

“Saya ingin bersekolah tinggi, namun biaya pendidikan yang mahal membuat saya tak mampu meneruskan sekolah” kata Wawan --- anak kedua dari sembilan bersaudara, mengawali obrolan di suatu pagi. Berbincang dengan pria berparas rupawan, cerdas dan santun ini cukup mengasyikan, gaya bicaranya menyenangkan, pengalaman hidupnya penuh dengan tantangan, banyak pula cerita duka. Pergulatannya menghadapi sikap kekerasan aparat mengundang rasa iba sekaligus salut.
Bagi Wawan, 27 tahun--- yang berasal dari Kuningan, Jawa Barat, Ibukota adalah tumpuan segala impian pada sepuluh tahun lalu saat dia jirah ke Jakarta. Anak seorang buruh tani yang hanya mengenyam pendidikan hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) tersebut pertama kali menjalani kehidupan kotanya dengan bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT). Saat itu dia berharap mendapatkan tidak saja biaya namun juga kesempatan agar dapat melanjutkan sekolahnya ke Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).
Harapannya meraih impian menjadi kandas ketika bekerja sebagai PRT selain berpenghasilan teramat minim untuk dapat menunjang biaya pendidikan, pekerjaan tersebut pun menuntut seluruh waktunya di sepanjang hari hingga larut malam. Kegagalannya meneruskan sekolah tak membuatnya berhenti berjuang. Menjadi pedagang adalah terobosan menuju segala harapan sukses yang ingin dia jalani. Berwira-usaha adalah langkah yang lebih efektif saat kesempatan melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi tak dapat dicapai. Pada tahun 1997 mulailah dia ngasong di terminal bus Senen, di daerah Jakarta Pusat.
Namun demikian keberuntungan belumlah berpihak kepada Wawan yang berangan-angan bisa berhasil menjadi pengusaha besar. Hidup tidak saja menjadi permainan sang nasib tetapi lebih sering langkahnya terganjal oleh para petugas Tramtib (Ketentraman dan Ketertiban). Ketika pemda DKI mulai gencar menertibkan para pedagang kaki lima dan asongan di terminal bus Senen, Wawan pun tergusur ke sebelah Timur Jakarta. Ditrotoar jalanan dekat terminal bus Pulo Gadung dia lalu mangkal dan menggelar dagangan. Wawan pun berusaha ‘menaikan’ status dirinya dari pengasong menjadi pedagang buah-buahan. Tak lama kemudian, kesialan menimpanya kembali. “Dagangan saya kocar-kacir ketika terminal bus Pulo Gadung dibenahi untuk pembangunan fasilitas busway” kenangnya ketika untuk kedua kali terkena razia oleh para petugas satpol-PP (satuan polisi Pamong Praja).
Dua kali tergusur tak membuat Wawan putus asa. Satu-setengah tahun lalu mulailah dia mencoba sekali lagi bangkit dari segala keterpurukan-- dengan modal Rp. 1 juta hasil pinjaman dari Bank Rakyat Indonesia (BRI) Wawan membeli sebuah gerobak. Berdagang kelontong adalah pilihannya kali ini. Dengan gerobaknya, mulailah dia berkeliling di sebuah kompleks perumahan di pinggir paling timur kota Jakarta yang berbatasan dengan kota Bekasi. Dari berjualan sembako tersebut Wawan dapat meraup pemasukan harian lebih dari Rp.100 ribu dan dari jumlah tersebut dia bisa menikmati keuntungan tak kurang dari Rp.20 ribu. Para pelanggannya adalah masyarakat urban seperti dirinya yang bekerja sebagai buruh bangunan.
Cerita akan sebuah ‘kesuksesan’ hidup di kota telah menjadi semacam fenomena bagi masyarakat yang tinggal di desa-desa untuk mengadu nasib di wilayah perkotaan. Jakarta menjadi daya tarik luar biasa untuk menjajal keberuntungan serta menangguk rejeki. Berdasarkan data yang dapat dihimpun, setiap tahunnya tak kurang dari 200 ribu orang hijrah ke Jabodetabek, sebagian besar dari mereka tumplek di kota Jakarta . Para pendatang tersebut berbondong-bondong memadati Ibukota dan seperti sebuah ritual; saat puncak kedatangan mereka adalah usai perayaan hari raya Idul Fitri. Ironisnya, dari masa kemasa kaum urban selalu dianggap menjadi masalah bagi pihak pemerintah daerah.
Meski sering terkena razia oleh petugas, Wawan masih tergolong ‘beruntung’ bila dibanding ratusan kawan senasibnya--- dua minggu setelah libur panjang hari raya Idul Fitri di bulan Oktober lalu, pemda DKI lagi-lagi giat menggelar Operasi Yustisi. Aksi ‘pembersihan’ tersebut menjaring tidak saja para pendatang baru, aparat juga menangkap para pedagang asongan, pengamen dan pengemis serta menghancurkan tenda-tenda pedagang kaki lima yang marak di berbagai sudut jalanan kota Megapolitan Jakarta .
Operasi Yustisi yang terkesan kurang manusiawi tersebut mengundang kritik dari beberapa kalangan--- namun pihak pemerintah tak menggubris pendapat bahwa operasi penertiban terhadap para pendatang tersebut sebagai bagian dari pelanggaran hak atas warga negara. Aparat tetap saja dengan sikap tegas merazia, mengenakan sanksi denda serta memulangkan kembali para kaum urban tersebut ke kampung halaman mereka bagi yang terjaring dan kedapatan tak memiliki KTP DKI.
“Kami hanya ingin memperbaiki kondisi kehidupan, mencari nafkah di desa sudah teramat sulit” keluh Wawan --- yang mengaku tak mengantongi KTP DKI. “Hendaknya pemerintah bisa lebih memahami keadaan kami, janganlah rakyat kecil seperti kami ini malah semakain dipersulit” lanjut Wawan yang bertekad terus berjuang demi bisa menjamin kehidupan yang lebih layak buat keluarganya di kampung. Dia pun berkeinginan agar mampu memberikan pendidikan tinggi bagi calon anak pertamanya yang akan segera lahir. “Kami membutuhkan kebesaran hati para penguasa untuk bisa merangkul kaum yang lemah”. Hendaknya jangan hanya pengusaha besar yang mendapat fasilitas, pedagang kecil pun layak mendapatkan perhatian serta dukungan. Harap Wawan yang berkeyakinan bahwa melalui usaha dagangnya bisa merubah nasib seluruh keluarganya dari lilitan kemiskinan. “Saya geluti dulu yang ada, dan dari hasil yang saya peroleh ini mudah-mudahan akan membuat usaha saya semakin maju” demikianlah tutur Wawan menyudahi obrolan.
Teks dan dokumentasi:
Anastasia F. Lioe
No comments:
Post a Comment