Politik Anamnesis
Oleh Patrisius Mutiara Andalas, S.J.
Kisah korban merupakan nafas tulisan dalam buku ini. Sebagian keluarga korban memilih mengisahkan kekerasan negara yang terjadi pada anggota keluarga mereka. Ada pula keluarga korban yang meminta saya untuk mengisahkan kembali penderitaan mereka. Para pendamping korban hidup dan keluarga korban berusaha mengenang kisah mereka menjadi sahabat korban dan keluarga korban untuk menuntut negara atas kejahatan berat terhadap kemanusaian yang dilakukan aparat militer. Kisah korban harus ditulis karena kenangan dan solidaritas masyarakat terhadap persoalan korban mengalami masa-masa surut. Korban hidup dan keluarga korban merasa semakin sendirian dalam memperjuangkan kasus kemanusiaan yang sejatinya berkenaan dengan hajat hidup semua warga Indonesia. Kita juga melihat bagaimana korban hidup dan keluarga kehilangan perannya dalam keadilan kriminal. Negara (salah) mengurusi korban dan kisah mereka. Negara seringkali melihat korban bukan sebagai korban yang pantas mendapatkan keadilan hukum.
Sebagian kisah korban sampai ke tangan kita dalam keadaan rusak. Kekerasan negara hampir merusak bahasa korban secara sempurna. Ia menghancurkan kronologi peristiwa. Ia juga menghancurkan kronologi peristiwa. Kata-kata korban tersisa diatnara air mata dan keheningan. Kisah korban sampai kepada kita dengan banyak jeda. Anda barangkali termasuk dari warga masyarakat yang mengharapkan kisah korban yang mengalami kekerasan seksual dalam kekerasan negara 1998. Kita bergantung banyak pada mereka yang menjadi saksi kekerasan seksual. Suara keras justru datang dari negara. Pada awalnya negara menolak fakta kekerasan seksual massal dalam tragedi kemanusiaan Mei 1998. Ketika tak mampu lagi menggelapkan fakta korban, mereka berusaha menggelapkan statistik korban. Selisih fakta pengalaman korban dengan statistik negara ikut membentuk opini publik mengenai peristiwa itu.
Politik korban melihat episode kekerasan politik negara dari perspektif korban. Kisah korban menghantar kita untuk sampai pada kebenaran mengenai kekerasan negara dalam peristiwa Mei – Semanggi 1998. Kontestasi antara fakta tragedi versi korban dan pendamping korban dengan versi negara bukan pertarungan dua kebenaran, melainkan kebenaran melawan kebohongan. Politik negara, anti-tesis dari politik korban, mempertanyakan validitas fakta korban. Ia juga memberi tanda tanya kepada kredibilitas saksi korban. “Kerusuhan,” “penjarah,” “cina!,” “pahlawan revolusi,” adalah beberapa terminology dalam bingkai politik negara yang untuk melumpuhkan kisah korban.
Korban melihat negara mengecilkan kekerasan yang dilakukannya (undercriminalization), sebaliknya negara memandang korban membesar-besarkan kasusnya (overstatement). Kasus kekerasan seksual dalam tragedi kekerasan negara Mei 1998 merupakan contoh paling kentara dari konflik dalam menamai realitas. Laporan kekerasan seksual dari pihak korban sangat rendah, bahkan hampir tidak ada karena stigma dan perlakuan negara terhadap korban dalam proses yudisial. Korban berada dalam posisi marginal dalam menindak pelaku kekerasan seksual. Dalam konteks lebih luas mengenai kekerasan seksual, laporan korban belum berbanding lurus dengan proses pengadilan terhadap pelakunya. Dalam konteks inilah, kita harus membongkar politik amnesia yang dipeluk negara. Politik anamnesis adalah resistensi aktif terhadap usaha negara untuk melupakan tragedi kemanusiaan yang merenggut hidup korban secara prematur. Kebohongan realitas, kriminalisasi korban, dan pelupaan sosial merupakan pilar-pilar utama politik amnesia. Sebaliknya ingatan subversif, penamaan pelaku kekerasan, dan harapan korban merupakan pilar-pilar utama politik anamnesis.
Ingatan Subversif
Pasca tragedi Mei dan Semanggi tercipta dua kisah mengenai tragedi kemanusiaan itu. Negara memandang peristiwa Mei dan Semanggi sebagai kerusuhan politik yang merenggut hidup warganya. Mereka mengangkat para mahasiswa yang mengalami kematian prematur dalam tragedi Trisakti dan Semanggi sebagai pahlawan revolusi. Mereka menciptakan stigma penjarah kepada para korban yang meninggal dunia di berbagai pusat ekonomi. Mereka melihat korban etnis cina dan perkosaan massal terhadap para perempuannya sebagai akibat langsung dari kerusuhan. Mereka cenderung hendak menghilangkan ribuan korban yang dibakar dengan menyatakan bahwa tragedi kemanusiaan mei adalah kekerasan rasial.
Korban melihat tragedi Mei dan Semanggi bukan sebagai kerusuhan, melainkan sebagai kekerasan negara. Mereka tidak memandang korban sebagai akibat tidak langsung dari kerusuhan, melainkan sebagai korban kejahatan terhadap kemanusiaan berat yang dilakukan (militer yang didukung ) negara. Mereka tidak memahami tragedi kemanusiaan itu secara sempit sebagai kekerasan negara terhadap etnis cina. Mereka memperhitungkan ribuan kkorban lain yang menjadi korban bukan karena etnisitas mereka.
Pendekatan negara menempatkan diri mereka sebagai pihak yang yang tak bersalah dalam tragedi Mei – Semanggi. Mereka menempatkan diri sebagai pencipta rasa aman dalam masyarakat yang dirusak kerusuhan. Mereka memandang korban sebagai yang memiliki peran, meskipun mungkin hanya figuran, dalam memicu tragedi. Mereka menuduh etnis Cina sebagai pencipta jurang kaya dan miskin di Indonesia. Mereka menuduh komunitas miskin urban sebagai penjarah yang memanfaatkan situasi politik yang kacau untuk keuntungan mereka sendiri. Mereka dapat memahami kemarahan massa yang melakukan perusakan terhadap pusat-pusat ekonomi, tempat tinggal, dan fasilitas umum. Mereka memahami kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Cina sebagai amarah spontan massa dalam kerusuhan politik.
Kita mengalami kesulitan untuk mendeskripsikan pendekatan korban terhadap tragedi Mei – Semanggi 1998. Negara menciptakan kosa kata “kerusuhan,” “etnis non-patriotik,” “penjarah,” “demonstrasi anarkis” untuk mendeskripsikan tragedi tersebut. Kisah korban tertumpuk diantara kosa kata yang telah tersedia. Publik cenderung mengadopsi kosa kata yang telah tersedia. Sementara itu, paguyuban korban berusaha menemukan kosa kata yang mewakili tragedi kekerasan negara tersebut. Mereka sangat berhati-hati mencari kosa kata yang sesuai untuk menghormati hidup korban yang mengalami penderitaan dan bahkan kematian prematur dalam tragedi kemanusiaan tersebut. Kebenaran kisah korban tertumpuk kosa kota yang terlebih dahulu menolaknya.
Kisah korban membangun panggung teater. Ia mengundang para pemain yang terlibat untuk memasuki panggung. Negara memasuki panggung sebagai tokoh protagonist yang menciptakan ketertiban di tengah kekacauan politik. Mereka menjaga identitas itu dengan teks drama mereka. Laporan mereka terhadap tragedi Mei – Semanggi menunjukkan bahwa mereka tidak melakukan kesalahan prosedur dalam menciptakan ketertiban. Kekerasan terhadap korban diletakkan dalam bingkai tindakan terakhir mempertahankan ketertiban negara dalam ancaman kekacauan nasional. Kalau pun kemudian atasan militer yang mengakui bahwa beberapa anak buahnya melakukan tindakan di luar perintah, keputusan mereka diletakkan di luar keputusan korps. Mereka harus bertanggung jawab sendiri atas perbuatan mereka tanpa melibatkan korps atau atasan mereka.
Negara melepaskan diri dari posisi terdakwa dalam tragedi Mei – Semanggi dengan melakukan ritual pembersihan diri dengan korban. Mereka mengorganisir doa bersama dengan korban Mei dengan harapan korban melupakan peristiwa menyedihkan dan mengajak mereka untuk memulai hidup baru tanpa kehadiran mereka yang menjadi korban dalam tragedi itu.. Mereka juga menahbiskan para korban kekerasan militer dalam tragedi Semanggi sebagai pahlawan revolusi. Negara mengubah status para mahasiswa yang menjadi korban dalam tragedi itu dari demonstran yang menciptakan kekacauan politik menjadi pahlawan yang gugur dalam memperjuangkan reformasi. Ritual bersama korban mencuci tangan negara dari status terdakwa yang menciptakan kematian prematur korban menjadi penyelamat yang menebus hidup korban.
Paguyuban korban dan keluarga korban memasuki panggung teater sejarah Indonesia sebagai karakter marginal. Mereka tampil sebagai suara oposisi (oppositional voice) yang melihat negara bukan sebagai penebus, melainkan penyalib hidup korban. Penemuan fakta negara sebagai terdakwa ini membutuhkan waktu yang relatif lama. Pada awalnya provokator atau aparat keamanan yang menyalahi prosedur menduduki kursi terdakwa. Dalam perjalanan waktu, korban melihat bahwa mereka sekedar berperan sebagai karakter figuran yang digerakkan karakter antagonis negara. Tuntutan agar provokator ditangkap dan agar aparat keamanan yang bersalah diseret ke ruang pengadilan berubah menjadi tuntutan agar negara bertanggung jawab atas kejahatan berat terhadap kemanusiaan warganya.
Publik selama ini berada di kursi penonton drama. Mereka, dalam arti tertentu, seringkali berada di pihak negara. Mereka yang benar-benar berpihak pada kasus korban juga menjadi kelompok marginal dalam publik. Mereka bergerak diantara karakter negara yang hendak menunjukkan tangan bersihnya, sebaliknya paguyuban korban dan keluarga korban hendak menunjukan tangan negara yang penuh bercak darah. Negara berusaha menceraikan hidup publik dari korban dengan mengisolasi persolan korban. Isolasi ini dalam bentuknya yang sempurna akan menciptakan apatisme total yang menyebabkan paguyuban korban dan keluarga korban berjuang sendirian dengan kasusnya. Undangan solidaritas dengan korban menarik publik dari posisi pasif publik dalam tragedi kekerasan negara. Kekerasan negara tak hanya memproduksi kematian prematur tubuh korban, tetapi juga mengancam kehidupan tubuh sosial.
Boyers, Robert. Atrocity and Amnesia: The Political Novel since 1945. New York: Oxford University Press, 1985.
Elias, Robert. The Politics of Victimization: Victims, Victimology, and Human Rights. New York: Oxford University Press, 1986.
Sebagian kisah korban sampai ke tangan kita dalam keadaan rusak. Kekerasan negara hampir merusak bahasa korban secara sempurna. Ia menghancurkan kronologi peristiwa. Ia juga menghancurkan kronologi peristiwa. Kata-kata korban tersisa diatnara air mata dan keheningan. Kisah korban sampai kepada kita dengan banyak jeda. Anda barangkali termasuk dari warga masyarakat yang mengharapkan kisah korban yang mengalami kekerasan seksual dalam kekerasan negara 1998. Kita bergantung banyak pada mereka yang menjadi saksi kekerasan seksual. Suara keras justru datang dari negara. Pada awalnya negara menolak fakta kekerasan seksual massal dalam tragedi kemanusiaan Mei 1998. Ketika tak mampu lagi menggelapkan fakta korban, mereka berusaha menggelapkan statistik korban. Selisih fakta pengalaman korban dengan statistik negara ikut membentuk opini publik mengenai peristiwa itu.
Politik korban melihat episode kekerasan politik negara dari perspektif korban. Kisah korban menghantar kita untuk sampai pada kebenaran mengenai kekerasan negara dalam peristiwa Mei – Semanggi 1998. Kontestasi antara fakta tragedi versi korban dan pendamping korban dengan versi negara bukan pertarungan dua kebenaran, melainkan kebenaran melawan kebohongan. Politik negara, anti-tesis dari politik korban, mempertanyakan validitas fakta korban. Ia juga memberi tanda tanya kepada kredibilitas saksi korban. “Kerusuhan,” “penjarah,” “cina!,” “pahlawan revolusi,” adalah beberapa terminology dalam bingkai politik negara yang untuk melumpuhkan kisah korban.
Korban melihat negara mengecilkan kekerasan yang dilakukannya (undercriminalization), sebaliknya negara memandang korban membesar-besarkan kasusnya (overstatement). Kasus kekerasan seksual dalam tragedi kekerasan negara Mei 1998 merupakan contoh paling kentara dari konflik dalam menamai realitas. Laporan kekerasan seksual dari pihak korban sangat rendah, bahkan hampir tidak ada karena stigma dan perlakuan negara terhadap korban dalam proses yudisial. Korban berada dalam posisi marginal dalam menindak pelaku kekerasan seksual. Dalam konteks lebih luas mengenai kekerasan seksual, laporan korban belum berbanding lurus dengan proses pengadilan terhadap pelakunya. Dalam konteks inilah, kita harus membongkar politik amnesia yang dipeluk negara. Politik anamnesis adalah resistensi aktif terhadap usaha negara untuk melupakan tragedi kemanusiaan yang merenggut hidup korban secara prematur. Kebohongan realitas, kriminalisasi korban, dan pelupaan sosial merupakan pilar-pilar utama politik amnesia. Sebaliknya ingatan subversif, penamaan pelaku kekerasan, dan harapan korban merupakan pilar-pilar utama politik anamnesis.
Ingatan Subversif
Pasca tragedi Mei dan Semanggi tercipta dua kisah mengenai tragedi kemanusiaan itu. Negara memandang peristiwa Mei dan Semanggi sebagai kerusuhan politik yang merenggut hidup warganya. Mereka mengangkat para mahasiswa yang mengalami kematian prematur dalam tragedi Trisakti dan Semanggi sebagai pahlawan revolusi. Mereka menciptakan stigma penjarah kepada para korban yang meninggal dunia di berbagai pusat ekonomi. Mereka melihat korban etnis cina dan perkosaan massal terhadap para perempuannya sebagai akibat langsung dari kerusuhan. Mereka cenderung hendak menghilangkan ribuan korban yang dibakar dengan menyatakan bahwa tragedi kemanusiaan mei adalah kekerasan rasial.
Korban melihat tragedi Mei dan Semanggi bukan sebagai kerusuhan, melainkan sebagai kekerasan negara. Mereka tidak memandang korban sebagai akibat tidak langsung dari kerusuhan, melainkan sebagai korban kejahatan terhadap kemanusiaan berat yang dilakukan (militer yang didukung ) negara. Mereka tidak memahami tragedi kemanusiaan itu secara sempit sebagai kekerasan negara terhadap etnis cina. Mereka memperhitungkan ribuan kkorban lain yang menjadi korban bukan karena etnisitas mereka.
Pendekatan negara menempatkan diri mereka sebagai pihak yang yang tak bersalah dalam tragedi Mei – Semanggi. Mereka menempatkan diri sebagai pencipta rasa aman dalam masyarakat yang dirusak kerusuhan. Mereka memandang korban sebagai yang memiliki peran, meskipun mungkin hanya figuran, dalam memicu tragedi. Mereka menuduh etnis Cina sebagai pencipta jurang kaya dan miskin di Indonesia. Mereka menuduh komunitas miskin urban sebagai penjarah yang memanfaatkan situasi politik yang kacau untuk keuntungan mereka sendiri. Mereka dapat memahami kemarahan massa yang melakukan perusakan terhadap pusat-pusat ekonomi, tempat tinggal, dan fasilitas umum. Mereka memahami kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Cina sebagai amarah spontan massa dalam kerusuhan politik.
Kita mengalami kesulitan untuk mendeskripsikan pendekatan korban terhadap tragedi Mei – Semanggi 1998. Negara menciptakan kosa kata “kerusuhan,” “etnis non-patriotik,” “penjarah,” “demonstrasi anarkis” untuk mendeskripsikan tragedi tersebut. Kisah korban tertumpuk diantara kosa kata yang telah tersedia. Publik cenderung mengadopsi kosa kata yang telah tersedia. Sementara itu, paguyuban korban berusaha menemukan kosa kata yang mewakili tragedi kekerasan negara tersebut. Mereka sangat berhati-hati mencari kosa kata yang sesuai untuk menghormati hidup korban yang mengalami penderitaan dan bahkan kematian prematur dalam tragedi kemanusiaan tersebut. Kebenaran kisah korban tertumpuk kosa kota yang terlebih dahulu menolaknya.
Kisah korban membangun panggung teater. Ia mengundang para pemain yang terlibat untuk memasuki panggung. Negara memasuki panggung sebagai tokoh protagonist yang menciptakan ketertiban di tengah kekacauan politik. Mereka menjaga identitas itu dengan teks drama mereka. Laporan mereka terhadap tragedi Mei – Semanggi menunjukkan bahwa mereka tidak melakukan kesalahan prosedur dalam menciptakan ketertiban. Kekerasan terhadap korban diletakkan dalam bingkai tindakan terakhir mempertahankan ketertiban negara dalam ancaman kekacauan nasional. Kalau pun kemudian atasan militer yang mengakui bahwa beberapa anak buahnya melakukan tindakan di luar perintah, keputusan mereka diletakkan di luar keputusan korps. Mereka harus bertanggung jawab sendiri atas perbuatan mereka tanpa melibatkan korps atau atasan mereka.
Negara melepaskan diri dari posisi terdakwa dalam tragedi Mei – Semanggi dengan melakukan ritual pembersihan diri dengan korban. Mereka mengorganisir doa bersama dengan korban Mei dengan harapan korban melupakan peristiwa menyedihkan dan mengajak mereka untuk memulai hidup baru tanpa kehadiran mereka yang menjadi korban dalam tragedi itu.. Mereka juga menahbiskan para korban kekerasan militer dalam tragedi Semanggi sebagai pahlawan revolusi. Negara mengubah status para mahasiswa yang menjadi korban dalam tragedi itu dari demonstran yang menciptakan kekacauan politik menjadi pahlawan yang gugur dalam memperjuangkan reformasi. Ritual bersama korban mencuci tangan negara dari status terdakwa yang menciptakan kematian prematur korban menjadi penyelamat yang menebus hidup korban.
Paguyuban korban dan keluarga korban memasuki panggung teater sejarah Indonesia sebagai karakter marginal. Mereka tampil sebagai suara oposisi (oppositional voice) yang melihat negara bukan sebagai penebus, melainkan penyalib hidup korban. Penemuan fakta negara sebagai terdakwa ini membutuhkan waktu yang relatif lama. Pada awalnya provokator atau aparat keamanan yang menyalahi prosedur menduduki kursi terdakwa. Dalam perjalanan waktu, korban melihat bahwa mereka sekedar berperan sebagai karakter figuran yang digerakkan karakter antagonis negara. Tuntutan agar provokator ditangkap dan agar aparat keamanan yang bersalah diseret ke ruang pengadilan berubah menjadi tuntutan agar negara bertanggung jawab atas kejahatan berat terhadap kemanusiaan warganya.
Publik selama ini berada di kursi penonton drama. Mereka, dalam arti tertentu, seringkali berada di pihak negara. Mereka yang benar-benar berpihak pada kasus korban juga menjadi kelompok marginal dalam publik. Mereka bergerak diantara karakter negara yang hendak menunjukkan tangan bersihnya, sebaliknya paguyuban korban dan keluarga korban hendak menunjukan tangan negara yang penuh bercak darah. Negara berusaha menceraikan hidup publik dari korban dengan mengisolasi persolan korban. Isolasi ini dalam bentuknya yang sempurna akan menciptakan apatisme total yang menyebabkan paguyuban korban dan keluarga korban berjuang sendirian dengan kasusnya. Undangan solidaritas dengan korban menarik publik dari posisi pasif publik dalam tragedi kekerasan negara. Kekerasan negara tak hanya memproduksi kematian prematur tubuh korban, tetapi juga mengancam kehidupan tubuh sosial.
Boyers, Robert. Atrocity and Amnesia: The Political Novel since 1945. New York: Oxford University Press, 1985.
Elias, Robert. The Politics of Victimization: Victims, Victimology, and Human Rights. New York: Oxford University Press, 1986.
No comments:
Post a Comment