Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Friday, November 9, 2007

Menjelang 9 Tahun Peringatan Semanggi 1998




Semanggi I, dalam refleksi pribadi

a. Pra Tragedi

Situasi krisis yang berkelanjutan sejak krisis ekonomi mencapai puncaknya di tahun 1997, selanjutnya diikuti krisis sosial dan krisis politik, menyebabkan keadaan yang sangat tidak nyaman. Kerusuhan sosial terjadi dimana-mana, belum selesai peristiwa Mei’98, sudah ada lagi kasus baru pembunuhan ratusan kiai di Banyuwangi. Kondisi ini semakin diperparah dengan ketidak-mampuannya institusi negara (legislatif , yudikatif & eksekutif) berfungsi sebagaimana mestinya. Pemerintahan transisi dibawah presiden Habibie, dinilai tidak cukup representatif untuk mengelola negara ini karena dianggap sebagai bagian dari Orde Baru.

Dalam keadaan itu, mahasiswa yang telah mengawali gerakan reformasi, terus menerus memilih menjadi parlemen jalanan, untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutannya. Selain itu ada pilihan gerakan lain yang cukup mencolok saat itu. Yaitu ketika semakin menjamurnya posko-posko relawan kemanusiaan. Baik yang menangani kegiatan medis, logistik, maupun sentral informasi.

Demikian juga, Aku merasa perlu berbuat sesuatu dengan menjadi anggota posko relawan kemanusiaan yang saat itu dikoordinir oleh Sandyawan Sumardi,SJ. Pilihan ini kuambil karena sesuai dengan kegemaranku berorganisasi di bidang kemanusiaan dari jaman aku dulu masih sekolah di bangku SMP (saat ini aku sudah bekerja disebuah perusahaan swasta). Dan ketika aksi mahasiswa marak di akhir bulan Mei’98, aku bergabung bersama beberapa teman, termasuk Rm. Roni,SJ, untuk membentuk posko relawan kemanusiaan bekerjasama dengan teman-teman di sekretariat PBNU, Jl. Kramat Raya. Namun sejalan dengan waktu, akhirnya Aku dan beberapa teman dari Tarakanita dan pekerja-pekerja lain, bergabung di posko Relawan Trotoar Carolus, Jl. Salemba Raya karena teman-teman PBNU yang kebanyakan adalah mahasiswa itu, lebih memilih untuk bergerak di jalanan. Mereka lebih suka gerakan aktif daripada pasif, seperti gerakan Relawan Kemanusiaan.

Begitulah, ketika dilihat tidak ada perkembangan yang signifikan atas pemerintahan baru, para mahasiswa di seluruh tanah air terus mengadakan aksi-aksi jalanan. Mereka berdatangan ke Jakarta, untuk bergabung dengan rekan-rekannya, mendatangi gedung perwakilan rakyat. Mereka menuntut adanya perubahan di bidang ekonomi(perbaikan harga yang terus melambung tinggi), sosial dan politik (reformasi di semua bidang dan kembalinya fungsi-fungsi institusi negara). Hampir tiada hari tanpa aksi. Baik per kampus atau bergabung dalam elemen-elemen lainnya. Biasanya mereka memulai aksi setelah tengah hari. Mereka mengumpulkan dana untuk membiayai aksi dari para pemakai jalan yang simpati dengan usaha mereka dan memanfaatkan kardus-kardus bekas kemasan air mineral, sebagai kotak-kotak sumbangan.

Hal-hal tersebut diataslah yang akhirnya menimbulkan simpati dan dukungan dari masyarakat atas gerakan mahasiswa, yang dianggap mewakili keresahan masyarakat Indonesia secara umum. Dukungan diberikan baik secara individu atau kelompok dalam bentuk barang (nasi bungkus, air mineral, kain dll), dana ataupun support moral. Aku ingat bagaimana teman-teman di kantorkupun saat itu mengumpulkan uang makan mereka secara sukarela untuk diberikan pada para mahasiswa ini.
Aku juga ingat bagaimana ketika waktu itu ada temanku yang sedang mengikuti bazaar di gedung WTC (World Trade Center) menanyakan padaku bisakah makanan ringan dagangannya disumbangkan ke mereka. Dan langsung dengan cepat kuiyakan sambil menyuruhnya mengantarkan langsung ke kampus Atmajaya yang sering dijadikan tempat berkumpul para mahasiswa. Aku yakin hal seperti itu, tidak hanya terjadi dikantorku, karena ternyata teman-teman dari kantor-kantor lainpun juga melakukan hal yang kurang lebih sama.

Posko Tim Relawan untuk Kemanusiaan di Trotoar Carolus, tempat aku terlibatpun semakin meningkat aktifitasnya, seiring dengan meningkatnya intensitas dan kuantitas aksi-aksi mahasiswa di Jakarta.
Di posko ini, banyak bergabung teman dari latar belakang pendidikan dan
pekerjaan yang berbeda-beda, usia yang berbeda, status sosial keluarga yang
berbeda, agama yang berbeda, etnis yang berbeda, namun mempunyai komitmen yang
sama yaitu kemanusiaan. Banyak aktifitas yang dilakukan disini seperti
medis(P3K), menampung dan mendistribusikan bantuan logistik(nasi bungkus, roti,
telur rebus, air mineral, obat-obatan, sabun mandi, sikat gigi berikut odolnya
dll) dari masyarakat ke para mahasiswa juga berbagi informasi di seputaran aksi
mahasiswa. Terbayang dalam ingatanku bagaimana saat itu bungkusan nasi dan roti
menggunung di posko berukuran sekitar 1,75 x 2,5 m, dan berdinding
triplek-triplek bekas serta atap asbes. Ditengah udara panas menyengat bercampur
debu jalanan dan asap knalpot kendaraan di Salemba yang cukup sering macet itu,
semakin membuat pengap ruangan tersebut.
Aku kadang tertawa geli ketika melihat wajah-wajah bengong penuh tanya para pengendara / penumpang yang lewat didepan posko, saat melihat berkantong-kantong besar atau berdus-dus makanan dan minuman diturunkan dari para penyumbang, atau dinaikkan ke kendaraan lain untuk didistribusikan.

b. Tragedi.

Aktifitas seperti itulah yang mewarnai kegiatan posko beberapa hari ini. Termasuk hari itu, Jum’at 13 November 1998, kami sudah mendengar akan adanya aksi besar-besaran mahasiswa, karena sebagian besar anggota poskoku masih berstatus mahasiswa juga. Aku mendengar dari radio di kantorku, bagaimana mahasiswa secara bergelombang datang dari berbagai penjuru Jakarta berjalan menuju Gedung MPR/DPR dan bagaimana setiap kali mereka sempat dihadang aparat TNI & POLRI di titik-titik tertentu.

Melihat itu, pimpinan di kantorku memutuskan untuk memulangkan karyawannya secara lebih awal karena letak kantor kami yang memang sering dilewati para pendemo dan tetap memberikan kebebasan bagi karyawan yang harus menyelesaikan pekerjaannya. Untung bagiku, sehingga aku bisa langsung bergabung dengan teman-teman di posko. Dalam perjalanan menuju posko, aku sempat bertemu dengan beberapa kelompok mahasiswa yang berarak-arakan menggunakan bus metromini lengkap dengan segala atribut demonya seperti spanduk, poster, megaphone dan semangat tinggi dalam menyuarakan yel-yel/tuntutan-tuntutan mereka.
Sementara dari radio taxi, aku mulai mendengar sudah terjadi bentrok antara mahasiswa dan aparat di sekitar Senayan. Untung tak lama kemudian aku berhasil sampai di posko dimana ternyata teman-temanku sudah banyak berkumpul, bahkan sebagian sudah menyebar ke titik-titik lokasi yang diperkirakan banyak berkumpul mahasiswa, atau biasa di hadang aparat.

Dari situ aku mulai berbagi tugas dengan teman-teman untuk menggantikan mereka yang sudah lelah karena dari pagi sudah berjaga-jaga. Tapi aku sendiri hanya diberi tugas untuk mengatur segala sesuatu di posko. Entah kenapa sebenarnya aku juga ingin melihat situasi dilapangan, tapi mereka tidak memperbolehkan. Ya sudahlah akhirnya aku hanya memonitor teman-teman yang dijalan lewat handphone, pager, handy talky atau apa saja alat komunikasi yang bisa dipakai. Mencoba membagi tugas dimana kira-kira tenaga medis/evakuasi dibutuhkan dan dimana kira-kira tenaga lain berlebihan untuk membantu yang kurang atau pada intinya mengkoordinir dan memantau peristiwa dari jauh.

Menjelang sore sekitar pukul 16.00 WIB kami mendengar bentrok terjadi di daerah
Semanggi. Mahasiswa yang berkumpul di kampus Atmajaya, saat itu tengah bergerak
menuju Gedung MPR/DPR. Dari teman yang ada disekitar lokasi kami tahu kalau
disana ternyata banyak sekali aparat yang diterjunkan untuk mengatasi aksi
mahasiswa ini. Baik dari TNI (berbagai angkatan) maupun POLRI. Bahkan fasilitas
pendukung seperti kendaraan pengangkut air, tank, persenjataan dari sekedar
rotan dan tameng sampai senjata lengkap dipakai untuk mencairkan aksi mahasiswa
ini.

Tak lama kemudian kami mendengar kalau sudah terdapat korban karena proses negosiasi berjalan alot. Situasi chaos terus terjadi, aku mulai membagi teman yang ada di posko, untuk berjaga-jaga di unit gawat darurat beberapa rumah sakit yang dekat dengan posko (RS.Carolus dan RSCM). Dan benar, tak lama kemudian korban-korban yang berjatuhan mulai dievakuasi ke rumah sakit. Aku minta tolong salah satu temanku untuk terus memantau situasi di lapangan, dan mencatatnya, sementara aku sendiri berlari menuju unit gawat darurat di RS.Carolus, untuk mengetahui bagaimana sampai menjadi korban dan siapa saja mereka, apa yang tengah mereka lakukan disana.
Tapi ternyata korban terus berjatuhan, aku berbagi tugas dengan teman-teman yang masih ada diposko, untuk membantu mencari informasi tersebut, dan sebagian lagi membantu satpam menjagai pintu gawat darurat, agar tidak semua orang bisa masuk untuk mencegah penuhnya ruangan sehingga petugas paramedis (dokter dan perawat) bisa bekerja secara maksimal. Hal ini kami lakukan karena setiap teman korban ingin tahu apa yang terjadi pada temannya, atau setidaknya menemani secara berombongan. Kami sendiri diperbolehkan membantu karena selama ini sudah cukup baik kerjasamanya juga karena sebagian anggota posko kami adalah perawat-perawat dan mahasiswa akademi perawat dari RS. Carolus tersebut.

Melalui teman aku dengar sudah ada korban jiwa, tapi dibawa ke rumah sakit lain. Rasanya tak heran kalau sampai terjadi korban jiwa, karena dari beberapa korban yang dibawa ke UGD Carolus, aku tahu proses terjadinya bentrokan, dan mereka juga bercerita bagaimana aparat secara membabi buta menembakkan senjata mereka kearah mahasiswa. Terbayang dalam ingatanku kala itu korban terus berdatangan dengan bermacam-macam luka tembak, luka-luka memar karena pukulan rotan, injakan sepatu-sepatu aparat, terkilir karena lari dan upaya melompat pagar kampus untuk menghindari kejaran aparat.

Sebenarnya aku panik juga melihat begitu banyak korban, teman-teman tak kalah panik melihat situasi itu. Aku maklum ini kerja pertama kami yang menghadapi sekian banyak korban. Aku sadar tak boleh terus-menerus panik, harus berpikir tenang dan aku mulai menghubungi orang-orang yang kuanggap sebagai seniorku, Rm Sandy dan mba’ Karlina, mba’ Titik yang saat itu masih bendahara TRuK, serta mas Haris yang kala itu bertugas di sekretariat pusat Tim Relawan untuk Kemanusiaan di Arus sebagai sentral informasi. Kami terus berkoordinasi lewat telephone. Termasuk bagaimana mengatasi permasalahan biaya perawatan, yang rata-rata menjadi masalah utama para mahasiswa ini, karena mereka tak ingin orang tua mereka tahu kalau mereka menjadi korban, tapi juga bingung bagaimana dengan pembiayaannya.

Dari situlah kami bekerja sebagai fasilitator, baik untuk pihak rumah sakit, keluarga mereka dan koordinator lapangan mereka. Ternyata kerja sebagai fasilitator tak segampang yang aku kira, aku mulai mendapat kesulitan, kala identitas seorang korban tidak ada, sementara dia juga belum sadar dan orang yang mengantarkannya sudah pergi lagi. Apalagi ketika pihak rumah sakit juga meminta tolong supaya kami cepat menghubungi keluarga korban, karena luka yang diderita korban cukup serius, sehingga memerlukan tindakan emergensi yang membutuhkan persetujuan dari pihak penanggungjawab.

Kejadian itu kualami kala akhirnya aku tahu bahwa korban tersebut bernama Lukman Firdaus, seorang pelajar SMA yang tinggal di daerah Tangerang, dan menjadi korban kebrutalan aparat ketika bus yang dia tumpangi melewati daerah Senayan. Dari cerita saksi mata, penumpang bus tersebut dipaksa turun oleh aparat tentara (tidak diceritakan waktu itu dari kesatuan mana, hanya menyebutkan dari TNI) dan Lukman ketika sedang turun dari bus di tendang dan dipukuli memakai popor senjata, ketika terjatuh masih tetap dipukuli hingga tak sadarkan diri. Luka bekas pukulan itu sendiri sangat mengerikan, dari hasil rontgen terlihat tulang kepala bagian kanan atasnya patah dan masuk sedalam kurang lebih 4 cm kedalam otak besarnya. Mukanya bengkak, dan biru lebam, tapi nadinya masih berdenyut meski lemah. Dokter sepertinya angkat tangan.
Kami bingung, bagaimana menghubungi keluarganya yang tidak ada nomer telephone, sementara rumahnya sangat jauh, akhirnya ada beberapa teman yang menawarkan diri Pak Gunawan, dengan mobilnya yang meski kecil tapi sangat fungsional. Ditemani Cisil dan Kriwil serta beberapa teman lagi aku tak ingat, mencoba mencari alamat dari kartu pelajar yang kami temukan di tas sekolahnya itu.

Ternyata tak semua korban adalah mahasiswa. Ada wartawan, pedagang asongan, pengamen jalanan, pedagang rokok kaki lima sekitar Senayan dan Semanggi, karyawan-karyawan sekitar lokasi yang sedang dalam perjalanan pulang kerja dan masih banyak lagi. Aku heran kenapa aparat sampai berbuat brutal seperti itu. Aduh, perutku sakit ketika mencoba mengingat kembali peristiwa itu. Aku memang tak ada di lokasi kejadian ketika tragedi Semanggi itu terjadi, tapi aku hanya ada di sekitar Rumah Sakit Carolus, atau tepatnya di Unit Gawat Daruratnya. Gila ! Kenapa waktu itu aku bisa begitu tabah dan berani melihat kondisi yang ada. Betapa tidak ?
Darah berceceran dimana-mana, korban banyak sekali, dari yang hanya luka ringan
seperti pingsan karena gas air mata, lecet-lecet terkena pagar atau keseleo,
memar-memar karena pukulan rotan dan injakan sepatu aparat, luka cukup berat
seperti tembakan (ada yang peluru karet dan ada juga peluru tajam, ini kuketahui
dari keterangan dokter yang kutanyai) sampai luka-luka yang sangat serius
sehingga membutuhkan perawatan yang intensif. Ini terjadi pada korban Engkus
Kusnaedi yang harus mendapat tindakan operasi segera karena luka tembak
dikepalanya.

Banyak sebetulnya kejadian lucu, sedih, marah, panik terjadi pada saat itu di UGD Carolus. Aku sampai bingung bagaimana merangkaikannya dalam kalimat-kalimat untuk menggambarkan peristiwa yang ada, yang aku alami sendiri dan kulihat dengan mata, kudengarkan dengan telingaku , serta kuraba dengan tanganku sendiri. Peristiwa yang sebelumnya tak pernah kusaksikan, tetapi secara nyata saat itu faktanya ada didepanku.

Bagaimana saat itu UGD Carolus benar-benar heboh. Ruangan yang biasanya hanya bisa menampung sekitar 20 orang, saat itu benar-benar dipaksa menampung lebih dari kapasitasnya. Akhirnya memang dari pihak rumah sakit memakai hall asrama yang ada disebelahnya untuk menampung seluruh korban yang masuk. Mereka memanfaatkan tempat tidur cadangan yang ada di masing-masing unit perawatan dan bahkan menurunkan kasur-kasur dari penghuni asrama yang kebetulan sedang kosong. Benar-benar kerja ekstra bagi seluruh bagian di Rumah sakit itu.

Pihak Rumah Sakit bahkan memanggil seluruh tenaga medisnya yang sedang tidak bertugas, untuk membantu di unit Gawat Darurat. Untung ada beberapa teman relawan yang memang berprofesi sebagai tenaga medis dan beberapa yang masih menjadi mahasiswa akper bisa membantu, kekurangan tenaga itu. Teman-teman relawan yang tidak mempunyai keahlian di bidang medis, hanya membantu menyortir yang luka ringan untuk ditangani sendiri di posko, atau menjaga pintu masuk dari keingitahuan teman-teman mahasiswa lainnya, supaya tidak menambah sesak ruangan tersebut, kecuali bagi pihak-pihak penanggung jawab atau keluarga korban.

Ditengah kesibukan itu, kami mendengar Wawan, salah satu teman kami juga ditembak ketika sedang berusaha menolong salah seorang korban. Beberapa teman perempuan menangis memberitahukan hal itu kepadaku, juga teman-teman pria tampak emosi mendengar berita itu. Aku terkejut, tapi aku tak boleh menangis karena saat itu tak memungkinkan aku untuk bisa menangis. Aku berusaha menenangkan mereka, sambil tetap berusaha mengatur apa yang bisa dikerjakan disitu. Teman-teman perempuan yang tampak shock kubiarkan menangis dan menenangkan dulu di salah satu pojok rumah sakit, sebagian lain yang tampak tegar, kuminta terus mengerjakan pendataan korban yang masih terus berdatangan. Renato menemuiku, sambil membawa jaket kulit coklat milik Wawan, dan mengatakan Wawan sudah tiada.
Antara percaya dan tidak aku mendengarnya dan dengan emosi aku bertanya “Dimana
sekarang? Kena tembak dibagian mana? Sudah tahu belum keluarganya? Sudah
diotopsi? Kapan dibawa pulang?” Aku berondong dia dengan pertanyaan-pertanyaan
itu.
Kemudian ketika sadar kembali ada korban lain datang, Aku mencoba menenangkan diri, menyuruhnya mencari informasi dan menemani keluarganya, nanti aku akan menyusul, sekiranya keadaan di UGD Carolus sudah agak tenang dan memungkinkan.

Tapi ternyata sampai jenazah diperistirahatkan sebentar untuk dimandikan di Rumah Duka Carolus dan didoakan, hingga dibawa pulang kerumahnya, aku tak bisa beranjak dari Unit Gawat Darurat.
Korban lain terus berdatangan, bahkan kami mendengar, aparat semakin membabi
buta menembaki para mahasiswa. Semua itu terlihat dari bekas-bekas luka tembakan
yang bermacam-macam. Ada yang kena punggungnya, perutnya, tangannya, kakinya,
pantatnya, atau dua bagian sekaligus.
Teman-teman relawan cukup heboh untuk membagi tugas antara menemani korban yang belum datang keluarganya, yang ketakutan dan khawatir karena tidak ada keluarganya di Jakarta (karena mereka anak kost, sementara keluarganya di kampung dan dia harus dioperasi), mendata korban-korban yang baru datang, menampung dan meneruskan bantuan logistik, serta mengevakuasi korban dari lokasi peristiwa sampai ketempat yang lebih aman atau rumah sakit. Namun itu semua tetap mereka jalankan meski mereka sendiri tak tega untuk sejenak beristirahat makan demi mempertahankan kondisi tubuh mereka sendiri. Aku paksa mereka semua makan dulu, karena hari sudah menjelang malam, meski aku sendiri tak mampu melakukannya.

Entah, mungkin perasaan yang sama juga dialami teman-temanku. Mereka panik,
mereka marah, mereka sedih. Hingga aku tiba-tiba teringat Johnny, salah satu
teman relawan yang kala itu marah-marah, membentak-bentak pihak Rumah Sakit
Carolus, karena tak mau mengeluarkan Ambulance lagi untuk mengevakuasi korban,
yang masih banyak di lokasi peristiwa. Hal itu dia lakukan karena dia mendengar
masih banyak korban yang seharusnya dibawa kerumah sakit, tapi karena tak ada
kendaraan yang bisa membawa, terpaksa masih menunggu di Hall B Kampus Atmajaya.
Dan aku yakin itu juga dia lakukan untuk mengungkapkan perasaan kekecewaannya dan kesedihannya karena salah satu temannya turut menjadi korban. Sementara pihak rumah sakit sebenarnya sudah mengirimkan satu ambulance ke lokasi dan belum kembali. Sudah menjadi kebijaksanaan Rumah sakit, dua ambulance yang mereka miliki memang satu dipergunakan untuk berjaga-jaga jika nanti ada pasien lain yang membutuhkan. Dan lagi petugas medis yang menyertai masing-masing ambulance tersebut sedang sibuk membantu menangani korban yang ada di UGD itu.
Aku coba jelaskan hal itu ke dia, walau sebenarnya aku ngeri juga saat itu melihat reaksinya yang diluar kebiasaannya itu (biasanya dia termasuk orang kalem dan penuh senyum) dibantu oleh fr. Andalas, kucoba tenangkan dia, lalu kuserahkan pada fr. Andalas dan aku kembali masuk keruangan mengkonfirmasikan informasi yang kami dapat dan meneruskannya ke mas Haris sebagai sentral informasi Tim Relawan di Arus.

Kulihat halaman rumah sakit penuh sekali orang, sampah berserakan dimana-mana, padahal biasanya halaman itu bersih. Mahasiswa, wartawan baik dari media cetak atau elektronik, duduk-duduk dilorong-lorong rumah sakit, dan dimana saja mereka bisa mengistirahatkan tubuh mereka. Lalu spontan bangun setiap ada kendaraan masuk dan menurunkan korban, mencari tahu, itu teman mereka atau bukan, atau sekedar ingin tahu mereka luka apa. Kadang mereka berlarian kesalah satu sisi rumah sakit tepatnya di depan Apotik, dimana disitu terdapat televisi, untuk menyaksikan rekaman perisitiwa yang baru saja terjadi, dari berita-berita televisi.
Beberapa teman membagikan logistik bantuan ke mereka. Sebagian lain mencari informasi bagaimana proses terjadinya peristiwa. Aku sendiri lebih mencari koordinator lapangan yang beberapa anggota elemennya turut menjadi korban untuk mencari tahu apa dan bagaimana pertanggungjawabannya atas peristiwa ini terhadap anggotanya. Atau sekedar meminta bantuan untuk menghubungi pihak keluarganya masing-masing.

Sebagian lain mahasiswa mengikuti teman mereka yang sudah mendapat tindakan medis tapi masih harus dirawat, ke ruangan perawatan. Tentu saja hal ini cukup mengejutkan pasien lain karena malam-malam mereka berombongan datang bahkan terus-menerus mengalir tak pernah berhenti. Pastilah ini menyebabkan suster-suster perawat marah karena mengganggu waktu istirahat pasien lain. Lagi-lagi aku mencoba mendekati masing-masing koordinator lapangan aksi tersebut, untuk bisa mengatur anggotanya, setidaknya agar tidak mengganggu pasien lain. Selanjutnya aku meminta beberapa teman relawan untuk melakukan hal yang sama dan aku kembali lagi kedepan (UGD) untuk melakukan hal lain lagi.
Aku mondar-mandir dari UGD ke wartel, dari wartel ke UGD, lalu ke penerimaan pasien untuk menjadi fasilitator antar keluarga, koordinator aksi mahasiswa, dan rumah sakit. Kembali lagi ke UGD, ke ruang perawatan, ke hall asrama begitu terus sepanjang malam hingga tak sadar ternyata hari sudah sangat larut malam dan korban masih terus berdatangan walaupun sudah berkurang frekuensinya tak sesering tadi. Aku bahkan tak tahu sudah berapa jauh aku berjalan jika itu diukur dengan satuan meter. Bukan apa-apa sih, hanya saja rasa lelah itu seolah hilang ketika aku melihat muka-muka korban tersebut.

Pihak rumah sakit menyediakan satu televisi di ruang tambahan untuk menampung korban yang di hall asrama dan menyediakan bantuan minum serta snack seadanya di bagian lain hall tersebut. Akhirnya sisa logistik yang belum semua terbagi di poskopun kami pindahkan di hall tersebut, dan beberapa teman menjaganya untuk mengatur serta mencatat dari mana saja bantuan datang, dan kemana saja bantuan dikirimkan.

Kami heran, bantuan terus saja mengalir, padahal kami tidak memintanya bahkan sampai tengah malam itu, aku ingat ketika salah seorang ibu mendatangiku dan mengatakan begini :
“Dik, bagaimana ya caranya ibu membantu? Dirumah ibu punya sedikit makanan dan
roti. Tadi ibu lihat berita di TV, aduh kejam sekali aparat itu, ibu jadi ingat
anak ibu, makanya sekarang ibu kesini untuk memastikan kebenaran berita itu, dan
ternyata sekarang ibu sudah lihat sendiri.”
Katanya. Aku ucapkan terimakasih atas niat baiknya, dan menepis kecurigaanku yang sempat muncul karena tadi dia melongok-longok kesegala sudut dengan agak kebingungan (kurasa sikap ini terpengaruh oleh sikap orang-orang yang ada disitu, terutama mahasiswa yang meminta untuk tidak memperbolehkan setiap orang melihat mereka, mereka khawatir itu hanya sekedar acting dari para intel-intel, kami bahkan sempat meminta para penjenguk untuk mengeluarkan tanda pengenalnya untuk bisa melihat korban) tapi akhirnya kutunjukkan kepada ibu itu bahwa makanan masih berlimpah dan baru saja teman-teman juga berjalan untuk mendistribusikan makanan sekaligus melihat kira-kira masih ada korban atau tidak. Itu terjadi kira-kira lewat tengah malam.

Saat tengah malam itu, teman-teman berkumpul untuk sekedar konsolidasi dan mengevaluasi hasil kerja tadi, tapi aku sendiri tak sempat mengikutinya, karena masih harus menunggui keluarga korban yang belum datang terutama orang tua Lukman Firdaus. Namun kami sudah agak tenang karena teman yang tadi mencari sudah berhasil menemui keluarganya. Dan berjanji akan segera datang kerumah sakit. Kasihan juga mendengar cerita teman-teman yang bersusah payah mencari alamat yang kurang jelas itu, pada malam hari apalagi diiringi hujan deras. Tapi usaha mereka patut diacungi jempol karena berhasil menemukan keluarga itu Pak Makmun Afif ayahnya, aku masih ingat. Sementara ibunya memang belum diberitahu karena menderita sakit jantung, sedangkan pada saat itu ayahnya sedang menjalankan tugas ronda keliling kampung.

Selesai evaluasi dan pembagian tugas untuk esok hari, sebagian teman yang ingin pulang diantar pulang, sebagian lain, masih berkumpul di hall, menyalin data-data yang mereka peroleh, atau tidur di lantai hall yang dingin itu berdesak-desakan, sebagian bahkan tidur di posko di pinggir jalan yang berdebu dan dingin itu, untuk melepaskan kepenatan setelah seharian dan semalaman mengalami peristiwa besar yang sangat diluar dugaan ini.

Aku dan beberapa teman masih berjaga di depan UGD, menanti kedatangan keluarga Lukman Firdaus. Sebagian kelompok mahasiswa juga sudah membubarkan diri atau setidaknya kembali ke kampus masing-masing, sebagian lainnya menemani teman-temannya yang masih beristirahat di hall, meskipun secara medis, sebenarnya sudah diperbolehkan pulang. Lalu sebagian lainnya tampak tertidur kelelahan di lorong-lorong rumah sakit.

Tak berapa lama keluarga Lukman Firdaus datang, aku memperkenalkan diri dan pelan-pelan bercerita singkat tentang kejadian yang menimpa Lukman, seperti yang tadi dijelaskan oleh saksi mata padaku dan pada petugas medis. Orang tua itu tampak tabah. Dia datang ditemani oleh beberapa tetangganya. Lalu ada peristiwa yang menurutku lucu. Setelah dokter menjelaskan kondisi Lukman yang tidak mungkin lagi diambil tindakan medis kecuali menunggu waktu saja, kami menunggu reaksinya, aku berdiri tak jauh dari tempatnya. Kulihat dia, khawatir pingsan atau semacamnyalah. Tapi dia justru keluar ditemani beberapa Bapak-bapak tadi, aku diamkan sebentar, sambil aku mengamati kondisi Lukman yang nafasnya memang tinggal satu-satu itu, wajahnya sudah semakin membengkak, kantong penampung darahnya yang keluar dari luka kepalanya sudah hampir penuh.
Ayah Lukman kembali datang dan mendekatiku, lalu dia mengucapkan terimakasih kepada kami dan tangannya mengulurkan sesuatu kepadaku. Aku kaget dan buru-buru kujelaskan posisi kami disitu, bahwa kami adalah tenaga relawan dalam hal ini, dan bertindak tulus untuk menolong semampu kami tanpa mengharapkan imbalan apapun dan ungkapan ini dipertegas oleh beberapa kawan.
Kulihat matanya berkaca-kaca, meski dia bersikap tegar. Dalam hati aku berpikir, mungkin Dia mengira, kami menunggu ucapan terimakasihnya dalam bentuk uang, karena kami semua tampak bermuka bengong atau cemas melihat reaksinya, bahkan tidak beranjak untuk segera pulang. Aku tertawa dalam hati jika ingat kejadian ini.

Tak lama sekitar pukul 3.00 dini hari, Ayahnya pulang untuk memberitahu ibunya secara pelan-pelan, dan meninggalkan dua orang Bapak untuk menunggui Lukman serta nomor telephone tetangga yang bisa dihubungi, jika terjadi apa-apa nanti. Dan benar sekitar pukul 4.55 dokter menyatakan Lukman telah tiada. Bertambah lagi korban jiwa dari tragedi itu sementara Engkus yang telah dioperasi untuk mengambil pecahan peluru dikepalanya, saat itu masih bertahan di ruang ICU.

Sempat juga saat itu Ayahnya bersikeras untuk langsung membawa pulang Lukman, tapi setelah kami sampaikan pertimbangannya agar diotopsi terlebih dahulu, mempersiapkan jika suatu hari nanti diperlukan, akhirnya Dia mau juga. Sambil ditemani oleh beberapa teman relawan, akhirnya jenazah Lukman diantar ke RSCM untuk diotopsi.

Di bagian lain rumah sakit, aku sempat mendengar ungkapan marah preman parkir di jalan Salemba melihat rekaman peristiwa di televisi di apotik itu sambil mengeluarkan kata-kata umpatan khas mereka. Aku berpikir, mereka yang biasa hidup dalam kekerasanpun bisa begitu marah atas peristiwa ini, berarti ini sungguh-sungguh diluar batas toleransi. Sementara itu, muka-muka penuh kecemasan orang-orang yang mencari anggota keluarganya tak bisa kulupakan.
Kelompok-kelompok masyarakat baik atas nama lembaga atau partai datang menyampaikan simpatinya. Tapi aku tak melihat panglima Wiranto hadir, untuk sekedar meninjau dan menyampaikan simpatinya, seperti yang dia lakukan pada 2 orang mahasiswi IISIP dan wartawan Saptono korban di jl. Imam Bonjol beberapa waktu lalu. Hanya beberapa pejabat tinggi ABRI yang meninjau dan melihat para korban, cuma aku lupa siapa saja mereka, yang aku tahu pasti hanya dari petinggi Polisi Militer dan TNI saja tapi tak ada dari Kepolisian.

Dari beberapa teman, kutahu korban sudah mencapai ratusan orang, dan tidak hanya di rumah sakit ini saja tetapi juga dirumah sakit lain, seperti RSCM, RS. Jakarta, Mintohardjo, UKI dll. Namun sepertinya tak ada ungkapan penyesalan dari para pejabat negara atau wakil pemerintah. Santunan bagi para keluarga korbanpun dikeluarkan jauh hari setelah peristiwa berlalu, dan bahkan janji penggantian biaya bagi seluruh rumah sakit yang menangani korban inipun ternyata tidak semua terealisasi.

Ada banyak cerita tentang reaksi keluarga korban, ketika mendengar anggota keluarganya menjadi korban tragedi Semanggi ini. Ada yang sedih, terkejut, marah (karena sudah dilarang ikut-ikut, tapi masih tetap membangkang), ada yang panik dan khawatir karena bingung, harus dari mana mencari biaya perawatan dan bermacam-macam lagi. Mungkin akan menghabiskan berhelai-helai kertas jika semuanya harus ditulis disini.

c. Pasca Tragedi

Pagi hari, aku pulang sebentar untuk membersihkan badan dan sejenak merebahkan tubuh yang semalaman tak sempat sebentarpun duduk. Sekitar pukul tujuh, aku kembali ke Carolus berbagi tugas lagi karena kami dengar masih banyak mahasiswa yang terjebak tak bisa pulang, dan nanti mereka akan melanjutkan aksi arak-arakan dalam prosesi pemakaman jenazah teman-teman mereka. Kami bagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama, menuju rumah Wawan, kedua ke pemakaman Wawan dan ketiga tugas-tugas lapangan bagi aksi hari itu.

Aku ikut dalam kelompok kerumah Wawan. Diperjalanan yang beriringan dengan rombongan mahasiswa YAI dalam prosesi mengantar jenazah rekan mereka Sigit itulah aku baru mampu menangis. Situasi dijalanan kala itu sangat mengharukan, mereka menyanyikan lagu gugur bunga disepanjang jalan menuju tanah kusir. Sementara orang-orang dipinggir jalan menghentikan aktifitas mereka sejenak menunggu rombongan itu lewat sambil mengacungkan tangan kiri mereka yang terkepal, seolah ingin menyatakan, perjuangan kalian tak sia-sia. Kami berpisah di landmark, karena kami ingin lewat Semanggi, tapi ternyata mereka masih meneruskan aksi dan jalan tertutup.
Akhirnya kami berputar di daerah Casablanca, dan meneruskan perjalanan ke rumah Wawan. Ternyata disanapun orang sudah banyak berkumpul kami menyeruak masuk, dan melihat Wawan yang terbujur tenang dengan jas hitam di dalam peti jenazah. Kemudian kutemui Ibu dan Ayahnya serta adiknya untuk mengucapkan rasa bela sungkawa dan sekaligus rasa kehilangan teman seperjuangan. Ketika jenazah akan dibawa ke gereja untuk didoakan, aku memutuskan kembali ke posko, karena masih ada tugas lain disana, aku mengkhawatirkan teman-teman yang ada di kelompok lapangan dan posko. Karena masih ada rombongan lain yang menuju pemakaman dan gereja.

Hari-hari selanjutnya kami isi dengan pendampingan ke korban dan keluarga korban yang masih dirawat, terutama di Carolus dan RSCM wilayah yang paling dekat dengan posko kami. Sepulang kerja aku selalu mengunjungi mereka satu persatu, mengobrol dengan keluarga dan teman-teman mereka, dan tentu juga dengan para korban itu sendiri. Aku baru pulang kerumah, ketika hari sudah lewat larut malam. Disinilah aku mengetahui bagaimana rasa solidaritas diantara teman-teman korban itu terbangun. Pada saat itu memang posisi TRuK sebagai fasilitator, meski waktu itu kebijaksanaan TRuK adalah membantu korban yang tidak mampu. Tapi jika ada yang kurang mampu kami mencoba memecahkan permasalahan bersama baik dari keluarga, koordinator lapangan dan sisanya baru dibantu TRuK. Karena rumah sakit tidak mau dipusingkan dengan urusan pembagian penyelesaian pembiayaan tersebut, akhirnya aku dipercaya untuk mengkoordinir pengumpulan dana atas biaya perawatan para korban itu.
Kami (aku wakil TRuK, keluarga korban, dan korlap aksi) berunding, masing-masing berusaha mengumpulkan biaya. Aku salut sama teman-teman mahasiswa ini. Mereka rela ngamen di kereta-kereta dan bus-bus, serta menjual tabloid mahasiswa, untuk mengumpulkan uang bagi teman mereka yang menjadi korban. Aku menemukan kerjasama yang bagus diantara rekan mahasiswa pada tragedi Semanggi ini.

Berbeda dengan aksi-aksi selanjutnya setelah itu, gerakan mahasiswa tampak mulai terpecah-pecah. Tepatnya ini terlihat setelah memasuki tahun 1999. Mereka tampak kehilangan konsep gerakan moral mahasiswa, dan mulai kurang fokus dengan tuntutannya. Atau sekedar mengikuti perkembangan politik yang terus berubah. Bahkan cenderung hanya sekedar untuk mencari perhatian publik dan wartawan dengan apa yang kami namakan “rindu chaos”.
Sepertinya situasi ini pun dipahami oleh masyarakat. Dukungan tidak lagi mengalir lancar, mereka mulai meminta-minta bantuan logistik ke kami. Tentu saja kami menolak, karena memang apa yang dulu kami lakukan adalah benar-benar dukungan masyarakat sendiri yang kami tak perlu meminta-minta. Kami hanya membantu menampung dan menyalurkannya. Kalau sekarang ini dukungan tersebut tidak lagi muncul, pastilah ada sebab lain. Begitu kusampaikan kepada kelompok-kelompok mahasiswa yang datang kepada kami. Kecuali untuk bantuan medis (P3K), kami masih bisa membantu, karena bantuan yang dulu kami terima masih ada sisanya.

Sedangkan bagi keluarga korban, TRuK menjadi fasilitator untuk mempertemukan keluarga korban dengan korban dan keluarga korban lainnya. Sampai akhirnya mereka bergabung dengan keluarga korban kerusuhan Mei’98 dan membentuk paguyuban keluarga korban. Untuk selanjutnya mereka bersama-sama berusaha mencari keadilan atas apa yang telah mereka terima, dan TRuK tetap mendukung dengan mendampingi mereka dalam beberapa kali upaya mendatangi instansi-instansi terkait. Hal ini mungkin akan diceritakan lebih detil oleh teman lain, yang memang lebih sering terlibat, terutama teman yang ada di divisi advokasi.

Secara garis besar, aku hanya tahu proses advokasi yang dikerjakan bersama KONTRAS ini atas beberapa peristiwa, seperti sikap saling melempar tanggungjawab pada institusi negara, sikap setengah hati para wakil rakyat dalam membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta. Dan terakhir adalah rekomendasi TGPF Trisakti, Semanggi I & II yang sangat kontroversial dan mengkhianati gerakan reformasi itu sendiri. Sebenarnya saat tulisan ini dibuat Komnas HAM sedang membentuk KPP HAM untuk kasus Trisakti, Semanggi I dan II. Tapi aku sendiri tidak tahu apakah hasilnya nanti bisa dipertanggungjawabkan atau apakah mereka bekerja serius atau hanya sekedar memenuhi tuntutan dari keluarga korban, tanpa niat tulus untuk bekerja secara benar. Kita lihat saja nanti.

d. Penutup.

Dari apa yang telah aku paparkan tersebut, aku hanya ingin mencoba membuktikan bahwa apa yang selama ini dikhawatirkan teman-teman poskoku atau apa yang menjadi kegelisahan teman-teman soal gerakan kemanusiaan yang bersih dari gerakan politik ternyata tak benar. Semuanya tetap saling terkait satu sama lain, dan bahkan menjadi bagian dari satu rangkaian system. Maka ketika system itu berjalan dengan tidak semestinya, bisa dipastikan ada yang menjadi korban/dikorbankan. Tetapi setidaknya, kita bisa mengupayakan bersama agar tidak semakin banyak korban berjatuhan hanya karena sebuah system yang salah.

Dan dalam kaitan itulah Tim Relawan untuk Kemanusiaan bersama korban dan
keluarga korban, berusaha mencari dukungan dari masyarakat, sekaligus berjuang
bersama untuk melawan upaya pembungkaman dan pelupaan dari pemerintah dengan
mengungkap setiap fakta peristiwa kekerasaan yang dilakukan oleh negara.

Luka hati korban tak bisa disembuhkan hanya dengan permintaan maaf dan ganti rugi. Tapi lebih dari itu, upaya yang pasti dalam bidang penegakkan hukum serta penghargaan atas Hak Asasi Manusia. Sehingga Institusi negara tidak lagi sewenang-wenang memperlakukan rakyatnya.

No comments: