Orang sering bilang kita hidup di dunia tunggang langgang (runaway world). Kata ‘retired’, ‘take a rest’, ‘pause’, ‘waiting in line’ hampir hilang dari kamus hidup kita. Sebaliknya kata ‘productivity’, ‘overtime’, ‘fast forward’, ‘fast track’ semakin bercetak tebal dalam kamus hidup kita. Dalam ritme hidup yang berlari, tak jarang hal-hal penting hidup kita tercecer, tak terurus, berantakan. Rumah atau kamar kita sedemikian mudah berubah menjadi gudang. Rumah atau kamar beralih fungsi sekedar sebagai ruang ganti baju dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya. Retret adalah saat pause untuk menata (kembali) hidup kita. Ia bukan saat untuk lari dari, tetapi ambil jarak dari ritme hidup 24.7 yang seringkali melelahkan itu.
Keputusan penting dalam hidup sangat sulit dibuat kalau telinga kiri menerima cell phone, telinga kanan mendengarkan musik dari iPod, tangan kanan menulis, tangan kiri mencari kumpulan files, dan pada saat yang bersamaan kita berbicara dengan rekan kerja kita. Dalam suasana yang super bising itu, hal-hal penting justru sering masuk dalam recycle bin, junk mail, atau bahkan langsung otomatis di-delete atau di-spam. Di jalan-jalan masuk kampong di Indonesia sering tertera tanda peringatan: sing ngebut, benjut! Hidup yang ngebut sering berakhir benjut!
Persoalannya silence is costly di dunia kita yang tunggang langgang ini. Setiap kali mendampingi retret, saya hampir selalu berjumpa dengan peserta retret yang alergi dengan kata retret. “Kapan happy hours sehingga kami dapat jalan-jalan keluar rumah retret? Kapan kami boleh membalas sms dari teman-teman? Kapan orang tua boleh menelepon kita?” Orang merasa langsung disodori daftar tidak boleh/dilarang ketika memasuki rumah retret. Hanya ada satu golden rule selama retret: eat well, sleep well, and [if you still have time] pray well.”
Keheningan tidak pertama-tama berkaitan dengan mulut, tetapi dengan telinga. Kalau kita berisik atau ribut, kita tidak bisa mendengarkan. Kita tentu ingat saat kita sedang ribut dengan pasangan kita. Semua ingin rebutan mikrofon. Tidak terjadi komunikasi karena semua ingin bicara dan tak ada yang mau mendengarkan. Hanya dalam keheningan kita dapat mendengarkan dengan penuh perhatian suara Allah yang sedang berbicara kepada kita.
Doa adalah aktivitas sadar untuk mempersilakan Tuhan berbicara kepada kita. Hanya telinga yang mendengarkan dapat mengenali suara lembut Allah. Rumah retret menawarkan keheningan dihadirat Allah.
Doa sebagai Relasi Personal
Allah menghendaki relasi personal dengan setiap pribadi. Fondasi doa adalah relasi personal dengan Allah. Kita menyadari kerinduan kita untuk mengalami perjumpaan langsung dengan Allah. Namun kita juga menyadari sekat-sekat yang menghalangi perjumpaan personal dan langsung dengan Allah. Sebagai pribadi dan komunitas kristiani kita diundang untuk mengenali Allah yang sedang menunjukkan arah hidup kita.
Doa adalah relasi sadar dengan Allah. Relasi hanya akan berkembang jika ada dasar afektif. Fondasi doa adalah relasi kasih dengan Allah yang hidup. Relasi berkembang melalui sikap saling membuka diri (mutual self-revelation) baik dari pihak Allah maupun dari pihak diri kita. Kita akan membuka diri kepada orang lain jika kita mempercayai orang itu, jika kita percaya bahwa orang itu akan menerima kita. Dasar intimitas relasi dengan Allah adalah kepercayaan pada Dia. Kita tidak dapat mengandaikan bahwa kepercayaan kepada Allah itu sudah tersedia dalam diri kita.
Kita memohon rahmat pengalaman akan Allah (the “Abba” experience).
“Selidikilah aku, ya Allah, dan kenalilah hatiku,
ujilah aku dan kenalilah pikiran-pikiranku;
lihatlah, apakah jalanku serong,
dan tuntunlah aku di jalan yang kekal! (Mzm. 139, 23-24)
Intimitas dengan Allah mewajibkan transparansi diri. Kita menyingkirkan sekat-sekat dalam diri kita sehingga Allah dapat melihat diri kita yang sejati. Apakah saya menghendaki Allah semakin dekat dengan diri kita? Doa seringkali menjadi kering karena kita tidak memiliki intimitas dengan Allah! Komitmen Allah untuk menjalin intimitas dengan diri kita diungkapkan dalam jawaban terhadap permohonan kita.
“Mintalah, maka akan diberikan kepadamu;
carilah, maka kamu akan mendapat;
ketoklah, makan pintu akan dibukakan bagimu” (Lk 11, 9-10)
Permohonan adalah pra-kondisi dari doa. Apa yang hendak saya mohon kepada Tuhan dalam retret ini?
Relasi dengan Allah kadang-kadang mengalami stagnasi. Kita sering memendam kemarahan atau kekecewaan pada Allah. Akibatnya, relasi kita dengan Allah berjalan di tempat. Terbentang jurang pemisah antara Allah dengan diri kita. Allah nampak berada dalam hitungan jutaan mil justru ketika kita sangat membutuhkan Dia. Doa kita kepada Allah menjadi kehilangan afeksi dan menjadi ritualistik. Saat kita sedang berbicara dengan pribadi yang melukai kita, yang keluar dalam pembicaraan sekedar mengenai cuaca dan hal-hal sepele! Kita diundang membawa kemarahan, luka kita pada Allah dalam doa.
Kita memiliki resistensi untuk semakin dekat dengan Allah. Kita takut akan kehilangan diri kita jika kita berserah pada Allah. Paradoksnya, kita akan semakin menemukan diri kita jika kita semakin bersatu dengan Allah. Selama nafas kita masih berdetak, resistensi untuk mengalami relasi intim dengan Allah itu tetap memiliki nafas hidup! Meskipun demikian, kita hendak mengingat kata-kata penginjil Yohanes:
“Terang itu bercahaya di dalam kegelapan
dan kegelapan itu tidak menguasainya” (Yoh 1, 5).
No comments:
Post a Comment