Sandyawan Sumardi, yang mewakili Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) dalam siaran persnya menyatakan. Mereka adalah korban kriminalitas negara dan saksi kebenaran.

Kami tidak ingin sekedar menghitung deretan jumlah angka korban. Kami ingin
relajar merengkuh para korban sebagai manusia yang telah dipecah, dihilangkan
keutuhan haknya sebagai manusia. Mereka adalah para saksi kebenaran yang tak
akan pernah berhenti menyerukan suara gugatan pada setiap pelaku kejahatan pada
kemanusiaan. Mereka adalah sosok manusia yang menjadi batu penjuru sebuah
bangunan peradaban baru. Karena itu kami ingin mencoba menyatukan jeritan
pengharapan dari setiap korban.

Kebenaran Bertaruh Nyawa
Munir Said Thalib (8 Desember 1965 – 7 September 2004) mulai terlibat sebagai relawan kemanusiaan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Surabaya dan berlanjut ke kota-kota lain. Di Surabaya Munir berjumpa dengan para buruh yang selalu berhadapan dengan militer setiap kali memperjuangkan gaji yang lebih adil dari perusahaan. Perhatiannya terhadap kekerasan militer berlanjut dengan kutukan terhadap penghilangan paksa aktivis pro-reformasi 1998. Ia juga menggugat kekerasan militer di Timor Timar, Papua, dan Aceh.
Sebagian orang menyebutnya sebagai anti-pemerintah, militer dan polisi. Sebutan
itu mengesampingkan fakta bahwa ia melawan mereka karena ia mencintai negara dan
warga Indonesia yang menjadi korban kekerasan negara.

Suciwati sangat terkejut dengan kematian suaminya karena terjadi di era reformasi. Ia mengira era reformasi telah menghapus cara-cara kekerasan di era Orde Baru. Kenyataannya, kekerasan terhadap aktivitas hak asasi manusia masih mengalami pengulangan. Ia mengundang otoritas penegak hukum di Indonesia untuk menggali kebenaran dengan mengajukan pertanyaan kunci:
Siapa yang membunuh Munir? Ia mengundang rakyat Indonesia untuk mendesak
otoritas penegak hukum untuk menjawab pertanyaan itu.
Keadilan hukum bagi korban hanya berakhir menjadi mimpi jika mayoritas masyarakat non-korban apatis terhadap pertanyaan paguyuban korban.

Munir sangat kritis terhadap perilaku aparat keamanan dihadapan hukum. Aparat keamanan dapat melakukan kekerasan dan mendapatkan imunitas hukum. Fakta ini tak mencoreng citra mereka dihadapan masyarakat, dan merugikan masyarakat yang menjadi korban kekerasan mereka.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mampu menjangkau
kejahatan-kejahatan yang dilakukan aparat secara langsung. Munir bertaruh nyawa
dengan aktivitas kemanusaiaannya. Ia mengalami teror seperti dialami korban
dampingannya.
Teror, bagi Munir, bukan penghalang penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Saat menerima teror dan polisi setempat memberikan perlindungan keamanan, ia mempersilakan polisi untuk melakukan tugas mereka yang lebih penting daripada melindungi keselamatannya.

Aung San Suu Kyi, aktivis hak asasi manusia dari Myanmar, juga menemukan keberanian dari konfrontasi terus-menerus dengan realitas kekerasan. Keberanian dapat merupakan rahmat. Namun, Suu Kyi lebih melihat bahwa kebenaran lahir dari habitus melawan teror. Ia menolak ketakutan mendikte hidupnya. Keberaniannya terus-menerus diperbaharui berhadapan dengan kekerasan militer. Setiap orang harus memiliki keberanian dan tidak menggantungkan diri pada keberanian orang lain.
Rezim otoriter berusaha membakukan ketakutan sebagai tatanan perilaku warganya.
Mereka memproduksi habitat ketakutan dengan target melumpuhkan peziarahan
aktivis kemanusiaan akan kebenaran.

Munir menyatakan bahwa Allah dalam agama Islam membela hidup mereka yang miskin dan tertindas. Islam menegakkan keadilan. Allah memanggil setiap orang yang mengaku dirinya muslim untuk berada di sisi mereka yang miskin dan tertindas. Panggilan Allah ini menuntut jawaban radikal dari seorang muslim. Ia membela korban saat ia memalingkan wajahnya kepada kebenaran. Ia akhirnya menemukan bahwa berada di sisi mereka merupakan panggilan dan kepercayaan hidupnya. Perjuangan religius seorang Muslim adalah membangun masyarakat yang adil. Ia akan meninggalkan Islam seandainya Islam tidak mengerjakan keadilan.

Pembunuhan Munir menyisakan tanda tanya mengenai pelakunya. Suciwati, isteri Munir, melihat kematian suaminya sebagai tindakan kejahatan konspiratif. Ia berhadapan dengan apatisme elite negara terhadap kasusnya. Dalam suratnya, Suciwati menanyakan komitmen negara melalui presiden mengenai keadilan hukum di Indonesia.

“Bapak Presiden, hari ini dua tahun yang lalu saya mengingatkan kembali pada
Bapak akan sebuah tragedi, sebuah kematian yang sangat konspiratif, yaitu
pembunuhan Munir, suami saya. Kematian yang menyisakan tanda tanya besar tentang
siapa pelaku utamanya, yang sampai saat ini belum terungkap. Menutupkan kedukaan
yang lebih dalam, bukan hanya karena kejadian jahat itu, tetapi juga karena
ketidakpedulian segelintir elite di negeri ini terhadap tragedi ini. Saya
berharap segelintir elite itu tidak termasuk Bapak [Presiden] yang terhormat…
Meskipun Bapak [Presiden] telah menyerukan agar semua pihak terbuka terhadap
investigasi kasus ini, seruan ini tak lebih skedar imabuan. Kalau Bapak sebagai
seorang presiden saja tidak digubris, bagaiman masyarakat sipil yang tidak punya
kuasa apa pun?

Kasus Munir mengundang pesimisme di bidang hukum karena pengadilan jelas-jelas memutuskan bahwa Munir dibunuh, tetapi tidak ada pembunuhnya. Putusan pengadilan memenangkan tersangka. Hakim memenangkan impunitas. Keputusan itu membongkar wajah rusak hukum di Indonesia. Keputusan pengadilan itu bermaksud mematahkan harapan Suciwati. Namur ia tak akan mundur mencari keadilan.
Kita tidak akan pernah gentar dengan putusan yang terus-menerus mematahkan
harapan kami. Mematahkan terus-menerus para pencari keadilan ini. Tetapi kita
akan terus-menerus memeinta perubahan terhadap sistem hukum kita yang memang
pada saat ini kita tahu secara bersama, betapa rusaknya sistem hukum kita.

Saya ini selalu mempunyai harapan, karena ini persoalannya bukan kasus Munir saja tetapi persoalan kredibilitas bangsa kita. Apakah negara kita memang selalu mau dianggap melecehkan hukum atau tidak? Ini persoalan kredibilitas bangsa kita. Apakah negara kita memang selalu mau dianggap melecehkan hukum atau tidak?

Ketelanjangan Korban, Kriminalitas Negara
Michael Ignatieff dalam Human Rights as Politics and Idolatry (2001) membuka mata kita dengan fakta bahwa permintaan hak asasi manusia itu berasal dari mereka yang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia. Ujian terhadap hak asasi manusia itu berasal dari mereka yang digebuki, diancam, disiksa, dan bentuk-bentuk pelanggaran lain yang terhadap kemanusiaan korban. Meneruskan pemikiran Hannah Arendt dalam The Origins of Totalitarianism (1973), Ignatieff melihat bahwa
pelucutan hak-hak sipil dan politik korban membuat mereka berdiri telanjang
sebagai manusia dihadapan para pelaku kekerasan negara. Holocaust adalah contoh
kegagalan pelaku kekerasan negara untuk berbelas kasih kepada korban.
Penderitaan korban tidak menggerakkan hati para pelaku kekerasan negara. Kita
sebagai generasi umat manusia yang diserakkan berbagai tragedi kemanusiaan harus
memiliki iman akan hak asasi manusia.

Kematian prematur Ita Martadinata dan Munir Said Thalib mengingatkan kita bahwa kekerasan negara berada dalam tanda seru. Negara tidak hanya menelanjangi hidup korban dengan kekerasan, melainkan juga juga mementaskan pornografi kekerasan terhadap pendamping korban. Era reformasi belum menjamin perlindungan terhadap hidup korban dan pendamping korban. Seruan keadilan hukum tak boleh hanya diserukan korban hidup dan pendamping korban. Mereka berharap kita, semua rakyat Indonesia, menyerukan pesan senada. Selama negara masih berpredikat kriminal, setiap dari kita berpotensi menjadi korban kekerasannya (SELESAI).

No comments: