Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Tuesday, October 30, 2007

Politik Anamnesis


Politik Anamnesis
Oleh Patrisius Mutiara Andalas, S.J.

Kisah korban merupakan nafas tulisan dalam buku ini. Sebagian keluarga korban memilih mengisahkan kekerasan negara yang terjadi pada anggota keluarga mereka. Ada pula keluarga korban yang meminta saya untuk mengisahkan kembali penderitaan mereka. Para pendamping korban hidup dan keluarga korban berusaha mengenang kisah mereka menjadi sahabat korban dan keluarga korban untuk menuntut negara atas kejahatan berat terhadap kemanusaian yang dilakukan aparat militer. Kisah korban harus ditulis karena kenangan dan solidaritas masyarakat terhadap persoalan korban mengalami masa-masa surut. Korban hidup dan keluarga korban merasa semakin sendirian dalam memperjuangkan kasus kemanusiaan yang sejatinya berkenaan dengan hajat hidup semua warga Indonesia. Kita juga melihat bagaimana korban hidup dan keluarga kehilangan perannya dalam keadilan kriminal. Negara (salah) mengurusi korban dan kisah mereka. Negara seringkali melihat korban bukan sebagai korban yang pantas mendapatkan keadilan hukum.
Sebagian kisah korban sampai ke tangan kita dalam keadaan rusak. Kekerasan negara hampir merusak bahasa korban secara sempurna. Ia menghancurkan kronologi peristiwa. Ia juga menghancurkan kronologi peristiwa. Kata-kata korban tersisa diatnara air mata dan keheningan. Kisah korban sampai kepada kita dengan banyak jeda. Anda barangkali termasuk dari warga masyarakat yang mengharapkan kisah korban yang mengalami kekerasan seksual dalam kekerasan negara 1998. Kita bergantung banyak pada mereka yang menjadi saksi kekerasan seksual. Suara keras justru datang dari negara. Pada awalnya negara menolak fakta kekerasan seksual massal dalam tragedi kemanusiaan Mei 1998. Ketika tak mampu lagi menggelapkan fakta korban, mereka berusaha menggelapkan statistik korban. Selisih fakta pengalaman korban dengan statistik negara ikut membentuk opini publik mengenai peristiwa itu.
Politik korban melihat episode kekerasan politik negara dari perspektif korban. Kisah korban menghantar kita untuk sampai pada kebenaran mengenai kekerasan negara dalam peristiwa Mei – Semanggi 1998. Kontestasi antara fakta tragedi versi korban dan pendamping korban dengan versi negara bukan pertarungan dua kebenaran, melainkan kebenaran melawan kebohongan. Politik negara, anti-tesis dari politik korban, mempertanyakan validitas fakta korban. Ia juga memberi tanda tanya kepada kredibilitas saksi korban. “Kerusuhan,” “penjarah,” “cina!,” “pahlawan revolusi,” adalah beberapa terminology dalam bingkai politik negara yang digunakan untuk melumpuhkan kisah korban (bersambung).


Boyers, Robert. Atrocity and Amnesia: The Political Novel since 1945. New York: Oxford University Press, 1985.
Elias, Robert. The Politics of Victimization. New York: Oxford University Press, 1986.

No comments: